Sisi Lain Penipuan Properti Berkedok Syariah
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Bisa membeli rumah dengan harga yang murah dengan mencicil tanpa bunga, tanpa riba, dan tanpa pengecekan dari bank atau BI checking, membuat konsumen sangat tertarik. Hal ini yang membuat banyak orang yang mendadak menjadi pengembang dengan embel-embel syariah.
Namun, dalam perjalanannya, ternyata banyak konsumen itu yang diperkirakan menjadi korban penipuan perumahan syariah tersebut, karena rumah mereka ternyata belum juga dibangun.
Dalam dua bulan terakhir, Polda Metro Jaya mengungkap dua kasus penipuan penjualan properti syariah di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kepada para korban, perumahan syariah itu dijanjikan akan dibangun di lima lokasi, yakni dua perumahan di kawasan Bogor, Bekasi, Bandung, dan Lampung.
Namun, sampai saat ini belum juga dibangun. Para tersangka malah melarikan diri, dengan menggunakan uang para korban yang telah ditransfer melalui bank syariah. Kasus kedua melibatkan 3.680 orang korban dari PT Wepro Citra Sentosa yang juga mengembangkan perumahan syariah.
Terlepas dari motif penipuan murni, terdapat beberapa hal yang disinyalir menjadi penyebab fatalnya kesalahan para pengembang pemula tersebut.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Indonesia Property Watch (IPW), sebagian besar pengembang perumahan syariah tersebut merupakan orang yang memang belum berpengalaman dalam bisnis perumahan. Banyak teori bisnis properti yang mengutamakan tanpa modal, sehingga semuanya dianggap mudah.
Praktik perumahan syariah juga umumnya belum mempunyai kepemilikan lahan. Artinya, lahan yang ada masih di cicil kepada pemilik lahan. Pengembang biasanya hanya membayar uang muka dan dijanjikan akan dibayar dalam jangka waktu tertentu.
Nah, para pengembang dengan kesepakatan tertentu, mulai bisa memasarkan rumahnya. Dengan asumsi hitung-hitungan di atas kertas, rasanya dengan mengumpulkan uang dari konsumen bisa untuk membangun secara perlahan-lahan. Namun, ternyata tidak semudah itu, karena dalam bisnis perumahan, pengaturan cashflow akan sangat krusial.
Dengan banyaknya konsumen yang sudah membayar uang muka, pengembang pun harus mulai membangun. Namun, ternyata butuh biaya yang besar untuk membangun. Masalah pun mulai berlanjut. Mereka pun tidak dapat mencari modal lagi dari investor lain, termasuk dari bank. Semakin lama janji, semakin tidak ditepati. Dan umumnya, mereka pun tidak tahu cara manajemen proyek yang baik dan tidak didukung dengan modal yang cukup.
Di satu sisi, uang konsumen dalam jumlah besar yang sudah masuk ke rekening pengembang kadang menjadi ‘uang panas’, sehingga banyak yang menggunakan uang tersebut untuk membayar uang muka lahan lain, bahkan ada yang menggunakannya untuk membeli rumah dan mobil. Alih-alih membangun rumah, pengembang makin lama menjadi makin terpuruk.
Jadi, terlepas dari motif murni penipuan, banyak faktor yang membuat para pengembang pemula ini menjadi khilaf dan akhirnya berakhir dengan tindakan menipu konsumen. Disengaja atau tidak, tetap hal tersebut memenuhi unsur penipuan. Konsumen harus waspada tidak tergiur dengan harga murah. Karena, mengembangkan bisnis perumahan tidak semudah yang dibayangkan.
"Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan konsep syariah, namun dalam mengembangkan proyek perumahan yang padat modal, tetap perlu pengaturan manajemen yang baik," ujar CEO IPW, Ali Tranghanda kepada VIVAnews, Selasa 31 Desember 2019.
Bongkar Kasus Penipuan Perumahan Syariah
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Gatot Eddy ungkap mafia perumahan syariah
Seperti diketahui, polisi gencar membongkar kasus penipuan dan penggelapan bermodus pembangunan perumahan syariah. Ternyata, kasus penipuan ini terjadi sejak 2015 silam. Korbannya pun tidak sedikit. Tercatat, ada 270 orang jadi korban.
Empat orang sudah ditetapkan menjadi tersangka. Mereka adalah AD selaku Direktur Utama PT ARM Cipta Mulia, MAA selaku Project Manager atau Marketing, MMD selaku Executive Project Manager atau Marketing, dan SM selaku General Manager.
"Tersangka menawarkan pembangunan perumahan Syariah," ucap Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Gatot Eddy di Mapolda Metro Jaya, Kamis 28 November 2019.
Saat beraksi, tersangka menunjukkan lokasi kemudian melakukan ground breaking. Tersangka, bahkan membuat rumah contoh, guna lebih meyakinkan korbannya. Pelaku menawarkan cicilan rendah tanpa bunga untuk sebuah unit rumah.
Kemudian, pelaku turut menjanjikan korban tidak adanya pengecekan dari pihak bank saat pengajuan kredit, atau BI checking. Penawaran dilakukan dengan menggunakan brosur, serta iklan di website. Orang tentu tidak akan berpikir dua kali membelinya.
"Bayangkan tidak ada riba, tidak checking bank, tidak ada bunga kredit, pasti akan sangat menarik," kata Gatot.
Dalam kasus penipuan ini, ada lima lokasi yang ditawarkan para pelaku, yaitu Perumahan De’ Alexandria Bojong Gede Bogor, Perumahan The New Alexandria Bojong Gede Bogor, Perumahan Cordova Green Living Cikarang Bekasi, Perumahan Hagia Sophia Town House Bandung Jawa Barat, juga Perumahan Pesona Darusalam Lampung.
Sayangnya, setelah membayar, rumah tidak kunjung berdiri hingga kini. Atas hal itulah, korban yang berjumlah ratusan melapor ke polisi. Dari tangan para pelaku, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa brosur penjualan, bukti pembayaran para korban, dan buku tabungan.
Para tersangka dijerat Pasal 378 KUHP dan atau Pasal 372 KUHP dan atau Pasal 137 Jo Pasal 154, Pasal 138 Jo pasal 45 Jo Pasal 55, Pasal 139 Jo pasal 156, pasal 145 Jo pasal 162 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan atau Pasal 3,4 dan 5 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ancaman hukumannya di atas 20 tahun penjara.
"Korbannya ini berjumlah lebih kurang 270 orang dan uang yang sudah masuk ke pelaku ini sebanyak Rp23 miliar," kata Gatot.