Manusia Silver, Antara Bahaya dan Kebutuhan Hidup

Manusia silver yang sedang beristirahat
Sumber :
  • VIVAnews/ Syaefullah

VIVA – Pria itu bergegas keluar dari sebuah rumah kontrakan di kawasan Karet, Jakarta Pusat. Seraya menenteng kantong kresek warna merah, dia melangkah sigap melintasi trotoar di samping kali di sana. Sebuah kardus, serta botol cat turut dia bawa menuju perempatan lampu merah Karet Bivak. 

Berjalan sekitar setengah kilo meter, lelaki itu tiba di lokasi. Sampai di tempat itu, dia mulai menyiapkan diri. Dia langsung menaiki batas kali dan turun ke bibir sungai di dekatnya. 

Di bawah temaram pantulan lampu jalan, pria bernama Suryadi itu mulai melucuti pakaian yang menempel di tubuhnya. Setelah tinggal celana pendek, ia mengambil satu buah botol kecil. Dalam botol terdapat cat berwarna silver. Dia lantas melumuri sekujur tubuhnya mulai kepala hingga ujung kaki dengan cat itu. 

Jika olesan cat ini masih kurang tebal, ayah empat anak tersebut kembali mengoleskannya hingga terlihat tebal dan mengkilap warna silvernya. "Ngolesan cat ke tubuh sebentar, kurang lebih sepuluh menitan," ujar Suryadi, saat ditemui VIVAnews di lokasi, Kamis malam, 12 Desember 2019. 

Setelah seluruh badan teroles cat semua, Suryadi pun kembali naik ke atas kali dengan tampilan berbeda. Semua tampak silver. 

Dia lantas menuju perempatan jalan. Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, ia bergegas menghampiri para pengemudi motor maupun mobil yang berhenti. Tangannya tampak menyangga sebuah kardus. 

Kardus itu bertuliskan: "Assalamualaikum WR WB. Kepada Yth Bapak/Ibu dan Om/Tante. Saya ucapkan banyak2 terima kasih karena kepedulian anda besar manfaatnya bagi istri dan 4 anak saya. Semoga kebaikan bapak ibu dan om/tante ini di balas dan dilipatgandakan oleh Allah SWT Amien." 

Suryadi memilih kalimat itu sendiri. Dia tak mau menggunakan stiker yayasan tertentu, untuk menarik belas kasihan orang lain. Sebab, dia khawatir uang yang disetor kepada pihak tertentu untuk yayasan tidak jelas penyalurannya.

Jika memakai stiker yayasan, menurut Suryadi, harus ada uang yang disetor sebanyak Rp30 ribu untuk yayasan tersebut. Tetapi, dia tak merinci nama yayasan itu. Hanya saja, lokasinya berada  di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. "Itu keraguan saya, takutnya stiker itu kurang benar celahnya itu engak benar kejelasanya uang yang kita setor ke mana kita enggak tahu," ujarnya. 

Dia mulai menjadi manusia silver itu selepas Magrib hingga pukul 24.00 WIB. Terkadang, istrinya ikut ke perempatan lampu merah Karet Bivak itu, namun hanya di pinggir jalan sambil menjaga anaknya. 

Saat lelah menerpa, Suryadi istirahat sejenak. Sambil rehat, dia memesan segelas kopi hitam seharga Rp3.000 dari pedagang kopi keliling. 

Saat hari akan berganti, Suryadi kembali turun ke bibir kali di bawah jembatan itu. Dia mulai membersihkan seluruh badannya dengan deterjen. "Digosok pakai plastik. Kalau enggak digosok, enggak bakal hilang. Kalau sabun aja kurang bersih, harus pakai rinso," katanya. 

Setelah badannya bersih semua, akhirnya ia kenakan baju dan celana yang sebelumnya. Sementara itu, celana yang telah dilumuri cat silver dikemas kembali ke dalam kantong kresek. 

