Cerita Qaris Nyaris Meninggal Gegara Ucapkan Ini di Afghanistan

Jurnalis media nasional, Qaris Tajudin saat di Afghanistan
Sumber :
  • Twitter @QarisT

VIVA – Seorang jurnalis media nasional, Qaris Tajudin menceritakan pengalamannya ketika berada di Afghanistan saat Taliban kehilangan kekuasaannya pada 20 tahun lalu. Dari cerita tersebut, publik bisa sedikit tahu kenapa sekarang mereka bisa berkuasa lagi. 

Jadi, kata dia, tidak lama setelah tragedi Menara World Trade Center (WTC) Amerika Serikat pada 9 November, AS menyerang Afghanistan karena Taliban yang berkuasa menyembunyikan Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda yang dianggap mendalangi aksi teror itu.

Menurut dia, AS datang dibantu Aliansi Utara yang bersuku Tajik di utara dan pasukan Ahmad Shah Massoud (Pashtun) di timur dan selatan. Hanya butuh beberapa minggu untuk merebut Kabul.

“Saya dikirim ketika Taliban sudah terdesak ke selatan, tapi masih berkuasa. Saya turun di Pakistan dengan harapan bisa masuk lewat Kandahar. Tapi di Kandahar, pasukan Taliban melarang. Alasannya, mereka enggak bisa jamin keamanan saya,” kata Qaris dikutip dari Twitter pada Rabu, 18 Agustus 2021.

Di hotel, Qaris bertemu seorang fixer yang baru mengantar wartawan Rusia masuk Afghan dari Pakistan. Caranya, dimasukkan ke karung beras. Di perbatasan, karungnya ditusuk-ditusuk pedang, dan pedang itu lewat di depan idungnya.

“Saya mau pakai jasanya, tapi enggak mau dikarungin. Dia putar otak, telpon sana-sini, lalu memutuskan memasukkan saya lewat dataran tinggi di timur. Setelah naik turun gunung dan dikejar tentara, kami bisa masuk Afghan. Perlu beberapa hari untuk sampai kota terbesar di sebelah timur: Jalalabad. Sepanjang jalan, semua kota seperti kota mati. Mencekam,” ujarnya.

Selama beberapa hari, kata dia, tidak lihat perempuan sama sekali. Pengaruh Taliban masih kuat, perempuan disembunyikan dalam rumah dan tidak boleh sekolah atau beraktivitas di luar. Jadi tidak heran ada kejadian pilu seperti yang dialami Malala Yousafzai.

“Sebenarnya sekolah cuma ada di kota besar. Di kota-kota kecil, sekolah sudah jadi markas militer. Saya sekali nginep di markas bekas sekolah. Tidur di lantai dengan granat dan peluru di sebelah (kolong ranjang),” jelas dia.

Tapi, Qaris mengaku melakukan hal bodoh yang hampir membuatnya koit alias meninggal. Di markas itu, ia dikerubungi belasan milisi yang semua mengacungkan senjata terkokang. “Udah kayak di film-film. Dengkul lemes. Salah gue apa? “Kamu pakai telepon satelit. Bahaya, bisa dilacak,” kata komandan yang selametin (duduk di tengah),” katanya.

Jadi, lanjutnya, di sana itu setiap daerah sebesar kecamatan dikuasai war lord. Setiap mau melintas harus izin dulu, kadang malah bayar. Mereka ini punya pasukan sendiri. Para warlord ini berkuasa banget. 

Nah, Qaris punya pengalaman lagi yang hampir meninggal dan ini ada hubungannya sama warlord. Dalam perjalanan Jalalabad-Kabul, seorang milisi bawa senapan mesin pingin ikut mobilnya. Fixer sudah melarang, tapi dia ngotot.

“Oke, akhirnya disetujui, tapi fixer bilang, ‘Kamu jangan ngomong apapun. Apapun’. Salah gue, pas doi masuk mobil, gue kasih salam, ‘Assalamualaikum’. Dia tahu logatnya bukan logat Afghan. Dia marah, nuduh gue intel AS dan mau bunuh gue,” katanya.

