Tenaga Kesehatan RI Ikut Jadi Garda Terdepan Pandemi di Australia

Dr Diena Said yang tinggal di Sale, Gippsland, mengatakan menjelaskan keamanan vaksin adalah bagian dari tugasnya. (Supplied)
Sumber :
  • abc

Pandemi COVID-19 sudah delapan belas bulan berlalu, tapi perang melawan virus corona masih belum berakhir. 

Di negara bagian Victoria dengan ibu kota Melbourne, para tenaga kesehatan masih terus berjuang untuk menekan angka penularan varian Delta yang masih tinggi, selain juga membantu merawat pasien di rumah sakit.

Tenaga kesehatan terus melewati banyak tantangan sejak dari awal wabah hingga sekarang saat program vaksinasi sudah dijalankan.

Seperti yang dialami Maya Hartono, seorang 'General Practitioner' (GP) atau dokter umum yang bertugas di sebelah tenggara kota Melbourne.

Tapi menurutnya tantangan sebagai seorang ibu hampir sama sulitnya dengan beban pekerjaannya.

Ia harus memisahkan diri dari anak-anaknya saat pulang ke rumah setelah bekerja.

"Saya punya kamar sendiri, jadi saya tidak tidur dengan mereka," ujar Maya yang berasal dari Indonesia.

Cukup sulit bagi anak-anaknya untuk mengerti tentang aturan protokol kesehatan, termasuk menjaga jarak.

"Anak-anak saya bilang 'ibu sehat, ibu bahkan tidak sakit, mengapa kita harus melakukannya?'," ujar Maya menirukan anak-anaknya. 

"Dan saya tidak bisa benar-benar memeluk dan mencium mereka sepanjang waktu… itu sangat sulit."

Pengalaman yang sama juga dirasakan Diena Said, seorang GP yang bekerja di sebuah klinik di Sale, di wilayah Gippsland, Victoria timur juga hampir sama.

Dina bertugas di sebuah klinik dokter umum, klinik pernapasan serta klinik vaksinasi.

"Saat ini kami mengerjakan banyak hal sekaligus… yang paling susah adalah kondisi terus berubah," ujarnya yang sudah lama tinggal di Melbourne.

Kota Melbourne sudah mencatat rekor sebagai kota yang menjalani 'lcokdown' paling lama di dunia saat ini, yakni sudah melebihi 230 hari sejak awal pandemi.

Tapi pada awal September kemarin, Pemerintah Victoria mengumumkan target nol kasus melalui 'lockdown' tidak lagi realistis.

Kini target mereka adalah memberikan vaksinasi kepada 80 persen warganya agar 'lockdown' bisa diakhiri.

Masih terbuka mendengar saran

Baik Diena maupun Maya mengatakan kekhawatiran terbesar dari pasien mereka adalah soal keamanan vaksin.

"Orang-orang mengira vaksin dibuat terburu-buru dalam waktu kurang dari setahun," kata Maya.

"Untuk mendapatkan persetujuan, [vaksin] selalu harus melalui tahap uji coba penting. Yang dipercepat hanya adalah aspek logistik, sementara penelitian dan hal-hal medis dan klinis masih sama," jelasnya.

Kemudian setelah itu mereka harus berhadapan dengan pertanyaan efek samping vaksin, khususnya AstraZeneca.

"Media selalu menyebutkan isu penggumpalan darah dari AstraZeneca tanpa benar-benar mendiskusikan hal lain, jadi pasien ketakutan dengan penggumpalan darah itu."

Pemberitaan di media soal penggumpalan darah menyebabkan jumlah peminat vaksin AstraZeneca menurun, sehingga Diena harus menjelaskannya kepada para pasiennya yang bertanya.

"Kami menjelaskan kepada mereka bahwa risiko terjadinya penggumpalan darah dari vaksin AstraZeneca, jauh lebih jarang dibandingkan dengan penggumpalan darah yang disebabkan oleh infeksi COVID-19 itu sendiri."

Diena mengatakan banyak pasiennya yang sering membaca informasi tidak akurat dari luar negeri melalui jejaring sosial, seperti WhatsApp dan Facebook.

"Yang mereka ingat selalu yang buruk. Tidak ada yang mengatakan mereka merasa baik-baik saja karena vaksin, efek samping yang buruk adalah yang sering didiskusikan."

Diena mengatakan dia senang bisa membantu warga untuk mendapat pengetahuan soal pandemi COVID-19 dan vaksin.

"Setelah kami jelaskan, mereka mengerti dan mereka bisa membuat keputusan yang lebih baik."

"Itu berarti mereka masih terbuka [untuk mendengarkan saran dari saya] ... maka saya dapat memberikan kepada mereka informasi yang penting," kata Diena.

Sebagai tenaga kesehatan asal Indonesia di Australia, Maya mengaku sedih saat mendengar laporan soal jumlah kasus Indonesia meningkat tajam selama gelombang kedua.

"Situasinya memilukan. Beberapa bulan lalu situasinya benar-benar buruk ... tadinya saya tidak pernah tahu indonesia seburuk itu."

"Dan kita di sini tidak bisa melakukan apa-apa," ujar Maya.

Maya mengatakan Australia termasuk beruntung karena bisa mengendalikan penularan melalui 'lockdown', meski banyak juga warga Australia yang bertanya apakah Pemerintah Australia benar-benar harus memberlakukan peraturan ketat.

"[Tapi] mereka tidak menyaksikan dan belajar dari situasi yang buruk seperti di Indonesia atau negara-negara Asia lainnya, yang benar-benar menderita," ujar Maya.