Impitan Ekonomi

Suryadi berkisah. Menjadi manusia silver, sebutan bagi mereka yang mengecat seluruh tubuhnya dengan cat warna silver, sudah tiga bulan dilakoninya. Awalnya, ada rekannya yang menawarkan. Ketika itu, dia sedang tidak ada pekerjaan. Dia pun langsung tergiur untuk menjadi manusia silver. 

"Berawal dari teman, ngasih ide gini-gini (jadi manusia silver), ini ada solusi kayaknya lagi ramai juga buat nyari duit, buat sehari-hari tertutup. Akhirnya, tergiur juga kita. Dari situ, kita mencoba sampai sekarang," katanya. 

Dia menjadi manusia silver di jalanan Ibu Kota ini, karena impitan ekonomi. Sebab, ia harus menghidupi seorang istri dan empat anaknya yang masih kecil-kecil. Dari hasil mengamen sebagai manusia silver sekitar enam jam, penghasilan Suryadi tak tentu. "Enggak tentu, kalau lagi ramai bisa Rp100 ribu," ujarnya. 

Banyak manis dan pahit yang dialaminya selama melakoni jadi manusia silver. Ia merasa senang, karena dapat uang untuk keluarganya. "Dukanya, kadang kita lagi di lampu merah kita diketawain orang," ujarnya. 

Terkadang, ia khawatir dengan efek samping dari cat warna silver yang dioleskan ke tubuhnya. "Saya belum tahu efek samping dari cat ini, karena di kulit misalnya kalau di kulit berkeringat gatel, ini kayaknya efek samping sampai berkoreng gini," katanya. 

Cat ukuran kecil itu dibelinya Rp30 ribu. Satu botol cat dapat dioles beberapa kali ke sekujur tubuh. Namun, ia sendiri tak mengetahui apa nama jenis cat yang digunakannya. Sebab, dia membeli dengan cara menitip ke temannya. "Kalau saya nitip sama teman, satu botol Rp30 ribu bisa lima sampai enam pakai. Kalau habis pesan lagi. Dengar dari orang cat buat sablon," katanya. 

Soal efek body painting, menurut dokter spesialis kulit, dr. Nur Dalilah SpKK, tergantung dari jenis cat yang digunakan. Dari sisi estetik, sebetulnya ada cat yang khusus diperuntukkan bagi kulit, biasanya berupa water based paint yang tidak mengandung bahan volatile organic compound seperti benzena dan lainnya. "Cat seperti akrilik tidak diperuntukkan untuk kulit dan sebaiknya tidak digunakan," ujarnya, saat dihubungi VIVAnews, Senin malam, 16 Desember 2019. 

Menurut Nur, bahaya cat, terutama bila dipakai seluruh tubuh bisa menyebabkan reaksi dermatitis kontak, baik sifatnya alergika atau iritan. Efek kumulatif dari penggunaan cat ini juga bisa memicu dermatitis. Pada pemakaian seluruh tubuh secara umum fungsi dari kulit seperti pengatur suhu/penguapan akan terganggu. "Belum lagi, jika bahan aktif terserap via pori-pori kulit/ per inhalasi (hirup). Efeknya, bisa berlanjut pada mutasi sel atau yang mengarah kepada keganasan (karsinogenik)," katanya.

Cat sablon, Nur mengungkapkan, banyak sekali jenisnya. Namun, meski water based, cat itu tak layak digunakan untuk kulit. Cat yang seharusnya dipakai untuk kain dan sejenisnya itu dapat berbahaya, jika digunakan untuk kulit.

Untuk cat khusus kulit pun sebaiknya dites melalui penggunaan cat di area kulit tertentu, untuk dipantau adanya reaksi alergi. "Sama seperti cat rambut," ujarnya.

Hal senada dikemukakan dokter spesialis kulit, dr. Eddy Karta SpKK. Saat ini, Eddy mengungkapkan,  sudah diamati dari beberapa lokasi di Jakarta dan Bandung bahwa mereka mewarnai diri menggunakan bahan-bahan seperti debu-debu logam silver, pelarut kimia, dan campuran minyak tanah agar tidak mudah pudar.  Bahan-bahan tersebut mengandung bahaya kesehatan. "Beda apabila material yang digunakan ialah cat herbal seperti henna atau crayon khusus kulit berbahan organik," ujarnya saat dihubungi VIVAnews, Senin, 16 Desember 2019 malam.

