Perjuangan Pebisnis dan Pekerja WNI di Tengah Badai Ekonomi Melbourne

Zurlia Usman (kanan) bersama putrinya, Anisa Azzahra Ismail yang menjadi direktur Emaan sejak dua tahun lalu.
Sumber :
  • abc

Artikel ini diproduksi oleh ABC Indonesia.

Sudah 16 tahun Zurlia Usman, asal Malang, membuka sebuah butik di Melbourne. Dengan aturan pembatasan tahap keempat terkait pandemi COVID-19, ia terpaksa harus menutup sementara bisnisnya.

Bisnis Zurlia, yakni butik Emaan, menjadi satu dari ribuan bisnis yang terkena dampak sejak Pemerintah Victoria menutup sementara usaha yang tidak termasuk kebutuhan pokok dan mendesak, mulai Rabu malam (5/08).

"Setelah turun pendapatan karena pembatasan pertama selama tiga minggu, kami sempat berharap bisa naik lagi pelan-pelan setelah dilonggarkan ternyata di luar dugaan harus tutup sementara lagi."

Zurlia mengaku jika pengeluaran terbesarnya saat ini adalah membayar uang sewa bangunan yang terletak di kawasan Coburg, sekitar 7 kilometer dari pusat Kota Melbourne.

"Yang memberatkan untuk bisnis kami adalah sewa gedung yang cukup tinggi," ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Butik Emaan yang berada di kawasan Coburg untuk sementara tutup dan hanya akan melayani pembelian lewat online di situs mereka.

Koleksi Emaan

Tapi Zurlia mengatakan ia bersyukur karena di tengah pandemi COVID-19, ia telah bernegosiasi dengan pemilik bangunan untuk mendapatkan keringanan setelah menunjukkan adanya penurunan pendapatan.

Ia juga mengaku salah satu yang membuat butik Emaan bertahan adalah tunjangan uang "Jobkeeper" dari pemerintah, yang diberikan kepada pemilik bisnis dengan penurunan omset lebih dari 30 persen.

Banyak diantara pemilik bisnis di Melbourne merasa khawatir mereka tidak akan mampu bertahan jika bisnis mereka akan ditutup sementara selama enam minggu.

Tapi dengan berbekal pengalamannya menjalani bisnis butik selama belasan tahun, Zurlia yakin jika ia akan bisa melalui "badai" dengan baik.

"Kami optimis badai kali ini juga bisa dilalui, jadi berpikiran positif, karena bukan sesuatu yang permanen," ujar Zurlia yang kini hanya melayani pembelian online.

Zurlia yang pindah ke Australia di tahun 1988 untuk meneruskan sekolahnya mengatakan banyak hal yang bisa dipelajari oleh pebisnis di Melbourne selama usaha mereka ditutup sementara, seperti melatih kemampuan beradaptasi dalam bisnis dan mencari inovasi.

Berharap kembali bekerja di salon Fenny yang baru mulai bekerja di salon saat pembatasan tahap ketiga, harus berhenti bekerja ketiga tahap empat diberlakukan.

Supplied: Fenny Yunita

Kemampuan beradaptasi dengan cepat dilakukan oleh Fenny Yunita, mahasiswi Certficate III Hair Dressing dan Diploma of Beauty Therapist, yang sebelumnya memiliki pekerjaan sampingan di hotel.

Sejak hotel tempatnya bekerja tutup sementara karena pandemi di bulan Maret, Fenny harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.

Karena merasa sudah memiliki kemampuan sebagai penata rambut, ia kemudian memberanikan diri membuka jasa gunting rambut di apartemennya.

"Waktu itu belum ada larangan tidak boleh bertamu seperti sekarang, jadi yang mau gunting rambut bisa bikin janji dulu, kemudian datang ke apartemen saya," kata Fenny yang juga asal dari Indonesia.

"Atau kalau ada yang memanggil [untuk potong rambut] ke rumah mereka, … asal enggak sampai travelling sampai dua jam, saya jalani juga."

Kehidupan warga Indonesia di tengah lockdown Melbourne "Demi kepentingan bersama"

Warga Indonesia di Melbourne menjalani kehidupan di tengah pembatasan aktivitas yang lebih ketat.

