Oknum TNI dan Polri dituding Terlibat Sindikat Penyelundupan TKI

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc
Getty Images
Ilustrasi. Pekerja migran yang baru saja tiba dari Malaysia terlihat di Pelabuhan Tanjung Priok sebelum masuk ke karantina di Jakarta.

Sejumlah aparat dari instansi kepolisian dan militer diduga berperan dalam kasus penyelundupan pekerja migran Indonesia ke Malaysia yang berujung kematian puluhan orang.

Pimpinan Polri dan TNI berjanji mengusut dugaan keterlibatan anggota mereka dalam perkara itu.

Walau setidaknya dua tentara saat ini telah ditahan, kelompok advokasi pekerja migran menyebut perlu kebijakan yang lebih komprehensif untuk mencegah kejahatan ini terus berulang.

Baca juga:

Juru Bicara Satgas Misi Operasi Kemanusiaan Internasional, Kombes Harry Goldenhardt, menyebut penyelidikan tengah dilakukan di internal Polri untuk melacak dan menindak polisi yang diduga terlibat penyelundupan puluhan calon pekerja migran ke Malaysia.

Satgas itu dibentuk Polri tak lama setelah kecelakaan kapal yang menewaskan 21 WNI di Johor Bahru, 15 Desember lalu.

"Dalam satgas ini Subsatgas Pengamanan Internal yang dipimpin Kepala Divisi Propam. Mereka juga bekerja. Kalau ditemukan ada dugaan, tentu sebagaimana komitmen Kapolri, akan ditindak," kata Harry via telepon, Kamis (06/01).

Harry menyatakan hal itu untuk menanggapi Kepala Badan Perlindungan dan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Ramadhani. Pada Rabu (05/01) lalu, Benny menuding ada tentara dan polisi yang terlibat dalam kasus tersebut.

Tiga pekan sejak 21 calon pekerja migran ilegal asal Indonesia meninggal di perairan Johor Bahru, polisi sudah menangkap empat warga sipil.

Harry mengatakan, satu dari empat orang yang mereka tangkap berinisial M. Dia diduga kuat merupakan perekrut calon pekerja migran.

Satu orang lainnya yang ditangkap berinisial S, diduga berperan menyiapkan kapal untuk keberangkatan para calon pekerja migran.

"M adalah perekrut. Dia warga NTB. Begitu mendapatkan warga yang ingin bekerja secara ilegal, dia menghubungi S untuk menyediakan transportasi dari Kepulauan Riau menuju Johor Bahru," ujar Harry.

"Kapal yang tenggelam itu milik S. Dia juga menyediakan tempat untuk pemberangkatan ke Johor Baru dari Pelabuhan Gentong, Bintan," tuturnya.

Adapun dua orang lainnya yang ditangkap polisi diduga menampung puluhan WNI sebelum keberangkatan ke Malaysia.

Selain empat orang tadi, dua anggota militer juga ditangkap dalam kasus ini. Masing-masing tengah ditahan di polisi militer TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara.

Harry berkata, kepolisian tidak memegang kasus dua tentara tersebut. BBC News Indonesia berusaha mewawancarai juru bicara dua matra TNI itu, tapi belum mendapatkan jawaban.

Sebelumnya, pimpinan TNI AL dan TNI AU menduga anggota mereka itu turut berkomplot menyelundupkan calon pekerja migran. Hukuman diklaim akan dijatuhkan secara tegas kepada keduanya, jika terbukti bersalah.

Menurut Wahyu Susilo, Direktur kelompok advokasi pekerja migran, Migrant Care, dugaan keterlibatan aparat mengungkap salah satu penyebab terus berulangnya kejahatan ini.

Wahyu berkata, hukuman yang lebih berat semestinya dijatuhkan kepada mereka ketimbang warga sipil yang terlibat.

Alasannya, anggota kepolisian dan TNI yang semestinya menjaga perbatasan dan mencegah penyelundupan pekerja migran justru memanfaatkan celah yang mereka ketahui untuk keuntungan pribadi.

"Mereka tahu situasi perbatasan, kapan saat patroli ketat atau senggang. Itu kan sebenarnya informasi rahasia. Jadi selain dikenakan pasal perdagangan manusia, mereka bisa dikenakan membuka rahasia negara," kata Wahyu.

"Ini perlu supaya ada efek jera dan menjadi peringatan untuk integritas aparat, terutama di perbatasan. Kasus seperti ini bukan cuma terjadi di Selat Malaka, tapi juga Nunukan, Tawau, dan perbatasan darat lainnya," ujar Wahyu.

Kepala BP2MI, Benny Ramadhani, sebelumnya berharap Polri tidak hanya menangkap pelaku lapangan, tapi juga pemodal dan aktor utama kasus ini.

Pada Selasa (04/01) lalu, Benny bertemu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, termasuk untuk menyerahkan hasil penyelidikan mandiri mereka.

Kombes Harry Goldenhardt mengklaim lembaganya belum akan berhenti membongkar sindikat di balik penyelundupan yang berujung kematian puluhan WNI ini.

Namun Harry tidak dapat memastikan kapan seluruh orang yang terlibat dalam sindikat itu akan terungkap.

"Kami tidak bisa dibatasi waktu. Sebuah kasus memiliki kerumitan tersendiri. Tapi dari hasil pengungkapan sementara, ini boleh dikatakan sebuah keberhasilan," tuturnya.

