Juliet Burnett, Penari Balet Terkenal Australia Kini Geluti Tari Jawa

Juliet Burnett ketika tampil dalam pertunjukan "Swan Lake" untuk The Australian Ballet. (Foto: Daniel Boud)
Sumber :
  • abc

Penari balet Australia keturunan Indonesia, Juliet Catherina Widyasari Burnett sangat terkejut ketika menerima kabar dirinya telah memenangkan penghargaan "40 Under 40" pada 7 September lalu.

"Ini adalah sebuah kejutan besar," kata Juliet yang memenangkan kategori Seni dan Budaya tahun 2021.

Penghargaan "40 Under 40: Most Influential Asian-Australians Awards" tahun 2021 dianugerahkan kepada warganegara Australia keturunan Asia berusia tidak lebih dari 40 tahun yang berprestasi di bidangnya masing-masing.

Kabar baik ini diterima Juliet sehari sebelum keberangkatannya ke Belgium, di mana dia bekerja sebagai penari balet di Opera Ballet Vlaanderen sejak 2016.

Selama pandemi COVID-19, Juliet menghabiskan waktu di Australia bersama keluarganya, karena berkurangnya panggilan kerja di Belgia.

Merasa 'seperti dibesarkan di Indonesia'

Juliet lahir di Sydney pada November 1983.

Ayahnya adalah seorang seniman Australia yang mengunjungi Indonesia di awal tahun 1970-an "untuk menemukan jati diri", layaknya kebanyakan seniman asing lain di masa itu.

Dari Bali, sang ayah terbang ke Yogyakarta dan bergaul dengan para pemain teater Bengkel Teater garapan W.S Rendra, di mana ia bertemu seorang perempuan yang adalah adik penyair terkenal tersebut.

Keduanya menikah di tahun 1974 dan tinggal di Sydney, tapi sering berkunjung ke Indonesia karena pekerjaan ayahnya di perusahaan penerbangan Australia, Qantas.

"Bukan hanya sekali setahun, tapi kadang bisa dua sampai tiga kali setahun dan kami biasanya tinggal lama di sana," kenang Juliet.

"Itulah mengapa saya merasa seperti dibesarkan di Indonesia, karena saya punya banyak sepupu dekat ... dan meskipun tidak tinggal di sana, hubungan kami sangat kuat."

Perjumpaan Juliet dengan balet bermula dari rasa penasaran sang ibu terhadap sebuah gedung gereja yang lokasinya berjarak lima menit dari kediaman mereka di Sydney.

"Suatu kali kami melewati gedung itu dan melihat anak-anak perempuan belia keluar mengenakan baju ketat dan rok," kata Juliet.

"Ternyata aula gereja itu adalah tempat sekolah balet."

Sang ibu pun mendaftarkan Juliet dan adiknya untuk melihat ketertarikan mereka pada bidang itu.

"Ibu saya juga penasaran dan ingin tahu apakah kami mewarisi bakat menari nenek kami," ujarnya.

"Dan perasaannya benar, saya suka sekali dengan balet."

Sejak saat itu, Juliet tidak pernah berpisah dengan balet.

Dia melanjutkan pendidikannya di sekolah balet dan berhasil menjadi penari utama di perusahaan balet terbesar Australia yang bernama 'The Australia Ballet' dari tahun 2003 hingga 2015.

"Perusahaan tersebut punya setidaknya 200 acara setahun ... dan sekitar 92 pertunjukan tari," ujar Juliet.

Ada persamaan antara balet dan tarian Jawa

Selama belasan tahun terakhir, balet sudah menjadi hidup Juliet.

Namun, sebagai seseorang yang berjumpa dengan dunia pekerjaan di usia belia, dia pun sampai pada masa dirinya merasa "burnt out", atau jenuh, yang berujung pada krisis eksistensi.

Butuh angin segar, Juliet pun meminta izin pada perusahaan untuk memperbolehkannya mengambil beasiswa di perusahaan balet di Eropa dan Amerika.