Tapi kemudian Fenny memutuskan mencari kerja di salon untuk membatasi orang yang datang ke apartemennya.

Baru juga beberapa saat bekerja, ia harus berhenti sementara setelah Pemerintah Victoria memberlakukan aturan pembatasan tahap empat.

"[Rabu kemarin] menjadi hari terakhir saya bekerja karena salon nggak masuk kategori bisnis yang esensial," kata dia kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

"Siapa yang menyangka bakal naik ke stage 4 begini? Sekarang di rumah dulu saja sambil menunggu keadaan enam minggu ke depan, mudah-mudahan membaik dan bisa kerja lagi."

Mengajar online demi uang saku Amazia yang adalah mahasiswa Indonesia bekerja sebagai guru Bahasa Inggris online untuk memenuhi kebutuhan selama lockdown di Victoria.

Supplied: Amazia Pravianti Tanuatmadja

Pembatasan sosial tahap empat di Melbourne juga berpengaruh kepada Amazia Pravianti Tanuatmadja, mahasiswi Master of Education di Monash University.

Amazia sempat bekerja di restoran Indonesia di Clayton selama satu bulan, sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti, ketika jumlah kasus di Melbourne semakin meningkat.

"Saya khawatir dengan kasus yang meningkat dan orangtua saya di Indonesia juga khawatir. Akhirnya saya memutuskan berhenti,” kata Amazia yang bekerja untuk memperoleh uang saku.

Untuk memenuhi kebutuhannya, sejak April lalu, lulusan S1 Sastra Inggris Universitas Kristen Maranatha Bandung tersebut mengajar Bahasa Inggris online untuk murid-murid di Indonesia.

"Saya membantu usaha teman di Indonesia yang kebetulan punya kursus Bahasa Inggris online," kata Amazia kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.

"Jumlah murid tergantung kadang ada private atau ada kelas regular, yang satu kelas bisa sampai 15 orang."

Ia berharap agar kondisi di Victoria, khususnya Melbourne, bisa cepat pulih sehingga dapat mencari pekerjaan baru.

"Saya tetap ingin mencari pekerjaan di Melbourne kalau bisa, karena jamnya lebih enak juga. Itu juga akan membantu tidak merepotkan keluarga karena biaya pendidikan yang sudah mahal."

Tenaga konstruksi kehilangan jam kerja

Warga asal Indonesia lainnya, Reygi Raymon mengaku sempat merasa sangat senang ketika mendengar jam kerjanya kembali normal, yaitu empat sampai lima hari per minggu awal Juni lalu, saat Victoria masih di pembatasan tahap ketiga.

Sejak pembatasan sosial tahap keempat di Victoria, Reygi yang adalah pekerja konstruksi 'casual' kehilangan jam kerjanya.

Supplied: Reygi Raymon

Namun, ketika kebijakan tahap keempat mulai diberlakukan pekan lalu, Reygi yang berstatus tenaga "casual" di bidang konstruksi, tidak lagi menerima panggilan kerja.

Ini karena Pemerintah Victoria hanya mengizinkan lima orang di situs kontruksi berskala kecil.

Reygi yang sudah bekerja di bidang konstruksi sejak November 2019 tidak lagi memiliki penghasilan dan terpaksa mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup.

"Sebenarnya proyek berjalan seperti biasa. Tapi karena saya pekerja serabutan, jadi saya harus menunggu kabar dari supervisor kapan bisa bekerja lagi," kata Reygi yang berasal dari Bali.

Kepada ABC, ia mengatakan sejak awal pandemi di Australia, jam kerjanya tidak beraturan mengikuti kebijakan yang berubah-ubah di Victoria.

"Sejak Maret akhir sudah terasa bedanya. Saya berharap agar Victoria paling tidak kembali ke tahap tiga, agar ada peluang kerja lebih banyak sesuai kebijakan yang berlaku."

Laporan oleh Natasya Salim, Hellena Souisa, Sastra Wijaya, Erwin Renaldi

Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di Australia hanya di ABC Indonesia