Kebakaran Hutan di Berbagai Negara Tahun 2020 Terburuk Selama 18 Tahun

Hingga pertengahan September 2020, empat wilayah di negara berbeda dilanda karhutla terbesar sejak pengenalan data satelit observasi dua dekade lalu.-GETTY IMAGES
Sumber :
  • bbc

Sekelompok ilmuwan menyebut kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di berbagai negara pada 2020 akan menjadi yang paling parah sepanjang dua dekade terakhir.

Karhutla di negara bagian New South Wales, Australia; kawasan Arktik Siberia; wilayah Pantai Barat Amerika Serikat, dan lahan basah Pantanal di Brasil merupakan yang terburuk dalam 18 tahun terakhir.

Catatan itu merujuk data Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dan lembaga penyedia data atmosfer, Copernicus Atmosphere Monitoring Service.

Namun akan seberapa serius dampak karhutla ini terhadap lingkungan?

Getty Images
Provinsi Kalimantan Selatan menetapkan status siaga darurat karhutla Juli lalu.

Hutan hujan tropis Indonesia

Periode karhutla di Indonesia sebenarnya sudah dimulai beberapa bulan lalu. Namun karhutla sekarang masih tetap terjadi di beberapa wilayah, antara lain Kalimantan Tengah dan Jambi.

Lembaga pemantau lingkungan, Greenpeace, menyebut setidaknya 64.000 hektare hutan telah terbakar sampai Juli lalu. Meski begitu, angka itu lebih kecil daripada luas area terdampak tahun 2019.

Kalimantan Tengah menetapkan status siaga darurat karhutla Juli lalu, tak lama setelah 700 titik api terdeteksi di provinsi itu.

Setidaknya lima pemerintah provinsi lain, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Kambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, juga menetapkan status siaga serupa.

Sementara itu, pemerintah pusat memotong anggaran penanganan karhutla. Alokasi anggaran dari sektor ini diklaim akan dialihkan untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Basin Amazon dan Pantanal

Citra satelit NASA dan kajian sejumlah organisasi lingkungan menunjukkan bahwa kebakaran hutan tengah menyebar di Basin Amazon, Brasil.

Berstatus hutan hujan tropis terbesar di dunia, Amazon merupakan tempat penyimpanan karbon penting yang dapat memperlambat laju pemanasan global.

Amazon merupakan rumah untuk satu juta orang adat sekaligus habitat sekitar tiga juta tumbuhan dan binatang.

Getty Images
Kebakaran hutan di Amazon, Brasil, disebut seburuk yang pernah terjadi sepuluh tahun lalu.

Sejumlah peneliti dan pakar kehutanan menyebut deforestasi Amazon saat ini persis dengan kejadian yang terjadi di kawasan itu satu dekade silam.

"Anda mungkin tidak melihat kebakaran seperti yang terjadi di hutan California karena api yang berkobar di Amazon rendah. Tapi kebakaran semacam itu lebih merusak," kata Paulo Moutinho, peneliti senior di Amazon Environmental Research Institute, sebuah organisasi sains independen di Brasil.

"Pohon-pohon bisa mati dalam beberapa tahun. Satu hektar hutan di Amazon memuat 300 spesies tumbuhan dan pepohonan, sedangkan dalam luas yang sama di California hanya ada 25 spesies," ujarnya.

Badan Antariksa Brasil, INPE, menyebut jumlah karhutla di Amazon meningkat hingga 28% antara Juli 2019 hingga Juli 2020.

BBC

Tidak seperti kekeringan yang terjadi di kawasan pantai barat AS, karhutla di Brasil umumnya terjadi akibat deforestasi.

Menurut pegiat konservasi, deforestasi itu terjadi akibat kebijakan pemerintah Brasil yang lebih mengutamakan pertanian dan pertambangan.

Namun sebenarnya bukan hanya hutan hujan tropis di Amerika Selatan yang tengah terbakar. Di sisi selatan Amazon, yaitu kawasan lahan basah terbesar di dunia, Pantanal, api juga sedang berkobar.

Pantanal merupakan salah satu lokasi dengan keanekaragaman flora-fauna terbesar di dunia. Wilayahnya terbentang dari Brasil, Paraguay, dan Bolivia.

Pantanal adalah dataran banjir terbesar di dunia. Wilayah ini pada kondisi normal selalu banjir saat musim hujan atau antara November hingga April.

Tahun 2020, tidak terjadi banjir di Pantanal. Akibatnya, kekeringan parah pun melanda kawasan itu.

Padang rumput dan savana Afrika

Citra satelit juga menunjukkan karhutla besar di wilayah tropis Afrika. Kebakaran terjadi di savana dan padang rumput. Di lokasi itulah hampir sebagian besar karhutla terjadi di Afrika setiap tahun.

