China-ASEAN Perkuat Kerja Sama Vaksin COVID Kala Pengaruh AS Menurun

Pertemuan para menlu ASEAN dengan Menlu China Wang Yi dilangsungkan di Chongqing di tengah penularan virus COVID yang masih terjadi. (AP: Bernat Armangue)
Sumber :
  • abc

Australia dan Amerika Serikat sudah berjanji memberikan bantuan vaksinasi COVID-19 kepada negara-negara Asia Tenggara.

Namun dengan meningkatnya penularan terbaru di kawasan Asia Tenggara akhir-akhir ini, ASEAN sekarang lebih berpaling ke China untuk mendapatkan bantuan segera.

Pekan ini, para menlu ASEAN bertemu dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi di kota Chongqing di saat angka penularan semakin tinggi, sehingga ketergantungan akan vaksin dari China juga semakin meningkat bagi banyak negara di kawasan, termasuk Indonesia.

Pertemuan ini terjadi sangat berbeda dengan pertemuan antara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken dengan para diplomat ASEAN bulan lalu yang tidak dapat terwujud karena masalah teknis.

"Fakta bahwa kedua belah pihak setuju bertemu tatap muka antar para menlu meski ada situasi COVID-19 yang masih buruk menunjukkan setiap negara mementingkan dan berharap banyak dari hubungan China-ASEAN dalam situasi baru," kata juru bicara Kemenlu China Wang Wenbin.

Masalah internet menjadi sebab gagalnya pertemuan online di akhir Mei, yang merupakan pertemuan Menlu Blinken pertama dengan kalangan ASEAN, yang juga saat itu Menlu Blinken sedang dalam perjalanan udara ke Israel.

Beberapa laporan media mengutip sumber diplomatik mengatakan Menlu Blinken membuat para pemimpin ASEAN harus menunggu selama 45 menit.

Hubungan Amerika Serikat dengan kawasan ASEAN memburuk selama pemerintahan presiden Donald Trump yang menolak menghadiri KTT ASEAN selama tiga tahun berturut-turut, bahkan di tahun 2020 ketika forum dilakukan lewat online.

"Masalah teknis dalam pertemuan Menlu Blinken dengan pemimpin ASEAN semakin memperkuat sentimen di ASEAN yang merasa ditelantarkan oleh Amerika Serikat yang sudah ada sebelumnya." kata seorang pengamat politik dari Malaysia, Ivy Kwek.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ABC mengapa pertemuan dengan Menlu Blinken tidak terlaksana.

ASEAN berterimakasih atas bantuan vaksin China

Gagalnya pertemuan para Menlu ASEAN dengan diplomat AS ini terjadi di saat Beijing mengirimkan jutaan tambahan dosis vaksin ke Asia Tenggara yang sedang menghadapi peningkatan penularan karena varian baru virus corona.

Pernyataan bersama yang dikeluarkan mengatakan ASEAN "sangat menghargai pengiriman vaksin oleh China" dan kedua belah pihak "setuju memperluas kerjasama vaksin".

Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyetujui penggunaan vaksin Sinovac, yang sekarang bisa didistribusikan ke seluruh dunia lewat skema COVAX.

Bulan lalu, WHO sudah menyetujui vaksin buatan China lainya Sinopharm.

Skema COVAX adalah untuk membantu pengiriman vaksin kepada negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk di Asia Tenggara, yang menghadapi masalah pasokan vaksin, khususnya karena berkurangnya ekspor vaksin dari India.

Amerika Serikat baru saja memberikan rincian rencana untuk memberikan 80 juta vaksin ke seluruh dunia termasuk ke Asia Tenggara, mulai akhir Juni.

Sekitar 75 persen dari 80 juta dosis vaksin itu akan didistribusikan lewat program COVAX.

Amerika Serikat sudah memberikan bantuan kepada Taiwan, yang menolak vaksin dari China, dan juga sekarang sedang menghadapi peningkatan kasus COVID-19.

Pekan ini, serombongan delegasi senator Amerika Serikat terbang ke Taipei menggunakan pesawat militer guna mengumumkan sumbangkan 750 ribu dosis vaksin.

Yuning Song, pakar masalah pertahanan di Taiwan mengatakan sumbangan vaksin Amerika Serikat bisa dilihat sebagai "misi kemanusiaan", namun penggunaan pesawat militer bisa dilihat sebagai pengiriman pesan tertentu ke China.

"Amerika Serikat mungkin bermaksud untuk melihat bagaimana reaksi China mengenai hal tersebut," katanya.

Bagi Iyy Kwek, yang juga menjadi pengajar tamu di National Chengchi University di Taiwan, "keterlambatan bantuan vaksin dari AS  telah menciptakan keadaan vakum di Asia Tenggara, dan sangat berbeda dengan diplomasi proaktif yang dilakukan China."

"Banyak negara ASEAN masih kewalahan menangani penularan COVID-19, dan untuk bisa mendapatkan vaksin yang cukup bagi warga mereka adalah hal yang penting  untuk menyelamatkan nyawa dan juga untuk bisa membuka perekonomian lagi," katanya.

"Dalam kerangka ini, bekerjasama debngan China bukanlah masalah berpihak, namun langkah pragmatis dan demi kepentingan nasional masing-masing negara ASEAN sendiri."

Pekan lalu, Vietnam minggu menyetujui penggunaan vaksin Sinopharm, setelah sebelumnya juga menyetujui penggunaan vaksin AstraZeneca dan vaksin Sputnik V dari Rusia.

Vaksin Sinovac sudah menjadi bagian penting program vaksinasi di negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina.

Amerika Serikat dan mitra yang terlibat dalam kelompok Quad yaitu Australia, Jepang dan India di bulan Maret lalu berjanji untuk meningkatkan produksi dan distribusi vaksin khususnya ke ASEAN.

"Janji vaksin COVID dari kelompok Quad memiliki batas waktu akhir tahun dan banyak negara ASEAN ingin mendapatkannya karena mereka ingin alternatif selain vaksin China," kata Hayley Channer, peneliti senior di USAsia Centre di Perth.

"Namun Amerika Serikat dan mitra Quad seperti Australia harus menepati janji tersebut bila tidak ini hanya akan dilihat sebagai janji kosong.'

China setuju 'menahan diri' di Laut China Selatan

Pertikaian masalah kawasan di Laut China Selatan, yakni sumber ketegangan terbesar antara China dengan negara-negara ASEAN, juga dibicarakan dalam pertemuan di Chongqing.

Pekan lalu, pesawat militer Malaysia sempat dikerahkan saat 16 pesawat China terbang di atas zona ekonomi khusus yang diklaim milik Malaysia.

Menlu Malaysia, Hishammuddin Hussein mengatakan "ini adalah pelanggaran terhadap wilayah udara dan kedaulatan Malaysia".

Pernyataan ASEAN-China dari pertemuan ini berjanji "untuk mempertahankan kebebasan melakukan perjalanan laut dan udara di Laut China Selatan, melakukan sikap menahan diri dalam kegiatan yang bisa mempersulit dan meningkatkan konflik".

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News