Perang Dingin Masih Hidup di Asia, Ini Buktinya

picture-alliance/AP/Kyodo/Yoshitaka Sugawara
Sumber :
  • dw

Seremoni kecil di geladak kapal perang AS, USS Missouri, di mana Jepang menandatangani dokumen kapitulasi di awal bulan September 1945, mengakhiri Perang Dunia II. Tapi selama 75 tahun kemudian, tatanan politik pasca perang masih mendominasi kawasan Asia Timur.

Di Eropa situasinya berbeda. Jerman dan Perancis menjalin rekonsiliasi dan membuka jalan bagi pembentukan Uni Eropa, Uni Sovyet ambruk dan negara-negara timur Eropa menerapkan demokrasi.

Namun di Asia Timur, Perang Dingin belum mereda. “Perseteruan ideologi dan teritorial di kawasan ini masih menjadi warisan Perang Dunia yang belum tuntas,” kata Sejarahwan Jerman, Tortsen Weber.

Sejak Jepang menyerah, Asia Timur dilanda gejolak yang mencuatkan Partai Komunis sebagai kekuatan tunggal di Cina, 1949, atau berakhirnya pendudukan Jepang oleh AS secara resmi pada 1952, menyusul perjanjian damai di San Fransisco.

Kedua negara yang mewakili blok barat dan timur hingga kini masih giat mempersenjatai diri dan merawat konfrontasi. “Di Cina dan Korea Utara ada dinasti keluarga dan kepartaian. Sementara di negara lain menganut demokrasi,” imbuh Weber.

Dua negara adidaya yang saling bersaing di Asia Timur, Amerika Serikat dan Cina, bangsa yang terbelah di Semenanjung Korea dan kekuasaan rejim Kim di Pyongyang juga menyerupai situasi Perang Dingin.

Seandainya Cina mengikuti jejak Eropa menyambut demokrasi pasca perang, tentu kedua negara Korea dan Jepang akan bereaksi terhadap perkembangan itu. “Tapi peluang bersejarah itu dilewatkan melalui Pembantaian Tiananmen,” tutur Weber yang sedang meneliti di Institut Studi Jepang di Tokyo.

Sejarah sebagai instrumen politik

Berbeda dengan Eropa, Asia Timur hingga kini belum siap untuk sebuah rekonsiliasi, yang tercermin pada perseteruan teritorial di kawasan. Perebutan pulau tak berpenghuni di lepas pantai Korea Selatan dan di Laut Cina Timur demi sumber daya alam dan keunggulan militer merupakan contoh teranyar.

Buat negara-negara bekas jajahannya, keengganan Jepang membayar ongkos teritorial usai Perang Dunia II masih menjadi duri di dalam daging, “Dari sudut pandang Beijing, Seoul dan Pyongyang, pemisahan Korea dan keberadaan Taiwan adalah warisan imperialisme Jepang,” kata pengamat politik Kanada, Stephan Nagy, di Universitas Kristen Internasional di Tokyo.

Buntutnya sentimen nasionalisme menguat. Korsel mencoba mengusir hantu penjajahan, 1910-1945, dengan mengalakkan “dekolonialisasi anti Jepang.” Hubungan Cina dengan Jepang juga didominasi rasa nasionalistik.

Ketika kedua negara kembali menjalin hubungan diplomatik pada 1972, Mao Zedong mengatakan, tanpa invasi Jepang, kaum komunis tidak akan mungkin merebut kekuasaan. Permusuhan kedua negara sempat mereda, namun kembali menguat di era Jiang Zemin.

“Narasi tentang penindasan dan pengorbanan sangat penting bagi pembentukan identitas, dan ini semakin dibetoni lewat pendidikan dan budaya pop,” ujar Daniel Sneider, pakar Asia Timur di Stranford University, AS.

Artinya, Cina, Korea Selatan dan Korea Utara menyudutkan Jepang sebagai instrumen politik untuk merebut hati rakyat. “Para pemimpin di Beijing dan Seoul tidak cuma merawat ingatan sejarah untuk mengenang para korban, tetapi juga buat memetik keuntungan politik,” imbuh Ralph Cossa, bekas direktur lembaga pemikir AS, Pacific Forum, di Hawaii.

“Permohonan maaf kosong”

Pada saat yang sama Jepang iuga ikut merawat antipati di negeri jiran lewat kebijakannya sendiri. Hingga kini pemerintahan di Tokyo tidak banyak menunjukkan penyesalan atas invasi ke Cina, atau Pembantaian Nanjing 1937, dan menyepelekan beban sejarah perekrutan paksa perempuan sebagai budak seks.

Baru pada 2001, PM Junichiro Koizumi mengunjungi Cina dan secara verbal mengungkapkan penyesalan atas kekejaman Jepang di negeri bekas jajahannya itu.

Meski demikian, pemerintah saban tahun masih mengunjungi Kuil Yasukuni di Tokyo, yang mengagungkan penjahat perang Jepang. Biasanya setiap perdana menteri ikut mengingatkan tentang kekejaman imperalisme Jepang ketika berkunjung ke kuil tersebut, agar tidak memprovokasi jiran di barat.

Namun kebiasaan itu dihentikan oleh Perdana Menteri Shinzo Abe. “Di dalam ilmu pengetahuan, perilaku itu disebut sebagai upaya mengosongkan,” sejarah, kata sejarahwan Jerman, Weber. Dengan cara itu pemerintahan konservatif Jepang dinilai ingin memperlemah prinsip antiagresi yang dianut militer Jepang.

Kesamaan yang dilupakan

Penekanan pada rasa nasionalistik dan perbedaan ikut menghalangi negara-negara Asia Timur untuk menyelami kesamaan kultural dan menjadikannya batu loncatan menuju pendekatan dan rekonsiliasi.

Ketiga bangsa di Asia Timur saling berbagi akar kebudayaan dari Cina, antara lain Konfusianisme atau Buddhisme, dan juga aksara. Tapi mereka lebih suka bersaing tentang siapa yang paling baik merawat warisan tersebut.

Dari sudut pandang Cina, Jepang telah mengkhianati nilai-nilai ke-Asia-annya lewat deklarasi perang. Sebaliknya Cina juga dianggap telah berpisah dari Asia ketika menerapkan Maoisme. Sementara Korea bahkan tidak mampu membangun satu negara bersama.

Pemimpin di Asia biasanya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bertemu di satu meja dan kembali membangun rasa saling percaya. Sebab itu pula hubungan antara negara di Asia Timur tetap membeku hingga kini.

rzn/hp