China Ancam Hong Kong dengan Tekanan Lebih Kuat

Oposisi di Hong Kong mengecam usulan UU Keamanan Nasional baru yang diajukan China, karena dinilai akan mengakhiri prinsip satu negara dua sistem yang selama ini berlaku di sana.
Sumber :
  • abc

Pemerintah China mengumumkan rencana untuk memberlakukan undang-undang baru di Hong Kong setelah kerusuhan pro-demokrasi tahun lalu. Para aktivis menilai hal ini akan mengakhiri prinsip "satu negara, dua sistem" yang selama ini berlaku di sana.

Kedutaan Besar China di Canberra dalam situs websitenya mengumumkan rancangan UU baru tersebut akan dibahas pada Kongres Rakyat Nasional yang digelar di Beijing mulai hari Jumat (22/05).

Seorang pejabat menjelaskan Kongres Rakyat Nasional merupakan ajang konstitusional untuk menyusun kerangka hukum baru dan mekanisme penegakan hukum demi memastikan keamanan nasional di Hong Kong.

Media South China Morning Post menyebutkan UU baru ini akan secara eksplisit melarang pemisahan diri Hong Kong, campur tangan asing, terorisme, dan semua kegiatan lainnya yang bertujuan menggulingkan pemerintah pusat dan segala gangguan eksternal di bekas jajahan Inggris itu.

Undang-undang ini bisa menjadi titik balik bagi kebebasan di kota internasional tersebut, dan berpotensi memicu revisi status khusus di Washington dan kemungkinan akan memicu lebih banyak kerusuhan.

"Saya kira hari ini merupakan hari paling menyedihkan dalam sejarah Hong Kong," ujar politisi Pan-Demokratic Hong Kong Tanya Chan.

"Beijing berusaha membungkam suara kritis warga Hong Kong dengan kekuasaan dan ketakutan," kata aktivis pro demokrasi Joshua Wong.

Ia mengatakan, UU yang ditetapkan secara sewenang-wenang bisa berdampak mematikan bagi warga Hong Kong serta organisasi asing dan para investor.

Anggota parlemen pro demokrasi Clauda Mo mengatakan UU semacam itu akan menempatkan warga Hong Kong di bawah hukum separatisme dan terorisme.

Presiden Xi Jinping saat pembukaan Sidang Konsultasi Politik yang mendahului Kongres Rakyat Nasional di Beijing, Kamis (21/05) yang tetap digelar di tengah situasi COVID-19.

AP Photo/Andy Wong, Pool

Pada hari Selasa, Hong Kong memperpanjang pembatasan sosial terkait COVID-19 hingga 4 Juni, yang mencakup larangan pertemuan publik lebih dari delapan orang. Aksi demonstrasi terhadap UU baru ini akan dianggap melanggar hukum.

Pembatasan COVID-19 juga akan menjadikan peringatan tahunan Peristiwa Tiananmen di Hong Kong yang biasanya dihadiri ratusan ribu orang untuk pertama kalinya tidak dilaksanakan dalam 30 tahun.

Para aktivis menuding Pemerintah telah memanfaatkan pembatasan COVID-19 ini untuk menghalangi pertemuan politik dan kebebasan berbicara, namun hal ini dibantah.

"Sama sekali tidak ada pertimbangan politis terkait dengan peringatan atau pertemuan politik tertentu (yang dilarang karena COVID-19)," ujar Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam.

"Satu-satunya pertimbangan kami adalah keselamatan publik dan kesehatan masyarakat," tambah pemimpin yang ditunjuk oleh Beijing tersebut.

Trump lontarkan ancaman

UU baru yang akan diberlakukan China tersebut memicu keprihatinan Amerika Serikat. Presiden Donald Trump mengatakan pihaknya akan bereaksi "sangat keras" jika China menerapkan UU ini.

"Saya belum tahu apa, belum ada yang tahu seperti apa. Tapi jika itu terjadi, kami akan mengatasinya dengan sangat keras," kata Trump kepada wartawan.

Di berbagai akun media sosial di Hong Kong, kini telah muncul seruan untuk menggelar aksi demo. Warga juga terlihat meneriakkan slogan-slogan pro-demokrasi di salah satu pusat perbelanjaan ketika melihat polisi anti huru-hara.

Warga Hong Kong turun ke jalan tahun lalu, bahkan pernah mencapai jutaan orang, untuk memprotes RUU ekstradisi yang sudah dibatalkan.

Gerakan itu kemudian meluas hingga ke tuntutan demokrasi yang lebih luas, menentang cengkeraman Beijing yang lebih ketat atas kota itu.

"Jika Beijing mengesahkan UU itu, bagaimana masyarakat sipil akan melawan? Seberapa besar dampaknya terhadap Hong Kong sebagai pusat keuangan internasional?" kata Ming Sing, pakar politik dari Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong.

Menlu AS Mike Pompeo pada awal Mei lalu menunda laporan mengenai status otonom Hong Kong untuk menjamin perlakuan ekonomi khusus dari Washington yang membuatnya tetap menjadi pusat keuangan dunia.

Penundaan itu, kata Pompeo, dilakukan untuk mengantisipasi keputusan yang akan diambil Kongres Rakyat Nasional China.

Menghancurkan stabilitas Hong Kong

Upaya memberlakukan aturan keamanan nasional untuk Hong Kong, yang dikenal Pasal 23, telah dilakukan sejak tahun 2003. Namun sejak itu sudah idsambut aksi demonstrasi dan akhirnya ditangguhkan.

Hong Kong memiliki kewajiban konstitusional untuk memberlakukan Pasal 23 "atas kehendaknya sendiri", namun UU serupa dapat diusulkan oleh Beijing secara terpisah ke dalam lampiran Undang-Undang Dasar Hong Kong.

Mekanisme hukum tersebut dapat menerabas produk UU setempat karena dapat diberlakukan secara resmi oleh pemerintah pro-Beijing.

"Sejumlah orang menghancurkan perdamaian dan stabilitas Hong Kong. Beijing melihat semua yang terjadi," ujar Christopher Cheung, politisi pro pemerintah.

"Legislasi ini diperlukan dan lebih cepat lebih baik," tambahnya.

UU Keamanan Nasional sangat ditentang oleh aktivis pro-demokrasi yang menilai hal itu akan mengikis kebebasan dan otonomi Hong Kong, yang selama ini dijamin dengan "satu negara dua sistem", formula yang disepakati ketika Inggris mengembalikan Hong Kong ke China.

Seorang diplomat Barat mengatakan penyusunan UU oleh China tanpa melewati proses legislatif lokal di Hong Kong, akan merusak persepsi internasional tentang kota itu dan perekonomiannya.

Sebagai reaksi terhadap perkembangan ini, nilai dolar Hong Kong telah melemah.

Para pengunjukrasa mengecam apa yang mereka sebut sebagai campur tangan Pemerintahan Komunis China di Hong Kong.

Namun Beijing membantah tuduhan itu dan menuding negara Barat terutama Amerika Serikat dan Inggris sebagai pemicu masalah.

ABC/Reuters