Alasan RI Tetap Undang Rusia ke G20 Meski Diprotes Negara Lain

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin dalam sebuah pertemuan di Rusia tahun 2016. (Supplied: Reuters/Sergei Karpukhin)
Sumber :
  • abc

Indonesia akan menjadi tuan rumah G20 di Bali pada bulan November tahun ini, dan Kedutaan Besar Rusia telah mengisyaratkan rencana Presiden Vladimir Putin untuk hadir.

Banyak negara anggota G-20 yang terdiri dari pemimpin ekonomi utama dunia telah meminta Indonesia untuk tidak mengundang Putin.

Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengatakan Rusia harus dikeluarkan dari G20.  Tetapi ia mengatakan, jika Indonesia tidak setuju, maka Ukraina juga harus diundang ke KTT — opsi yang sedang dipertimbangkan Indonesia.

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, juga mendesak Indonesia untuk menolak kehadiran Putin di sana, dengan mengatakan itu akan menjadi "langkah yang terlalu jauh".

Rusia pernah dikeluarkan dari badan internasional sebelumnya. Pada tahun 2014 Rusia dikeluarkan dari G8, sekarang G7, setelah pencaplokan Krimea. 

Australia mengancam akan mengeluarkannya dari G20 tahun itu sebagai tanggapan atas jatuhnya pesawat MH17.

Terlepas dari tekanan dari para pemimpin dunia dan serangan Rusia yang sedang berlangsung di Ukraina, Indonesia telah mengatakan ingin tetap tidak memihak dan Putin masih dipersilakan untuk hadir.

Indonesia yang menjadi presiden G20 tahun ini memiliki “tugas” untuk “mengundang semua anggota”, kata Dian Triansyah Djani dari Kementerian Luar Negeri.

Seiring meningkatnya bukti dugaan kejahatan perang di Ukraina, faktor apa saja yang melatarbelakangi undangan terbuka Indonesia?

Posisi Indonesia dalam konflik Rusia - Ukraina

Ketika Rusia pertama kali melancarkan serangannya ke Ukraina, Presiden Joko Widodo mengirim tweet bahwa perang harus dihentikan, tanpa menyebut Rusia atau konteks konfliknya.

Tanggapan Jokowi telah menuai protes dari banyak kalangan di Indonesia, yang kecewa karena pemimpin negara berpenduduk terbesar keempat di dunia itu tampaknya tidak memiliki sikap yang jelas tentang invasi tersebut.

"Ketika seluruh dunia, bahkan warga Rusia sendiri, mengecam invasi kepada Ukraina, sangat mengherankan Pemerintah Indonesia yang katanya cinta perdamaian malah tidak mengeluarkan statement tegas," kata anggota parlemen Rizki Natakusumah.

"Padahal Indonesia sekarang memiliki momentum emas sebagai presiden G20 yang pastinya dinantikan dunia. Jangan sampai momen berharga ini terlewatkan karena presiden tidak menjawab dinamika global," tambahnya.

Akun resmi Misi PBB Norwegia di New York melansir daftar negara-negara yang mendukung draf resolusi mengakhiri agresi Rusia terhadap Ukraina.

Tidak ada nama Indonesia di dalamnya.

Indonesia pada akhirnya mengutuk invasi tersebut dalam resolusi selanjutnya di PBB, sementara negara-negara seperti China dan India abstain, atau tidak menentukan sikap.

Namun, Indonesia abstain dalam pemungutan suara untuk mengeluarkan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Kesempatan untuk membeli minyak murah mungkin menjadi salah satu faktor pendorong ambivalensi Indonesia atas Ukraina.

Selain itu, ada juga soal pembelian alat-alat militer — Rusia telah menjual senjata kepada Indonesia senilai lebih dari $2,5 miliar selama 30 tahun terakhir, dan merupakan pemasok senjata terbesar di Asia Tenggara.

Sementara banyak negara telah memberlakukan sanksi, perusahaan minyak negara, Pertamina, sedang mempertimbangkan untuk membeli minyak mentah dari Rusia.

Pekan lalu di sidang parlemen, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan di tengah ketegangan geopolitik saat ini, Pertamina melihat "kesempatan untuk membeli dari Rusia dengan harga yang baik".

“Secara politik tidak ada masalah selama perusahaan yang kita hadapi tidak terkena sanksi. Kita juga sudah membicarakan pengaturan pembayaran yang mungkin melalui India,” kata Nicke Widyawati.

Membiarkan pintu terbuka untuk dialog

Sikap dan pernyataan Indonesia ini, menurut akademisi Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiyono, “lebih frutiful dibanding condemning", atau bermanfaat dibanding mengutuk.

"Posisi kita yang bebas aktif itu harus seperti itu. Bahwa kita tidak menjadi bagian dari mayoritas, itu bukan masalah. Yang penting kita berpegang pada prinsip."

"Di saat kita tidak ada di posisi yang hitam-putih itu lah, ruang-ruang untuk perdamaian bisa dibangun," tambahnya.

Namun, Evan Laksmana, peneliti senior di Pusat Asia dan Globalisasi di National University of Singapore, mengatakan Indonesia seharusnya sejak awal mengambil "sikap dan posisi yang lebih kuat, misalnya mengutuk invasi dan secara eksplisit menyebut Rusia".

Evan mengatakan menjadi "bebas dan aktif" juga berarti membela kepentingan Indonesia, termasuk di dalamnya prinsip-prinsip hukum internasional - tetapi itu pun tidak menghentikan Indonesia mengundang Putin.

