Ketegangan China-Taiwan, Rakyat Kedua Negara Tak Menginginkan Perang

Isabel Zhang lahir di China Daratan sementara suaminya James Xu berasal dari Taiwan. (Supplied)
Sumber :
  • abc

Dari rumahnya di Melbourne, Isabel Zhang mengamati meningkatnya ketegangan antara China dan Taiwan.

Selama tiga hari, China mengirimkan sekitar 100 pesawat tempur jet ke wilayah pertahanan udara Taiwan.

China melihat Taiwan sebagai bagian wilayahnya, sementara Taiwan menyatakan kedaulatannya sendiri.

Semakin meningkatnya gerakan militer di kawasan dan pembicaraan yang mengarah ke perang membuat sebagian orang mulai khawatir.

"Semua orang akan cemas bila terjadi perang. Sebagai warga migran, kami khawatir dengan anggota keluarga kami di sana," kata Isabel.

Isabel memiliki hubungan kuat dengan komunitas China dan Taiwan di Australia. Ia lahir di China, pernah tinggal di Malaysia dan Singapura, kemudian menikah dengan suaminya asal Taiwan di Melbourne.

"Saya kira ini masalah politik dan kami tidak membawa masalah politik ke meja makan di rumah," katanya.

"Hal yang tidak kita inginkan adalah perang. Saya kira perang tidak akan  bisa menyelesaikan perbedaan dan konflik politik dan sejarah ini."

Austin Tuon, presiden Asosiasi Persahabatan Taiwan Australia mengatakan komunitas warga Taiwan mengkhawatirkan "ancaman retorik" yang disampaikan pemerintah China dan juga semakin meningkatnya peralatan militer negara tersebut.

"Banyak di antara kami masih memiliki akar yang kuat di Taiwan. Kami memiliki keluarga dekat, kakek nenek, kakak adik, paman dan tante yang tinggal di Taiwan," katanya.

"Meski adanya tindakan otoriter dari Partai Komunis China, saya kira warga China tidaklah menginginkan perang.

"Kita harus mengingat sejarah kemanusiaan bersama."

Isabel, seorang peneliti kebudayaan dan bisnis, mengatakan komunitas China di Australia akan terkena dampak dari ketegangan tersebut.

"Sulit untuk tidak mempedulikan masalah ini, karena akar, budaya, sejarah kami saling terkait," katanya.

"Warga China Australia berasal dari berbagai tempat berbeda seperti China daratan, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, dan Singapura. Kami tidaklah menjadi bagian dari politik di sana.

"Kami adalah warga China Australia, tanpa melihat dari mana kami berasal.'

Apa yang terjadi Taiwan saat ini?

Selama beberapa bulan terakhir sudah muncul berbagai pernyataan dari China dan Taiwan yang membuat suhu politik meningkat.

Menteri Luar Negeri Taiwan, Joseph Wu, mengatakan bila China melancarkan perang terhadap Taiwan, maka Taiwan akan mempertahankan diri sampai titik darah penghabisan. 

Mereka juga meminta Australia untuk membantu dengan keamanan dan intelijen.

Di hari peringatan 100 tahun Partai Komunis China, Presiden Xi Jinping berjanji "menyatukan kembali" dan akan menghancurkan "rencana kemerdekaan Taiwan".

Minggu ini Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen menulis di Majalah Foreign Affairs jika negaranya terus memperkuat armada militer, namun "tidak berusaha mencari konfrontasi militer".

"Kami berharap adanya kehidupan bertetangga yang stabil, damai dan saling memberi manfaat dengan tetangganya. Namun bila demokrasi dan gaya hidupnya terancam, Taiwan akan berusaha dengan segala cara untuk  mempertahankan diri."

Di Australia, pakta pertahanan baru bersama Amerika Serikat dan Inggris, termasuk pembuatan kapal selam nuklir dilihat sebagai usaha untuk menandingi semakin kuatnya pengaruh China.

Namun Dr Jade Guan, pakar masalah strategis di Deakin University di Melbourne mengatakan kemungkinan perang tidaklah perlu terlalu dibesar-besarkan, karena di masa lalu kemungkinan konflik malah lebih besar.

"Di masa Krisis Selat Taiwan ketiga antara 1995-1996, China meluncurkan sejumlah rudal ke beberapa pulau kecil di sekitar Taiwan," katanya.

"Ketegangan yang ada sekarang antara China dan Taiwan tidaklah serius seperti sebelumnya."

Mempertahankan situasi yang ada

Lina Chen pindah dari Taipei ke Sydney hampir 50 tahun lalu dan mengatakan Taiwan, yang memiliki nama resmi Republic of China, pada dasarnya adalah negara berdaulat.

"Partai Komunis tidak pernah menguasai kami. Sekarang mereka bersikap provokatif," katanya.

"Warga di Taiwan khawatir pada akhirnya China akan mengambil alih Taiwan."

Dia mengatakan masalah geopolitis ini sudah merembet ke komunitas lokal,  di mana dia mendapat desakan untuk mengisi petisi mendorong agar Australia mengakui Taiwan sebagai sebuah negara.

"Akan bagus sekali bila Taiwan bisa menjadi negara independen, seperti Singapura," kata Chen.

"Tapi bagus juga dalam situasi seperti sekarang ini sehingga warga Taiwan dan China daratan bisa menjadi teman."

Bisa meningkatkan rasisme di Australia

Erin Wen Ai Chew,  dari Asian Australian Alliance mengatakan meningkatnya ketegangan mengenai Taiwan bisa semakin meningkatkan serangan rasisme terhadap warga China di Australia yang sudah memburuk karena pandemi COVID-19 dan perang dagang antara China-Australia.

"Dalam beberapa tahun terakhir sudah banyak pernyataan anti-China yang muncul, khususnya di Australia," katanya.

Erin mengatakan pembicaraan mengenai kemungkinan adanya perang akan memperburuk masalah rasisme.

Kurangnya pemahaman soal Asia membuat mereka yang berwajah Asia dikelompokkan menjadi satu kelompok di Australia.

"Hanya karena kami mungkin berwajah China, kami harus menunjukkan kesetiaan kepada Australia, bila tidak akan dianggap sebagai musuh," katanya.

Masalah lain menurutnya adalah mereka yang dikenal sebagai "pakar masalah China" yang memberikan komentar adalah kebanyakan pria berkulit putih, berusia menengah, yang sebenarnya tidak memahami nuansa dan budaya yang ada.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News