Penyintas Perempuan Afghanistan Hadapi Taliban di Meja Perundingan

picture-alliance/dpa/S. Joly
Sumber :
  • dw

Keberadaan mereka di meja perundingan bernilai simbolik tinggi di dalam sistem patriarkal Afghanistan. Lima perempuan itu akan duduk bersama 16 laki-laki anggota delegasi pemerintah, berhadapan dengan Taliban yang hanya diwakili kaum pria.

"Taliban harus mengerti bahwa mereka menghadapi Afghanistan baru. Mereka harus belajar hidup dengan fakta tersebut,” kata Fawzia Koofi, salah seorang perempuan anggota delegasi yang juga seorang advokat HAM tersohor di Afghanistan.

Dia menyintas dua percobaan pembunuhan. Insiden terakhir terjadi beberapa pekan lalu di dekat ibu kota Kabul, setelah Taliban dan pemerintah Afghanistan menyatakan sepakat untuk berunding.

"Memegang peran yang penting seperti ini adalah sesuatu yang lazim di Afghanistan,” kata Koofi kepada AFP sebelum penembakan. "Jadi Anda harus mencari cara di antara orang-orang yang tidak menginginkan keberadaan perempuan.”

Ketika Taliban menguasai Afghanistan antara 1996 hingga 2001, suami Koofi dipenjara dan dia diancam hukuman rajam karena mengecat kuku, kisahnya.

Opresi terhadap perempuan

Saat itu polisi Syariah berkeliling kota mencambuki perempuan yang tidak mengenakan burka. Setiap usai salat Jumat, stadion sepak bola berubah menjadi ladang eksekusi mati bagi mereka yang didakwa melanggar hukum Islam.

Di bawah kekuasaan Taliban, perempuan tidak diizinkan bersekolah atau pergi bekerja.

Meski sistem patriarkal masih mengakar kuat pasca penggulingan Taliban lewat invasi AS, situasi bagi kaum perempuan perlahan mulai berubah. Perempuan kini memenuhi sekolah, menjalankan usaha atau dipilih untuk jabatan publik, walaupun masih dalam jumlah kecil.

Koofi adalah salah seorang dari segelintir perempuan yang melakukan pertemuan tidak resmi dengan Taliban pada 2019. Dia memahami tantangan yang harus dihadapai negosiator perempuan. Perundingan, kata dia, "bukan cuma soal isi pembicaraan. Mereka melihat pakaian yang kamu kenakan, apakah jilbabmu berukuran sesuai atau tidak.”

Washington menandatangani kesepakatan damai dengan Taliban pada Februari silam. Di dalamnya, AS berkomitmen menarik mundur pasukannya. Sementara Taliban wajib bernegosiasi dengan pemerintah Afghanistan untuk mengakhiri perang.

Seorang negosiator perempuan Afghanistan, Fatima Gailani, 66, mengaku perempuan ketakutan menanggapi negosiasi dengan Taliban. Menurut pakar Syariah Islam itu, mereka khawatir dikorbankan dalam proses negosiasi.

Ideologi perang para gerilayawan

"Setiap perempuan di Afghanistan punya satu rasa takut. Kami selalu takut bahwa perubahan apapun yang terhadi di Afghanistan, ketika ada perubahan politik, perempuan selalu yang terluka,” kata perempuan yang pernah menjadi juru bicara kelompok Mujahiddin dalam perang melawan Uni Soviet pada dekade 1980-an itu.

Namun dia juga mendapat dukungan dari anggota delegasi pria, yang "meyakini apa yang saya perjuangkan,” katanya.

Putaran pertama perundingan akan fokus membahas "nilai umum,” seperti Syariah Islam, sebagai syarat gencatan senjata. "Saya ingin melihat Afghanistan, di mana Anda tidak merasa terancam. Jika kita tidak mencapainya sekarang, hal itu tidak akan pernah terjadi,” kata Gailani.

Sejauh ini Taliban belum membahas hak perempuan secara detail.

Negosiator perempuan lain, Habiba Sarabi, dilarang bekerja saat kekuasaan Taliban dan terpaksa melarikan diri ke Pakistan agar bisa kembali mengajar. Dia ingin memastikan bahwa Afghanistan tetap berbentuk negara republik, bahkan setelah Taliban bergabung dengan pemerintah.

Perempuan berusia 62 tahun yang merupakan gubernur perempuan pertama di Afghanistan dan pernah menjabat menteri selama dua kali itu, tidak yakin narasi perubahan yang disepakati pemimpin Taliban, akan serta merta diadopsi oleh para pejuangnya di lapangan.

"Para gerilayawan di sini di Afghanistan memiliki ideologi yang sama. Mereka punya perilaku yang sama,” katanya.

rzn/pkp (afp, ap)