Vaksin Covid-19 Oxford/AstraZeneca Alami 'Kekeliruan Dosis'

Getty Images
Sumber :
  • bbc

Pada Senin (23/11), khalayak dunia mendapat kabar bahwa vaksin Covid-19 yang dikembangkan Universitas Oxford dan AstraZeneca menunjukkan tingkat efektivitas yang tinggi dalam uji klinis.

Hal ini memberikan harapan bahwa ada vaksin lainnya yang turut memerangi pandemi dengan harga lebih murah dan lebih mudah untuk didistribusikan ketimbang vaksin buatan Pfizer/BioNTech serta Moderna – yang beberapa hari sebelumnya juga mengumumkan hasil tes bagus.

Namun, setelah gegap gempita ini, laporan negatif bermunculan.

Pada Kamis (26/11), sejumlah media di Inggris dan AS melaporkan mengenai data-data yang dipertanyakan mengenai keampuhan vaksin tersebut.

Ada tiga tingkat efektivitas yang dilaporkan dalam uji coba klinis – keampuhan secara keseluruhan yang mencapai 70%: taraf yang rendah 62% dan taraf yang tinggi 90%.

Hasil berbeda itu disebabkan adanya perbedaan dosis yang secara keliru digunakan saat uji klinis. Beberapa relawan mendapat suntikan berisi vaksin yang kekuatannya setengah dari yang semula dirancang. Akan tetapi dosis "keliru" itulah yang ternyata mencetak tingkat keampuhan tinggi.

Apa maksudnya?

Beberapa isi suntikan yang diberikan kepada relawan muatannya lebih lemah dari yang semula dirancang.

Pemberian vaksin untuk setiap relawan sejatinya dilakukan dua kali. Adapun suntikan kedua diberikan sebulan setelah yang pertama, sebagai penguat.

Namun, ketika sebagian besar relawan dalam uji klinis mendapat dosis yang tepat, yakni dua kali suntik, sejumlah relawan lainnya tidak demikian.

Pihak regulator telah diberitahu mengenai kekeliruan ini sejak awal dan mereka sepakat bahwa uji klinis bisa berlanjut dan relawan-relawan lainnya dapat diimunisasi.

Eror tersebut tidak berdampak pada keamanan vaksin.

Apa hasilnya?

Sekitar 3.000 relawan diberikan setengah dosis lalu dosis penuh empat pekan kemudian. Perlakuan ini tampaknya memberi perlindungan paling baik atau paling ampuh dalam uji coba – sekitar 90%.

Kelompok berikutnya, yang berisi hampir 9.000 relawan, diberikan dua dosis penuh dengan jarak empat pekan. Tingkat keampuhan vaksin pada kelompok ini mencapai 62%.

AstraZeneca melaporkan dua persentase ini seraya menyebut bahwa secara rata-rata vaksin itu 70% efektif mencegah penyakit Covid-19. Angka ini membuat beberapa pakar bingung.

Prof David Salisbury, pakar imunisasi dan peneliti program kesehatan dunia di lembaga kajian Chatham House berkata: "Anda mengambil dua studi yang menggunakan dosis berbeda, lantas memunculkan hasil komposit yang tidak mewakili keduanya. Saya pikir banyak orang akan bermasalah dengan hal itu."

AstraZeneca menegaskan data yang digunakan merupakan hasil awal, bukan hasil menyeluruh dan final – sebagaimana juga dilaporkan Pfizer dan Moderna.

Pada waktunya, para perusahaan ini akan merilis hasil komplet dalam jurnal ilmiah agar bisa ditinjau publik.

BBC

Apakah hasil ini mengubah sesuatu?

Pihak regulator Amerika Serikat, FDA, mengatakan vaksin Covid-19 harus mencapai tingkat efektivitas setidaknya 50% agar bisa berguna memerangi pandemi.

