Mengapa Tak Ada Pelajaran Sejarah Kolonialisme di Sekolah Jerman?

Shotshop/imago images
Sumber :
  • dw

Pada uang kertas 200 dolar Namibia ada wajah Hendrik Witbooi. Murid sekolah di Namibia kenal sosok ini, karena dia dihormati sebagai pahlawan nasional yang berperang melawan kekuasaan kolonial Jerman pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Pasukan Jerman ketika itu melakukan pembantaian massal terhadap etnis Herero dan Nama.

Di Jerman, hampir tidak ada murid yang kenal Hendrik Wootboi. Karena di jadwal pelajaran resmi sekolah tidak ada mata pelajaran mengenai masa itu, apalagi buku pelajaran tentang itu. Kelompok "Gemeinsam Afrika" (Bersama untuk Afrika) sekarang membuat bahan-bahan pelajaran tentang Hendrik Witbooi dan tema-tema masa kolonialisme Jerman. Mereka berharap, ada guru-guru sekolah yang mau menggunakan bahan-bahan itu di jam pelajarannya.

"Seharusnya jadwal pelajaran (resmi) memang ditinjau lagi, termasuk buku pelajarannya", kata Abigail Fugah. Aktivis berusia 26 tahun itu yang mulai mengedarkan petisi, yang sekarang sudah ditandatangani hampir 95.000 orang.

"Yang diajarkan di sekolah sekarang tidak cukup ", kata Abigail Fugah yang lahir di Jerman kepada DW. Selama masa sekolahnya, para guru tidak pernah menyinggung sejarah kolonialisme Jerman. Tema rasisme juga tidak pernah dibahas. Padahal dia mengalami sendiri sikap rasisme. "Masa sekolah saya tidak mudah, kedua orang tua saya berasal dari Ghana", jelasnya.

Pelajaran Sejarah terutama fokus pada Perang Dunia Kedua

Hanya jika orang mengenal sejarah kolonialisme ini, orang bisa memahami munculnya sikap rasisme, kata Abigail Fugah. "Jika anak-anak kulit hitam sudah umur untuk mengalami rasisme, seharusnya anak-anak kulit putih juga sudah cukup umur untuk belajar tentang itu."

Reaksi terhadap dia dan kelompoknya, yang menyebarkan petisi, beragam. "Kebanyakan kritik justru datang dari para guru. Mereka menuduh kami tidak memperhatikan, bahwa pelajaran sejarah kolonialisme sudah ada dalam kurikulum sekolah. Masalahnya, itu bukan mata pelajaran wajib."

Yang menjadi fokus pelajaran sejarah di Jerman tentu saja peristiwa Holocaust, pembunuhan terhadap enam juta warga Yahudi, Perang Dunia Kedua, era Perang Dingin, dan perpecahan Jerman. Itu semua tema-tema besar, dan hanya sedikit waktu tersisa untuk tema-tema lain. Kecuali kalau ada guru yang secara sadar memang ingin membahas tema itu lebih jauh, seperti Imke Stahlmann, guru di Hamburg.

Sejarah kolonialisme penting untuk memahami rasisme masa kini

"Tema sejarah kolonial Jerman sudah mulai kita bahas sejak 15 tahun lalu, dan cukup intensif" di tingkat sekolah menengah, kata Imke Stahlmann kepada DW. Ini tema yang "sangat relevan untuk memahami banyak masalah-masalah global saat ini", tambahnya.

Baginya, adalah penting mengaitkan sejarah kolonialisme dengan rasisme yang sehari-hari masih ada pada masyarakat sekarang. "Terutama saat ini, misalnya yang berkaitan dengan gerakan Black-Lives-Matter." Murid-muridnya sangat antusias membahas hal itu, juga di luar jam pelajaran.

Sejak 2018, sekolah Gymnasium Farmsen di Hamburg, tempat Imke Stahlmann bekerja sudah punya program pertukaran dengan Chang'ombe Secondary School di Dar es Salaam, Tanzania.

"Kedua sekolah kami ternyata membahas tema-tema serupa, antara lain soal imperialisme dan sejarah kolonialisme", tutur Imke Stahlmann.

"Dari sanalah lahir gagasan untuk memberi kesempatan kepada murid-murid kami membahas tema itu bersama-sama."

Murid-murid dari Hamburg dan Tanzania lalu saling berbagi pandangan mengenai sejarah kolonialisme Jerman di Afrika timur. Puncak program itu adalah kunjungan kelas di Hamburg ke Tanzania dibalas dengan kunjungan murid-murid dari Tanzania ke Hamburg. Dalam sebuah proyek bersama di Hamburg, murid-murid membuat film tentang tugu-tugu peringatan kolonial yang ada di Kota Hamburg.

Abigail Fugah sendiri sekarang sedang mengikuti pendidikan tambahan agar nantinya punya kualifikasi untuk memberikan pelatihan anti-rasisme di sekolah-sekolah.

(hp/ rzn)