"Tapi saya juga bertanya pada direktur, bila saya juga boleh menggunakan kesempatan ini untuk berhubungan kembali dengan kebudayaan Indonesia saya," katanya.

"Karena saya punya rasa penasaran tinggi terhadap tari Jawa dan merasa mempelajari tari tersebut bisa membantu saya."

Perasaan menggelitik itu terbukti benar, setelah Juliet menghabiskan masa di Solo dan mempelajari tari klasik Yogyakarta, yaitu Tari Golek.

Dia pun menemukan benang merah antara balet dengan tari yang mengisahkan Nyai Roro Kidul, Ratu Laut Selatan tersebut.

"Walaupun gerakannya sangat berbeda, dari sisi gaya, sampai asal kebudayaannya, banyak sekali persamaan, misalnya gerakan kaki," katanya.

"Juga bagaimana tangan harus digerakkan dengan anggun, dan tubuh dengan megah, karena ditampilkan di hadapan bangsawan."

Pengalaman tersebut membuka mata Juliet akan "identitas seni"nya, hingga mendorongnya untuk meninggalkan zona nyamannya.

Di tahun 2015, dia mundur dari perusahaan besar itu dan bekerja 'freelance', atau lepasan selama dua tahun di Indonesia.

"Tidak ada yang paham mengapa [saya mundur]. Tapi saya merasa harus melakukannya karena ingin menemukan banyak hal sebelum tubuh saya sudah tidak lagi dapat melakukannya," kata Juliet.

"Saya bekerja sama dengan koreografer Indonesia dan Australia, mengenal penarinya, dan berhubungan kembali dengan dua kebudayaan itu."

Sejak itu, penampilan tari Juliet selalu diwarnai elemen tari Jawa yang dan klasik barat, serta gerakan kontemporer.

Upaya menjembatani seniman Indonesia dan Australia

Melihat pentingnya kolaborasi antara seniman Australia dan Indonesia, Juliet menciptakan ruang kolaborasi melalui proyek A_PART, yang akan diluncurkan dalam waktu dekat.

A_PART adalah studio dan panggung online yang akan menampilkan karya seni dari para seniman kedua negara.

"Proyek ini sangatlah penting, karena ... juga akan menginspirasi seniman untuk memulai percakapan tentang kreativitas dan kebudayaan lintas benua," katanya. 

"Penonton dari seluruh dunia juga akan dapat melihat seniman dari kedua negara ini."

Selain itu, Juliet juga aktif menyusun proyek bersama seniman berdarah Indonesia di Australia lainnya.

Bersama seniman Karina Utomo Rama Parwata, dan Jaya Parwata, dia akan meluncurkan proyek seni tari teater berjudul "Kasekten", istilah Jawa yang berarti kekuatan.

"Karya ini mengisahkan bagaimana perempuan merebut kembali ruang mereka dan menulis ulang sejarah," katanya.

"Saya bekerja sama dengan seniman seni rupa Australia yang akan membuat [prototipe] gunung berapi di mana kami tampil, dan diiiringi musik gamelan."

Pesan bagi para calon seniman

Dalam perjalanan mencari jati diri di tanah kelahiran ibunya, Juliet sering berjumpa dengan anak-anak Indonesia yang juga diajarinya menari balet.

Bagi anak muda di Australia maupun Indonesia yang ingin berkarier di dunia seni, dia memiliki pesan penting.

"Yang ingin saya sampaikan pada mereka adalah untuk berpegang pada hal yang membedakan mereka dari seniman lain dan terus menjaga integritas," katanya.

Menurut Juliet, di masa modern ini, "seni sering dipandang sebagai sebuah perlombaan".

Namun, dia menekankan bahwa jumlah like atau pengikut di media sosial bukanlah segalanya.

"Seni bukan tentang kuantitas, kita kurang menaruh fokus pada kualitas ... dan ini berisiko menghilangkan seni itu sendiri," katanya.

"Temukan diri Anda sendiri dalam seni. Itu yang akan membedakan Anda dari yang lain."