Dipenjara 43 Tahun karena Podcast Hina Keluarga Kerajaan Thailand

Anchan. EPA via BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Seorang perempuan Thailand dipenjara selama 43 tahun karena mengkritik keluarga kerajaan, hukuman terberat negara itu karena menghina monarki.

Mantan pegawai negeri sipil yang hanya dikenal sebagai Anchan itu mengunggah klip audio dari podcast di media sosial.

Perempuan berusia 63 tahun itu mengatakan dia hanya membagikan file audio dan tidak mengomentari kontennya.

Hukum lèse-majesté Thailand, yang melarang penghinaan apa pun terhadap monarki, termasuk yang paling ketat di dunia.

Setelah jeda tiga tahun, Thailand menghidupkan kembali undang-undang kontroversial itu akhir tahun lalu dalam upaya untuk mengekang protes anti-pemerintah yang terjadi selama berbulan-bulan. Para demonstran menuntut perubahan pada monarki

Anchan mengaku bersalah atas 29 pelanggaran terpisah terkait dengan aktivitasnya membagikan dan mengunggah klip di YouTube dan Facebook antara 2014 dan 2015, kata pengacaranya kepada kantor berita Reuters.

Ia awalnya dijatuhi hukuman 87 tahun, tetapi masa hukuman dipotong setengah karena ia mengaku bersalah.

Anchan termasuk di antara 14 orang yang dituduh melakukan lèse-majesté tak lama setelah junta militer merebut kekuasaan pada 2014 dan bersumpah untuk membasmi kritik terhadap monarki.

Kelompok itu dituduh mengunggah podcast, yang populer di kalangan pembangkang, yang isinya mempertanyakan monarki. Pembuat podcast sendiri hanya menjalani dua tahun penjara, dan telah dibebaskan.

Persidangan diadakan secara tertutup dan bukti terhadap terdakwa dirahasiakan dengan alasan keamanan nasional.


BBC

Seseorang yang dituduh hanya mengunggah klip-klip ini ke media sosial diberi hukuman yang begitu keras, dalam jangka waktu lama setelah penangkapan, hal ini menunjukkan pihak berwenang ingin memberi sinyal peringatan kepada pembangkang lain untuk berhenti berbicara tentang monarki.

Selama gelombang protes yang dipimpin mahasiswa tahun lalu, ada pertanyaan-pertanyaan terbuka tentang kekayaan, peran politik dan kehidupan pribadi Raja Vajiralongkorn dalam skala yang belum pernah terlihat di Thailand sebelumnya.

Lebih dari 40 orang aktivis muda telah didakwa dengan lèse-majesté selama beberapa minggu terakhir.

Hingga akhir tahun lalu, undang-undang tersebut-yang telah dikecam oleh pejabat hak asasi manusia PBB karena dianggap terlalu keras-telah ditangguhkan selama tiga tahun, atas permintaan raja.

Kelonggaran itu jelas telah berakhir.


Thailand memiliki sejarah panjang kerusuhan politik dan protes, tetapi gelombang baru dimulai pada Februari 2020 setelah pengadilan memerintahkan partai oposisi pro-demokrasi baru untuk dibubarkan.

Pengunjuk rasa menyampaikan berbagai tuntutan yang berkaitan dengan pemerintah dan sejumlah hal mulai terjadi ketika pengunjuk rasa mulai mempertanyakan kekuatan monarki.

Protes yang dilakukan termasuk tuntutan untuk membatasi kekuasaan monarki yang baru-baru ini diperluas dan menantang keputusan raja yang menyatakan kekayaan Kerajaan sebagai milik pribadinya, menjadikannya orang terkaya di Thailand.

Selama ini warga percaya kekayaan itu ditempatkan pada sebuah trust (dana perwalian) demi kemaslahatan rakyat.

Ada juga pertanyaan tentang keputusan Raja Vajiralongkorn untuk mengambil komando pribadi semua unit militer yang berbasis di Bangkok - konsentrasi kekuatan militer di tangan kerajaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Thailand modern.

Tindakan tersebut membuat banyak warga terkejut.

Di Thailand, orang-orang diajari sejak lahir untuk menghormati dan mencintai monarki dan takut akan konsekuensi dari membicarakan monarki.

Definisi penghinaan terhadap monarki di Thailand tidak jelas dan kelompok hak asasi manusia mengatakan hukum lèse-majesté sering digunakan sebagai alat politik untuk mengekang kebebasan berbicara dan menolak seruan oposisi untuk reformasi dan perubahan.

Royalis telah menentang demonstrasi yang dipimpin mahasiswa - dan mengatakan para pengunjuk rasa ingin mendesak penghapusan monarki, tuduhan yang dibantah para demonstran.