Akhirnya, Fixer meyakinkan bahwa Qaris bukan intel AS. Lalu, ia diminta baca Alquran. Tidak mempan, menurutnya bisa aja intel AS baca Alquran. Ya juga sih. Setelah itu, dia naruh moncong senjatanya di dada Qaris, ngokang, dan siap bunuh.

“Gue pasrah, ya udahlah ya, kalau memang mati, ya mati aja. Gue cuma mau salat 2 rakaat di batu gede di pinggir jalan. Eh, pas gitu tiba-tiba dia gak jadi bunuh. Lega, tapi gak tahu kenapa. Pas dia udah turun, fixer cerita sebabnya. Saya bilang, kau boleh bunuh dia, tapi bunuh saya dulu, kata fixer ke milisi. Emang kau siapa? tanyanya. Saya teman baik warlord X. Milisi itu ngeper & batal bunuh gue. Lah kalau dia gak takut sama warlord gimana? tanya gue. Ya kita mati bedua hahaha,” kata fixer itu,” lanjutnya.

Para warlord enggak loyal pada kekuasaan mana pun. Jadi, pragmatis banget? Yup. Tergantung siapa yang bayar. Jadi, kalau di Indonesia orang punya duit nyaleg, di sana orang punya pengaruh akan bikin milisi. “Ini yang buat kekuasaan di Afghan fragile. Siapa yang kuat lobby dan duitnya ke para warlord akan dapat dukungan. Di Afghan, konflik adalah bisnis,” katanya.

Ladang bisnis

Menurut dia, mau bisnis apa lagi di tengah orang-orang yang tak terpelajar, terisolir, dan semua pegang senjata. Di setiap rumah ada AK-47. Anak-anak lebih dulu belajar menembak dari baca-tulis.

Selain itu, ada bisnis opium. Dalam keadaan tanpa kekuasaan, para warlord punya atau lindungi ladang opium. Dari pinggir jalan utama bisa lihat ladang ini. Tentu, Taliban enggak bisa gerak sendiri. Pasti ada yang danain untuk menggaet para warlord. 

“Meski mereka Taliban (santri), tapi politik mereka bukan soal agama. Ini benar-benar pragmatis banget. Dan para warlord juga enggak mau gabung cuma diiming-iming surga,” katanya lagi.

Kelompok-kelompok ini bersatu kalau ada musuh bersama, kayak Uni Soviet. Tapi itu juga karena ada AS yang bayarin. Setelah Uni Soviet kabur dan kolaps, para mujahidin berantem sendiri, kudeta mulu kerjaannya.

“Taliban pada pertengahan 1990-an muncul karena geram sama berantemnya para warlord ini. Tapi akhirnya, dia masuk putaran yang sama. Apa yang terjadi beberapa hari lalu sebenernya kelanjutan aja dari konflik selama puluhan tahun,” jelas Qaris.

Siapa yang memimpin Taliban saat ini?

Namanya Mullah Baradar. Dia ditangkap pada 2010 di Pakistan. Tapi pemerintah Donald Trump pada 2018 minta Pakistan bebasin doi. Sekarang Mullah Baradar pemimpin Taliban dan "presiden" de facto Afghan. Simpulkan sendiri.

“Dulu, saat Taliban berkuasa, semua tempat hiburan diberangus. Bahkan, orang mau layangan dilarang. Alasannya? Haram,” katanya.

Nah, pas Qaris sampai, masyarakat Afghan lagi merayakan kebebasan mereka lagi. Bioskop dibuka lagi, meski filmnya film jadul. Kayak gini bioskop di ibukota Kabul. Jadi bisa kebayang kalau rakyat Afghan saat ini enggak mau hidup dibawah tekanan Taliban. 

“Bioskop dan hiburan tentu hal remeh. Yang lebih penting adalah soal keamanan. Kenapa? Gini, setiap terjadi perebutan kekuasaan kayak gini, negara akan goncang terus selama bbrp tahun utk cari titik keseimbangan. Artinya, pertempuran akan jadi makanan sehari-hari. Tentara dan pemberontak akan pakai semua fasilitas untuk perang,” katanya.