Ketika ditanya tentang tuduhan kejahatan perang yang diduga dilakukan oleh pasukan Rusia di kota-kota dekat Kyiv, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan: "Itu adalah tuduhan dan oleh karena itu perlu diverifikasi oleh penyelidikan independen. Ini adalah proses yang akan kami dukung."

Romantisme masa lalu dengan Rusia

Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, kedekatan historis antara Indonesia dan bekas Uni Soviet, sejak tahun 1950-an, telah memengaruhi posisi Indonesia dalam krisis Ukraina sekarang.

Selain mendukung pencalonan Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia juga menerima pinjaman lunak dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dolar AS untuk membangun arena dan stadion olahraga, guna memenuhi ambisi Presiden Sukarno untuk menjadi tuan rumah Asian Games 1962.

Indonesia dan Uni Soviet juga terlibat dalam kesepakatan militer dan senjata — Indonesia membeli helikopter, kapal selam, kapal dan pesawat dari Uni Soviet senilai $450 juta pada tahun 1961.

Dan pada tahun yang sama, Angkatan Bersenjata Soviet membantu Indonesia dalam Operasi Trikora.

Namun, ia menambahkan, Indonesia juga memiliki kedekatan historis dengan Ukraina.

Ukraina, ketika masih bernama Republik Sosialis Soviet Ukraina, adalah negara pertama yang mengusulkan agar kemerdekaan Indonesia dari Belanda dibahas di Dewan Keamanan PBB.

“Berkat kegigihan [kepala delegasi Ukraina] Mauilsky, sengketa Indonesia-Belanda kemudian menjadi sengketa internasional yang lengkap dan menjadi agenda pembahasan,” kata Triyana.

Pemerintah Indonesia sendiri telah menegaskan bahwa terkait krisis di Ukraina, Indonesia terus menjaga hubungan baik baik dengan Rusia maupun Ukraina.

“Kedua negara itu adalah sahabat Indonesia,” kata Direktur Eropa II Kementerian Luar Negeri Winardi Hanafi.

Sentimen pro-Rusia dan anti-Barat

Meskipun ada dukungan untuk Ukraina di antara 270 juta penduduk Indonesia, banyak orang Indonesia telah menyatakan simpati dan dukungan untuk Rusia secara online.

Analis mengatakan itu sebagian karena dis- atau misinformasi, tetapi juga tentang persepsi kemunafikan AS.

Awal pekan ini, Lowy Institute merilis hasil survei — yang dilakukan sebelum invasi Rusia — tentang bagaimana orang Indonesia melihat dunia.

Salah satu temuannya adalah kebanyakan orang Indonesia mendukung demokrasi, tetapi mereka juga menghormati pemimpin otoriter luar negeri.

Empat dari 10 memiliki kepercayaan pada Presiden Rusia Vladimir Putin (40 persen), lebih dari kepercayaan pada Perdana Menteri Australia Scott Morrison (38 persen).

“Dari polling ini ada beberapa hal yang tidak bisa kami simpulkan, tapi menurut saya relevan, bahwa orang Indonesia cenderung berpihak pada orang kuat, seperti Prabowo, Duterte, atau Putin,” kata Evan Laksmana yang terlibat dalam penelitian tersebut.

"Hal lain yang relevan tetapi tidak dapat kami ukur dalam survei adalah sentimen anti-Barat.

“Jadi ini bukan tentang orang yang cinta Putin atau orang Indonesia tidak tahu ada invasi, tapi karena Putin dipandang anti NATO dan anti Barat jadi harus didukung, karena kita juga tidak percaya negara-negara Barat setelah apa yang terjadi di Irak dan Afghanistan."

Senada dengan Evan, Bonnie Triyana mengatakan bahwa sentimen anti-Barat dapat menjadi salah satu faktor dukungan Indonesia untuk Rusia.

Pada saat yang sama, ia menambahkan ada beberapa sentimen anti-Rusia yang tersisa sejak kudeta 1965 dan pembunuhan massal simpatisan komunis di Indonesia.

“Partai Komunis Indonesia dituduh sebagai dalang kudeta yang menempatkan Rusia sebagai negara komunis di bawah stigma yang sama,” katanya.

"Kita tahu bahwa [sejak itu] kebanyakan orang Indonesia tidak suka komunisme... tapi label komunis bisa langsung dilupakan karena Rusia dipandang sebagai musuh AS. Jadi ini bukan tentang Ukraina, melainkan tentang NATO dan Barat, negara-negara yang sedang diperangi Rusia."

Indonesia harus memiliki strategi yang jelas di balik undangan tersebut

Evan Laksmana menyayangkan sikap awal Indonesia yang tidak berani melawan invasi tersebut.

Menurutnya, pemerintah saat ini berada di belakang dalam upaya untuk membenarkan ketidakmampuan Indonesia untuk memberikan tanggapan yang tepat kepada anggota G20 lainnya.

Dia mengatakan apakah mengundang Putin adalah keputusan yang benar atau salah sebagian tergantung pada strategi Indonesia, yang tidak jelas.

"Katakan oke, kita undang dia. Tapi kemudian buat apa? Dia diundang lalu dimarahi, dia diundang lalu dibuat forum khusus, dia diundang untuk ditendang dari G20, atau apa? Ini yang kita tidak tahu."

"Sebagai ketua, Indonesia tentu tidak ingin G20 menjadi G19. Itu tidak bagus," katanya.

“Tetapi sebaliknya, jika Indonesia tidak melakukan atau mengatakan sesuatu pada prinsipnya, tentu yang akan terjadi mungkin bukan hanya G19 tetapi G10, jika setengah dari negara-negara Barat memutuskan untuk tidak datang.”

Artikel ini juga terbit dalam versi bahasa Inggris.