Kalaupun publik mengambil tingkat efektivitas terendah dalam uji klinis vaksin AstraZeneca, hasilnya masih lolos dari patokan yang dibuat.

Analisis keampuhan didasarkan pada 131 kasus Covid-19 yang dialami relawan dalam pengujian:

  • 101 dari kasus-kasus ini terjadi pada orang yang menerima suntikan hampa (bisa cairan infus atau vaksin meningitis).
  • 30 lainnya adalah orang yang menerima suntikan vaksin sebenarnya – tiga di antara mereka menerima dosis dengan kekuatan setengah dan 27 menerima dua dosis penuh.

Para peneliti Oxford tengah menyelidiki mengapa para relawan yang diberi suntikan pertama dengan bahan lemah kemudian disusul dengan suntikan bahan berkekuatan penuh, tampak bekerja lebih baik ketimbang mereka yang diberikan dua dosis penuh.

Salah satu perkiraan adalah dosis rendah mungkin lebih baik dalam meniru penularan virus corona, yang memicu respons kekebalan tubuh.

Namun, mungkin juga bahwa para relawan yang menerima setengah dosis berbeda ketimbang mereka yang menerima dua dosis penuh.

Moncef Slaoui, kepala peneliti Operation Warp Speed - program yang memasok vaksin untuk Amerika Serikat - mengatakan kepada para wartawa AS bahwa kelompok yang diberikan setengah dosis hanya mencakup orang-orang di bawah 55 tahun.

Karena usia adalah faktor risiko seseorang mengalami sakit serius akibat Covid-19, vaksin yang melindungi kaum lanjut usia sangatlah penting.

Akan tetapi, hasil-hasil dari kajian vaksin Oxford fase kedua yang diterbitkan jurnal Lancet, menunjukkan vaksin membangkitkan respons yang kuat di semua kelompok usia.

Para peneliti Oxford telah mengirimkan seluruh data ke pihak regulator sebagai bagian dari pengajuan penggunaan darurat sehingga negara-negara dapat memakai tiga vaksin ini untuk mengimunisasi penduduknya.

AstraZeneca berkata: "Kajian-kajian dilakukan pada standar tertinggi.

"Akan ada lebih banyak data yang terakumulasi dan analisis tambahan akan dilakukan guna menajamkan tingkat keampuhan dan menetapkan masa perlindungan."

Perusahaan itu mengatakan pihaknya bakal melakukan kajian baru untuk mengevaluasi dosis dengan kekuatan lebih rendah yang justru lebih berkhasiat.

Direktur eksekutif perusahaan, Pascal Soriot, mengatakan mungkin dilakukan "kajian internasional, namun yang ini lebih cepat karena keampuhannya tinggi sehingga kami memerlukan jumlah pasien yang lebih sedikit."

Apa yang dikatakan pakar lain?

Meski terdapat perbedaan dosis vaksin, kajian vaksin Universitas Oxford tidak berubah dari rencana semula.

Prof Peter Openshaw, seorang pakar di Imperial College London, mengatakan pesan bagi khalayak adalah kita memiliki tiga vaksin Covid-19 yang sangat menjanjikan dan bisa segera tersedia untuk menyelamatkan nyawa-nyawa manusia.

"Kita harus menunggu data lengkap dan melihat bagaimana regulator meninjau hasil tersebut."

"Yang perlu kita lanjutkan adalah rilis data terbatas. Perlindungan dari vaksin Oxford AstraZeneca mungkin kurang dari vaksin mRNA, namun kita harus menunggu.

"Luar biasa bahwa setiap uji klinis ini menunjukkan perlindungan, yang kami pikir tidak akan terjadi."

Dia menambahkan: "Kita sudah lama ingin vaksin untuk berbagai penyakit dan belum tersedia- HIV, TBC, dan malaria adalah contohnya.

"Sejauh ini hasilnya vaksin Covid-19 bisa diwujudkan dan itu adalah berita yang sangat baik."