Bagaimanapun, Wahyu Susilo menyebut penegakan hukum tidak akan cukup menuntaskan penyelundupan pekerja migran ilegal ke Malaysia.

Persoalan menahun ini, kata dia, harus diakhiri dengan mengatasi penyebab WNI memilih jalur ilegal saat hendak bekerja ke luar negeri.

Menurut Wahyu, salah satu faktor utama yang perlu segera diatasi adalah biaya tinggi urusan keberangkatan calon pekerja migran.

"Pada saat kondisi normal, ada biaya yang sangat tinggi untuk mengurus keberangkatan resmi, jadi pekerja migran memilih jalan pintas yang berbahaya, lewat jalur laut dan status yang tidak prosedural," ujar Wahyu.

"Padahal dengan pilihan itu mereka berpotensi menjadi korban kecelakaan. Kalau pun sampai ke negara tujuan, mereka bisa dikriminalisasi kepolisian setempat.

Jalan keluarnya adalah perubahan tata kelola imigrasi menjadi aman dan murah. Sekarang orang harus bayar Rp20juta - Rp25 juta, baik biaya resmi maupun tidak," ucapnya.

Merujuk pasal 30 UU 18/2018, pekerja migran Indonesia tidak boleh dibebani biaya penempatan.

Aturan itu dijabarkan lebih rinci dalam Peraturan BP2MI Nomor 29/2020, bahwa pekerja migran tidak dapat dibebani berbagai jenis biaya.

Rinciannya adalah tiket pergi-pulang, visa kerja, legalisasi perjanjian kerja, pelatihan kerja, dan sertifikat kompetensi kerja.

Biaya lainnya adalah jasa perusahaan, penggantian biaya paspor, surat keterangan catatan kepolisian, jaminan sosial, serta pemeriksaan kesehatan dan psikologi sebelum keberangkatan.

Pemeriksaan kesehatan di negara tujuan pun tak boleh dibebankan kepada mereka, begitu juga akomodasi dari rumah menuju bandara dan sebaliknya.

Empat pekerja migran ilegal diselundupkan ke Malaysia

Pengiriman pekerja migran ke Malaysia dihentikan sejak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauzia, mengeluarkan keputusan pada Juli 2020.

Pada saat yang sama, Kementerian Ketenagakerjaan Malaysia menutup pintu masuk pekerja migran asing setidaknya hingga 31 Desember lalu.

Namun keberangkatan tenaga kerja Indonesia ke Malaysia tetap berlangsung secara ilegal. Empat perempuan Indonesia, misalnya, tetap terbang ke Malaysia akhir September lalu untuk menjadi pekerja migran.

Kepada wartawan di Malaysia yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Vinothaa Selvatoray, keempatnya mengaku membayar hingga Rp2,7 juta kepada agen di kampung halaman mereka.

Agen memberi mereka dokumen keimigrasian dalam portal MyTravelPass. Di situ tertulis, mereka datang ke Malaysia untuk tujuan wisata. Padahal kala itu Malaysia masih menutup kedatangan turis selama kebijakan karantina wilayah.

Namun mereka lolos dari pemeriksaan imigrasi di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Empat WNI yang enggan namanya disebutkan ini kemudian menjalani karantina selama dua pekan di kawasan Damansara, Kuala Lumpur.

Mereka lalu ditampung agen mereka di sebuah apartemen, dengan iming-iming akan segera diberikan pekerjaan.

Awal Desember lalu, keempatnya kabur dari agen yang mereka tuding bersikap "kejam". Saat itu hanya satu dari mereka yang telah bekerja sebagai asisten rumah tangga. Namun dia urung mendapat upah.

"Paspor, uang, ponsel, kartu identitas asli, dan dokumen karantina kami semuanya disita," kata Budiwati, bukan nama sebenarnya.

"Kami bekerja setiap hari, membersihkan apartemen yang sama, tanpa istirahat dari jam 5 pagi hingga 10 malam, dan menerima pelecehan verbal yang berulang kali," ujarnya.

Sementara perempuan Indonesia lainnya, Aulia, bukan nama sebenarnya, menyebut agen merahasiakan lokasi apartemen mereka. Dia berkata, mereka kesulitan beribadah dan tidur di lantai setiap malam.

Usai kabur dengan cara turun dari balkon lantai tiga apartemen, keempatnya meminta perlindungan Kedutaan Besar Indonesia. Rabu lalu, mereka akhirnya dipulangkan.

"Kami akan melacak dan menyelidiki orang-orang yang memberangkatkan mereka dari Indonesia untuk mencegah lebih banyak perempuan diperdagangkan ke negara ini," kata Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono.

Adapun Menteri Dalam Negeri Malaysia, Hamzah Zainudin, menyebut sejumlah petugas imigrasi mereka diduga kuat terlibat kartel penyelundupan pekerja migran.

Hamzah berkata, anggota sindikat itu selama ini bebas masuk-keluar kantor imigrasi. Ada pula yang berkeliaran bebas di bandara dan pintu masuk perbatasan Malaysia.

Hamzah berjanji akan menyelidiki pejabatnya imigrasi secara transparan. Namun hingga hari ini belum ada perkembangan apapun yang disampaikan Hamzah kepada publik.

---

Wartawan di Malaysia, Vinothaa Selvatoray, berkontribusi untuk liputan ini