Walau kebakaran tahun ini terlihat sangat rapat, beberapa ilmuwan menyebut dampaknya terhadap lingkungan tidak akan begitu buruk.

"Mayoritas kebakaran di Afrika merupakan proses alami yang sudah terjadi selama ribuan tahun," kata Niels Andela, dosen di School of Earth and Ocean Science, University of Cardiff.

"Melalui proses itu, vegetasi meregenerasi savana dan padang rumput di Afrika," ujarnya.

Karhutla di Afrika juga dianggap tidak berdampak buruk untuk lingkungan. Alasannya, savana dan padang rumput baru akan menyerap emisi karbon yang muncul saat karhutla.

Getty Images
Lahan gambut di Arktik terbakar hebat musim panas ini. Jumlah CO2 yang muncul setelah kebakaran itu pun memecahkan rekkor.

Ladang gambut Arktik

Saat karhutla di California membesar Agustus lalu, Lingkar Arktik sudah lebih dulu terbakar. Si jago merah membakar tundra, sedangkan asapnya menyelimuti kota-kota di kawasan Siberia.

Karhutla di Arktik ini menghasilkan 244 megaton karbon dioksida. Jumlah itu merupakan rekor terbesar dan 35% lebih banyak dari tahun lalu, menurut Copernicus Atmosphere Monitoring Service.

Sejumlah pakar menyebut peningkatan emisi karbon signifikan terjadi karena lahan yang terbakar merupakan lahan gambut. Tanahnya jenis ini mengandung banyak karbon.

Para ilmuwan mengatakan musim dingin dan musim semi yang hangat merupakan salah satu faktor terjadinya karhutla itu.

Dampak lingkungan

Setiap tahun para ahli lingkungan menyebut luas hutan yang terbakar di seluruh dunia mencapai empat juta kilometer persegi. Luas itu nyaris sebanding dengan luas Uni Eropa,

Karhutla itu pun berdampak serius terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem dunia.

Karhutla merupakan bagian dari siklus positif alam yang berbahaya karena memunculkan sejumlah besar karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.

Konsekuensinya, bumi akan lebih hangat dan pada gilirannya, membuat hutan lebih kering. Bukan tidak mungkin, situasi itu juga akan memicu karhutla berikutnya.

Getty Images
Menurut NASA, Kebakaran yang terjadi di lahan banjir Pantanal melebihi catatan terburuk yang pernah mereka buat.

Awal pekan ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa target perlindungan keanekaragaman hayati yang mereka tetapkan untuk dekade ini gagal dicapai.

Sekitar satu juta spesies hewan dan tumbuhan kini terancam punah. Risiko besar itu tidak pernah muncul sebelumnya dalam sejarah umat manusia.

Perkiraan itu muncul dalam kajian Intergovernmental Science Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services tahun 2019.

Saat hutan terbakar, sejumlah besar karbon dioksida terbang ke atmosfer. Dampaknya, pemanasan global bisa bergulir lebih cepat.

"Pada titik ini, kebakaran menyumbang 5% emisi tahunan AS, dan 0,7% emisi CO2 tahunan secara global," kata Pieter Tans, pakar iklim di Badan Nasional Kelautan dan Atmosfer AS.

Pencemaran udara akibat karhutla juga berdampak pada kesehatan masyarakat. Polutan disebut dapat terbang dalam jarak jauh. Zat perusak lingkungan itu pun berpotensi menjadi lebih beracun saat terpapar sinar matahari dan elemen lainnya.

"Dalam kasus asap dari karhutla California dan Oregon, asap masuk ke arus jet alias angin kuat di atmosfer bagian atas," kata Mark Parrington, pakar atmosfer di Copernicus Atmosphere Monitoring Service.

"Asap itu kemudian terbang cukup cepat ke Eropa atau sejauh 8.000 kilometer, selama beberapa hari."

"Namun risiko terbesar terhadap kualitas udara dan kesehatan manusia dekat dengan penyebabnya, di mana kualitas udara saat ini telah sangat menurun," ujar Mark.

AFP
Kawasan Amazon merupakan wilayah dengan tingkat penularan Covid-19 yang paling tinggi di Brasil.

Virus corona dan kualitas udara

Saat ini muncul kekhawatiran bahwa kasus Covid-19 yang parah bisa terjadi di dalam dan sekitar lokasi karhutla.

"Di Brasil, infeksi Covid-19 pada masyarakat adat terlihat lebih dari 150% lebih tinggi daripada populasi lainnya," kata Moutinho dari Amazon Environmental Research Institute.

"Karena banyak masyarakat adat ini berada atau dekat lokasi yang dilanda kebakaran hutan, mereka dikhawatirkan akan lebih mudah terpapar virus corona," ucapnya.

Beberapa penelitian sejauh ini mengaitkan polusi udara dan kasus parah Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya sudah menginformasikan informasi itu kepada seluruh anggotanya.