Menurut  Eddy, ketika bicara mengenai cat maka yang harus diingat adalah soal timbal. Dia mengemukakan, ada penelitian cat rumah dan cat sablon tahun 2010 masih ditemukan 70 persen produk cat yang beredar di industri mengandung timbal di atas 90 ppm (parts per million). "90 ppm adalah ambang aman untuk cat ramah lingkungan, apalagi ini ditempelkan ke seluruh tubuh. Belum lagi kandungan amonia, formaldehid, dan logam-logam metalik yang membuat efek shiny silver-nya," ujarnya. 

Eddy mengungkapkan, secara toksikologi timbal, amonia, formaldehid, dan mineral anorganik 'shiny' dapat masuk lewat pori-pori kulit, terhirup lewat hidung, atau bahkan tertelan ketika orang tersebut makan dengan tangan yang berlumuran cat.

Efek kesehatan bagi mereka yang menggunakannya, menurut Eddy, dalam jangka pendek dapat menimbulkan gangguan pengaturan suhu dan risiko heat stroke. Sebab, kulit tidak bisa pertukaran suhu dan keringat, iritasi mata atau hidung akibat menempelnya sisa cat, keracunan akut seperti muntah dan sakit perut akibat bahan kimia masuk ke aliran darah. Selain itu, bisa menimbulkan sesak napas bila partikel mineral ada yang masuk lewat kulit yang luka atau dihirup menuju paru-paru. "Efek jangka panjang adalah yang merupakan kekhawatiran utama," ujarnya. 

Umumnya, menurut Eddy, efek jangka panjang akan dirasakan 10-20 tahun lagi. Bahan timbal, formaldehid, amonia, dan mineral anorganik akan diserap oleh tubuh dan sebabkan gangguan IQ otak, gangguan reproduksi, gangguan ginjal, dan kanker. "Lambat laun akan terjadi dermatitis kontak dan efek jangka panjang hidrokarbon atau minyak tanah pelarutnya dapat sebabkan kanker kulit," ujarnya. 
 

Bukan PMKS

Suryadi ingin tak selamanya menjadi manusia silver di jalanan. Dia bercita-cita alih profesi berwiraswasta, jika sudah punya modal untuk berdagang kelontong. "Ya, rencana saya dari dulu sangat besar. Niat saya, kalau misalnya sudah benar-benar ada modal, pengennya dagang kelontongan," katanya. 

Selama menjadi manusia silver, Suryadi menuturkan, tak pernah terjaring petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). "Kalau jadi manusia silver, belum pernah (dijaring Satpol PP)," katanya. 

Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Arifin tak mempersoalkan keberadaan manusia silver. Menurut dia, selama mereka tidak melakukan tindakan kriminal dan tidak menganggu maka tidak masalah.

Arifin mengungkapkan, mereka tidak masuk ke dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Mereka dengan cara sendiri atau berkelompok menggunakan kreativitas mengecat tubuh dengan cat berwarna silver untuk menarik perhatian orang yang melihatnya.

"Kemudian, dari apa yang dilakukannya itu mereka mendapatkan imbalan. Tidak termasuk PMKS," ujarnya, saat dihubungi VIVAnews, Sabtu 14 Desember 2019.

Hingga saat ini, menurut Arifin, Satpol PP DKI belum ada yang melakukan operasi untuk menjaring manusia silver. Petugas juga belum menemukan ada manusia silver yang melakukan penipuan dengan mengatasnamakan pihak tertentu.

"Sampai saat ini, sepertinya belum ada (penipuan). Tapi jika ada, tentu akan ditindak. Jika kegiatan mereka sudah mengganggu ketertiban, tentunya kami akan mengarahkan untuk tidak melakukan aksi di jalan," ujarnya. (asp)