Universitas Pancasila Bantah Komersialisasi Pendidikan
- VIVA.co.id/ Zahrul Darmawan (Depok)
VIVA – Pihak rektorat Universitas Pancasila atau UP angkat bicara terkait tudingan sejumlah mahasiswa yang menyebut ada dugaan komersialisasi pendidikan di kampus tersebut. Isu ini sempat membuat ratusan mahasiswa kampus itu menggelar aksi unjuk rasa hingga menyebabkan kericuhan, Rabu kemarin, 2 Mei 2018.
“Kami tidak komersialisasi, biaya pendidikan kami 70 persen dari mahasiswa, sisanya 30 persen universitas menutupi dengan kerja sama pada pihak lain. Jadi, biaya pendidikan kita sudah dihitung seminimal mungkin, tidak 100 persen murni dari mahasiswa,” kata Wakil Rektor III UP, Agus Purwanggana kepada awak media, saat di temui di UP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis 3 Mei 2018.
Salah satu tuntutan aksi demo mahasiswa, yaitu soal paket pembayaran kuliah. Padahal, menurut Agus, waktu masuk atau mendaftar, mahasiswa sudah membuat surat pernyataan akan mengikuti ketentuan yang ada di universitas.
“Sistem pemaketan itu kan untuk penjaminan mutu bahwa mahasiswa harus lulus tepat waktu, itu adalah aturan dari Kemenristekdikti. Kami juga harus melaporkan berapa mahasiwa yang lulus tepat waktu, berapa yang IP-nya tiga dan lainnya,” ujar Agus.
Ketika mahasiswa mengadakan aksi, pihaknya juga sudah menjelaskan aturan tersebut. “Jadi, sistem pemaketan di UP itu adalah kalau mahasiswa kuliah misalnya sarjana hukum, itu Rp80 juta. Biaya diangsur di delapan semeter, tiap semester dengan paketnya rinciannya 18 SKS, karena SKS untuk kelulusan sarjana 144 SKS,” ujarnya.
Dengan sistem kesepakatan itu, pihak rektorat berharap, mahasiswa akan terpacu untuk lulus tepat waktu. “Nah, delapan semester itu dengan IP dua koma bisa mencapai 18 SKS. Kalau kami memfasilitasi anak yang IP-nya satu, kan jadi mutunya seperti apa," ujarnya.
Dia menambahkan, itu berlaku di semua perguruan tinggi, termasuk negeri. “Bahkan, kalau di perguruan tinggi itu ada UKT (uang kuliah tunggal) yang tiap semester bayar Rp10 juta, nah UP tidak begitu."
Menurut dia, solusi pada mereka yang tidak tepat waktu menyelesaikan kuliah, misalnya pada semester 9-10 dibebaskan biaya SKS. "Kemudian yang IPnya kurang dari dua bisa ngambil 18 SKS. Dan mahasiswa yang IP-nya lebih dari dua boleh lebih, bisa 24 SKS agar lulus lebih cepat, tidak harus delapan semester," ujarnya.
Sanksi tegas
Aksi unjuk rasa yang berlangsung Rabu 2 Mei 2018, itu menyebabkan salah satu ruang rektorat di lantai empat mengalami kerusakan yang cukup parah.
Menanggapi hal tersebut, Agus menegaskan, pihaknya bakal melakukan tindakan. “Soal pengrusakan, nanti akan kami tindak siapa yang melakukan anarkis. Kita lihat seperti apa nantinya,” katanya.
Selain soal biaya pendidikan, dalam tuntutannya mahasiswa juga mendesak pihak rektorat untuk memperhatikan upah layak bagi buruh kasar di kampus tersebut. Mereka pun meminta pengelola parkir untuk siap bertangungjawab jika ada motor yang hilang di area kampus.
“Kalau upah saya tidak, tahu karena banyak yang outsourcing. Dan, kalau parkir itu kerja samanya dengan pihak lain, yakni Vayadus, mereka pihak pengelola," ujarnya.