Pekerja COVID-19 di Australia dan Indonesia Punya Kesamaan Cerita

Anggara menggunakan APD dan masker yang dianggapnya sebagai "benteng pertahanan" bagi dirinya saat bertemu warga.
Sumber :
  • abc

Anggara Widyartanto sudah menjadi relawan COVID-19 di kota Surabaya sejak awal pandemi.

Mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat di Universitas Airlangga bergabung menjadi relawan COVID-19 sejak Maret 2020.

Tugasnya adalah memberikan edukasi kepada warga, selain juga menyemprotkan disinfektan di rumah-rumah.

Ia mengatakan meski kebanyakan warga Surabaya telah memiliki pengetahuan soal virus corona, tapi ditemukan juga warga yang percaya teori konspirasi seputar virus corona.

"Mereka ini mengkhawatirkan masyarakat lainnya, karena tidak mau menggunakan masker atau menaati protokol kesehatan," ujarnya.

Salah satu tugas Anggara sebagai relawan COVID-19 di Surabaya adalah mengedukasi warga soal virus corona. (Koleksi pribadi)

Tak hanya itu, saat berhadapan dengan masyarakat kelas menengah ke atas, Anggara mengatakan kebanyakan dari mereka tidak mau diajari.

"Masyarakat dengan pendidikan tingkat rendah juga sama susahnya … misalnya mereka takut dibohongi, sehingga kurang yakin kalau diajak untuk dites [COVID-19]," jelas Anggara kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar di Surabaya berkahir, Anggara mengikuti tantangan 31 hari siap adaptasi, sebuah program relawan yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Termasuk diantara tugasnya adalah "tracing" atau menelusuri orang-orang yang pernah melakukan kontak langsung dengan mereka yang dinyatakan positif COVID-19.

Anggara pernah ditempatkan di salah puskesmas di Surabaya untuk melakukan "tracing".

Ia meminta warga untuk memberikan data pribadinya, termasuk KTP, serta menanyakan sudah berpergian kemana, berapa orang tinggal di rumah.

"Yang sulit itu adalah warga tidak percaya jika saya orang dari Puskesmas, dengan bilang, "Mas ini mempergunakan data kami untuk apa?"," kata Anggara.

"Ada pula yang menjawab jika mereka sehat-sehat saja, masih bisa bekerja, supaya mereka tidak perlu melakukan "tracing"," tambahnya.

Menurut Anggara penolakan untuk dites atau pelacakan disebabkan karena banyak warga yang takut jika mereka kemudian dinyatakan positif tertular virus corona.

Bukan hanya stigma terhadap pasien COVID-19 di Indonesia yang masih kental, tapi Anggara mengatakan banyak warga khawatir tak bisa lagi bekerja atau beraktivitas, jika kemudian dinyatakan terkena COVID-19 karena harus melakukan isolasi mandiri.

Pengalaman mendatangi warga di Melbourne Fransiska Wuri and suaminya I Made Dwicahyana Putra menjadi petugas untuk menganjurkan warga Melbourne menjalani tes COVID-19 di akhir Juni 2020. (Foto: Supplied)

Pengalaman Anggara di Surabaya dirasakan juga oleh Fransiska Wuri Nugrahani dan suaminya, I Made Dwicahyana Putra di Melbourne.

Keduanya pernah diperkerjakan selama sepekan di bulan Juni lalu untuk mendatangi rumah-rumah warga di daerah Pakenham.

Pakenham berlokasi sekitar 53 kilometer dari pusat kota Melbourne dan sempat masuk dalam daftar kawasan dengan penularan virus corona tertinggi di Melbourne metropolitan.

Tugas Siska, panggilan akrab Fransiska, dan suaminya adalah mendatangi rumah warga untuk menanyakan kondisi kesehatan mereka, apakah mereka punya gejala COVID-19, kemana mereka harus pergi untuk dites yang kebetulan di Australia tidak dipungut biaya.

Siska mengaku bekerja selama sekitar 8 jam dan bisa mendatangi 50-80 rumah warga dalam sehari.

"Saat door to door kami juga hanya ketok pintu atau pencet bel dan tidak ada kontak sama sekali. Jadi jaga jarak 2 meter saat pintu dibuka," jelas Siska kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.

Warga yang menolak didatangi petugas menempelkan pesan di pintu rumah mereka di Melbourne. (Foto: Supplied)

Bila warga membuka pintu mereka, tim akan mengajukan serangkaian pertanyaan dan menanyakan apakah mereka mau dites COVID-19.

"Jika ya, lanjut pertanyaan selanjutnya. Jika tidak, kami langsung stop. Karena banyak kejadian ada warga yang bersikap agresif," jelas Siska.

Siska mengatakan beberapa warga menempelkan secarik kertas yang ditempelkan di pintu rumahnya dengan menuliskan mereka tidak mau dites.

"Jangan mengetok pintu. Kami tidak akan mau menjalani tes," tulis satu pesan.

"Untuk tim COVID-19, kami sudah menjalani isolasi selama enam bulan. Kami tidak memiliki gejala dan kami mau mengambil resiko dengan kesehatan kami dengan melakukan tes. Tolong jangan ketok pintu," tulis yang lain.

Pemerintah Victoria memberikan bantuan uang bagi mereka yang terpaksa tidak bekerja saat menunggu hasil tes, tapi tetap saja ada warga yang khawatir tidak akan bisa bekerja jika dinyatakan positif COVID-19.

Bulan Juli lalu ada pula laporan jika lebih dari 10 ribu warga Melbourne yang tinggal di kawasan "hotspot" penularan virus corona menolak dites, karena mereka percaya jika virus ini sebagai sebuah konspirasi.

"Masyarakat keras kepala" Penolakan warga di Melbourne juga sempat dilaporkan terjadi di beberapa kawasan pemukiman dengan alasannya yang sama seperti ditemukan di Surabaya. (AAP: Daniel Pockett)

Sebagai pekerja COVID-19 di Melbourne, Siska mengatakan dia tidaklah merasa khawatir dengan kesehatannya sendiri.

"Di sini standar prosedurnya ketat sekali. Walau dapat kerja dari dari agency [agen penyalur] dan pelatihan minim, terbilang kilat, tapi semua informasi yang diberikan mudah dipahami, dan protokol kesehatan jelas," katanya.

Di Surabaya, Anggara juga mengatakan jika ia diharuskan menggunakan alat pelindung diri lengkap saat bertemu dengan warga, termasuk saat memberikan bantuan ke rumah-rumah.

"Saya enggak takut tertular selama kita menjalani protokol kesehatan, masker itu jadi benteng saat saya di luar," kata Anggara.

"Ketakutan terbesar saya adalah saya berhadapan dengan masyarakat yang keras kepala," jelasnya.

Menurut Anggara jika berhadapan dengan "masyarakat yang keras kepala", maka akan susah juga untuk memberikan informasi yang benar dan pada akhirnya akan sulit untuk menekan penularan.