Hong Kong Tuduh AS Terapkan Standar Ganda dalam Hadapi Demonstran

Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam
Sumber :
  • Asia Times

VIVA – Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, angkat bicara mengenai cara Amerika Serikat dalam menanggapi aksi protes yang sedang melanda negara tersebut. Menurutnya, aksi protes yang tak kunjung usai di AS memperlihatkan bahwa Washington memiliki standar ganda dalam menanggapi demonstrasi.

Aksi protes yang ditujukan untuk menuntut keadilan atas meninggalnya, George Floyd, pria kulit hitam yang dibunuh polisi di Minneapolis, memicu kemarahan massa di sejumlah kota. Bahkan, aksi protes berujung pada kekerasan dan penjarahan. 

Situasi seperti ini membuat Pemerintah Amerika Serikat menurunkan sejumlah tentara di beberapa negara bagian untuk memadamkan aksi protes yang berujung kekerasan dan penjarahan itu.

"Mereka sangat peduli dengan keamanan nasional mereka sendiri. Tetapi pada keamanan nasional kami, mereka melihatnya dengan standar ganda," ujar Lam, seperti dikutip South China Morning Post, Selasa 2 Juni 2020.

"Anda tahu ada kerusuhan di Amerika Serikat dan kami melihat bagaimana pemerintah setempat bereaksi. Namun kemudian di Hong Kong, ketika kami mengalami kerusuhan serupa, kami melihat posisi apa yang mereka adopsi saat itu," katanya.

Lam merujuk pada demo anti-pemerintah yang melanda Hong Kong selama berbulan-bulan terakhir sejak tahun lalu. Pada saat Pemerintah Hong Kong menurunkan polisi untuk melerai pendemo, kota semi-otonom milik China itu banyak mendapat kritik dari AS.

Baca Juga: Wabah Ebola Serang Afrika, Bagaimana Gejala Penyakitnya

Komentar Lam juga disampaikan di tengah memanasnya hubungan AS-Hong Kong setelah Presiden AS, Donald Trump mengancam akan mencabut status khusus Hong Kong karena menganggap kota itu tidak lagi cukup otonom dari China.

Pada pekan lalu, Trump mengatakan akan mengakhiri perjanjian perdagangan khusus Hong Kong setelah China mengumumkan rencana untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional di pusat keuangan Asia itu.

Diketahui, Parlemen China telah menyetujui rencana untuk memberlakukan UU yang akan memungkinkan mereka menjatuhkan hukuman bagi pihak yang mengusung pemisahan diri, mensubversi kekuasaan negara, melakukan terorisme dan tindakan yang membahayakan keamanan nasional. 

UU itu juga akan memungkinkan lembaga keamanan China beroperasi secara terbuka di Hong Kong. China mengatakan UU anti-subversi diperlukan untuk mengatasi terorisme dan separatisme.

Namun, pihak pro-demokrasi khawatir bahwa UU itu akan membawa penindasan politik seperti yang lumrah terjadi di daratan China masuk ke Hong Kong yang memiliki hak untuk menerima kebebasan.

Kebebasan dan otonomi di Hong Kong telah dijamin di bawah aturan 'satu negara, dua sistem', yang disepakati China dan Inggris menjelang diserahkannya kembali Hong Kong ke China oleh Inggris pada 1997. Kebebasan tersebut akan dimiliki Hong Kong selama 50 tahun sejak tahun penyerahan.