China Sensor Pembahasan Soal COVID-19 di Media Sosial

Gambar bintang lima diganti Virus Corona di bendera China.
Sumber :
  • Newshub

VIVA – Sejauh ini, China telah memberlakukan segala larangan unggahan di media sosial terkait pemberitaan pandemi COVID-19. Adanya pembatasan tersebut ternyata menghalangi laju informasi yang kemungkinan besar akan menghambat respons global untuk menentukan kebijakan.

Baru-baru ini, seorang mantan pembawa acara media milik pemerintah China, Cui Yongyuan, mengalami penangguhan akun media sosial. Padahal, Cui memiliki hampir 20 juta pengikut di akunnya.

Baca Juga: Viral, Diduga Mahasiswa Indonesia Diserang Warga Kulit Putih di AS

Cui menjadi salah satu sosok influencer di Weibo, media sosial yang paling terkenal di China. Weibo adalah media sosial lokal China yang mirip seperti Twitter.

Sejak akhir 2019, unggahan Cui di Weibo telah dihentikan. Pada Mei 2020, dirinya telah menemukan bahwa akun Weibo miliknya yang bernama ‘Xiacui’ telah diblokir.

Kejadian serupa juga Cui alami di akun WeChat pribadinya. WeChat merupakan aplikasi pesan singkat di China yang sama seperti WhatsApp.

"Nama saya disensor. Apakah Anda mencoba memaksa saya beralih ke pihak lain?" tulis Cui di akun Twitter pribadinya.

Cui menulis pernyataan itu pada 15 Mei lalu. Sedangkan, pihak lain yang dimaksud Cui adalah media sosial buatan Amerika Serikat seperti Twitter atau WhatsApp.

Cui yang juga berprofesi sebagai pengajar di Universitas Komunikasi China di Beijing pernah menulis tentang bahaya virus Corona. Akibatnya, dia menjadi korban terbaru dari sensor yang dilakukan Pemerintah China dan bergabung bersama jajaran 'migran digital', sebutan bagi warga Tiongkok yang mengakses media sosial asing.

Mengutip South China Morning Post, seorang juru bicara WeChat menolak memberikan pernyataannya terkait penutupan akun-akun dan sensor tersebut. Weibo pun enggan memberikan komentar dari persoalan ini.

Sedangkan, Cui tidak menanggapi pesan yang dikirimkan padanya di Twitter, untuk ditanyakan informasi lebih lanjut.

Seorang profesor bidang jurnalisme di Universitas Hong Kong, Fu King-wa, mengatakan, bahwa pembatasan pemberitaan yang dilakukan Pemerintah China tak lagi menjadi masalah lokal, karena wabah virus corona sudah menunjukkan konsekuensi internasional. Memblokir informasi tentang wabah merupakan ancaman. 

"Di China, informasi yang dibatasi seperti itu bisa mengalami implikasi global yang besar," ujar Fu, yang telah menjalankan proyek Weiboscope untuk melacak sensor di platform Weibo sejak 2011. 

"Di negara otoriter seperti China, percakapan publik yang terkait isu kritis memang dibatasi, kantor media dikendalikan oleh negara dan para pembangkang, serta jurnalis independen secara rutin dibungkam," katanya.