Senja Kala Jalan Jaksa

Jalan Jaksa, Jakarta Pusat, Kamis, 19 Desember 2019.
Sumber :
  • vivanews/Eduward Ambarita

VIVA – Penghargaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu terpampang dalam pigura cokelat. Noda mewarnai di bagian bawah piagam tersebut. Ditandatangani Gubernur Ibu Kota, Surjadi Soedirja pada tahun 1995, Adikarya Wisata itu diberikan untuk Hostel Djody. Penginapan yang berlokasi di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat itu meraih penghargaan atas pengabdian dalam pengembangan pariwisata.

Dibangun di lahan seluas 1.300 meter, menurut pengelola Hostel Djody, Herry Blaponte, penginapan itu berdiri ketika para mahasiswa asal Belanda mengikuti pendidikan untuk menjadi Jaksa di era tahun 1950-an. Nama Hostel Djody diambil dari nama anak Munir Darwis, pemilik hostel itu.  

Di era 90-an, 'hotel melati' itu berada di kejayaannya. Menurut Herry Blaponte, ketika itu dari 60 kamar yang ada banyak terisi. Tak hanya Hostel Djody, penginapan lain pun di kawasan Jalan Jaksa banyak pengunjung.

Ponte yang sudah bekerja di Hostel Djody selama 31 tahun, ingat betul ketika itu para wisatawan asing berseliweran di Jalan Jaksa. Di masa kejayaan dulu pula, kata Ponte, nama Jalan Jaksa terdengar sampai seluruh dunia.

Segendang sepenarian. Boy Lawalata, pemilik Wisma Delima, mengungkapkan hal senada. Pada masa kejayaannya, Wisma Delima di era 80- an banyak tamu datang dari wisatawan asal Eropa. Hampir 14 kamar yang ada selalu terisi.

Kini, geliat wisatawan di Jalan Jaksa telah berubah. Jalan sepanjang 400 meter itu tak lagi ramai para pelancong. Saat ini, dengan tarif menginap di Wisma Delima Rp100 ribu per hari, tamu yang datang paling banyak hanya empat kamar terisi. "Itu pun wisatawan masih langganan dulu," katanya saat dihubungi VIVAnews, Senin 23 Desember 2019.

Sepi pengunjung juga dialami Hostel Djody. Dari 60 kamar dulu, saat ini tinggal 25 kamar di penginapan itu. Berkurangnya kamar di sana, lantaran sebagian lahan dibangun Hotel Dafam. Jumlah pengunjung menurun drastis. "Sehari sekarang paling kita istilahnya Dji Sam Soe mas, 2, 3, 4 kamar terisi sudah bagus," kata Ponte, ketika ditemui, Kamis 19 Desember 2019.

Sekarang, wisatawan asing yang singgah ke Hostel Djody, dengan tarif hotel mulai dari Rp100 ribu hingga Rp180 ribu per hari, bisa dihitung jari selama setahun. Adapun wisatawan lokal hampir sama. Mereka datang ke penginapan itu hanya sebagai transit sementara. Para tamu itu pun yang sudah kenal dengan mereka 20 tahun lebih. Di antaranya datang dari Australia, Belanda. Mereka rutin datang tiga hingga empat kali dalam setahun.

Para pelaku usaha penginapan hingga restoran, mengeluhkan sepinya pengunjung belakangan ini. "Sekarang sudah mati suri, mas, lima tahun belakangan ini," kata Ponte.

Menurut Ponte, mereka juga mengeluhkan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperluas trotoar, tidak ada lahan parkir dan melarang pedagang kaki lima (PKL) menjajakan dagangannya. Adapun di ujung dari Jalan Jaksa, terbentang Jalan Wahid Hasyim, dengan deretan hotel bintang tiga hingga empat yang memiliki lahan parkir luas. Trotoarnya pun digunakan untuk berjualan dan parkir. "Padahal, PKL merupakan ikon Jaksa," ujar Ponte.

Tak hanya soal parkir dan PKL yang membuat hostel dan wisma sepi. Faktor lainnya, yaitu terkait perkembangan teknologi pemesanan kamar melalui daring. Selain itu, perubahan karakter pelancong berusia muda atau milenial. Kebanyakan di antara mereka lebih memilih gengsi menginap di hotel bertingkat. "Dengan hotel minimal bintang tiga dia tidur Rp350 ribu, Rp400 ribu ya, bisa patungan," kata Ponte.

Menurut Ponte, Haji Munir, sapaan pemilik Hostel Djody, bersama pengusaha penginapan lainnya sebetulnya tidak mengalami kebangkrutan. Usaha penginapan tetap jalan, meski ada penurunan pendapatan.

Para pemilik penginapan berusaha mempertahankan usaha mereka dari gempuran para pesaing dan hotel-hotel modern di sekitar Kebon Sirih. Banyak dari para pemilik berkukuh tetap mempertahankan gaya bangunan penginapan yang sudah bertahan 20 tahun lebih.

"Dari owner kita akan seperti ini. Ini soal kompatibel dan kenyamanan. Banyak tamu reguler (pelanggan) menginap di Djody karena sudah menganggap rumah kedua," ujarnya.

Boy pun menyadari, makin berkurangnya tamu karena para pesaing yang makin ekspansif. Untuk menghidupkan kembali usaha milik keluarga, Boy berencana mendaftarkan Wisma Delima ke sejumlah aplikasi penyedia layanan penginapan. Tidak hanya tamu lama, kini Wisma Delima bersiap menggarap wisatawan lain di luar pelanggan tetap. "Sekarang kita berbenah. Kita sedang menuju ke sana, baru mau daftar. Kalau tidak mengikuti zaman nanti ketinggalan kita," katanya.

Jejak Jalan Jaksa

Boy menceritakan, awalnya mendiang ayahnya Nathaniel Lawalata membangun wisma itu. Semula, Nathaniel menggunakan rumahnya sebagai penginapan bagi turis berbujet rendah yang hendak datang ke Ibu Kota.

Nathaniel mendapat saran membuka hotel dengan harga 'miring' dari seorang tamu kewarganegaraan Jepang. "Jadi waktu dulu orang enggak mau lah buka (penginapan) beginian. Karena ini uang (untung) kecil kan katanya, ngapain katanya, Pak Lawalata buka penginapan murah. Lalu kita berjalan lima tahun sampai 10 tahun baru orang ngeh, nih ada bisnis di sini," kata Boy.  

Dikutip dari buku "Wisata Kota Jalan Jaksa Sebuah Kajian Sosiologi Pariwisata" karya Bra Baskoro, setelah Wisma Delima berdiri pada 1969, kemudian menjelang 1980-an, hostel dan wisma bermunculan. Begitu juga kafe dan tempat hiburan. Kawasan yang semula lengang berubah menjadi tempat keramaian. Atas inisiatif N. Lawalata jalan itu diberi nama Jalan Jaksa. 

Untuk mempromosikan Jalan Jaksa, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggelar Festival Jalan Jaksa. Merujuk informasi dari laman jakarta.go.id, Festival Jalan Jaksa menampilkan budaya-budaya Betawi, hiburan musik, hingga stan-stan kuliner Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang kebanyakan berasal dari warga asli Jalan Jaksa dan sekitarnya.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap berupaya menjadikan Jalan Jaksa sebagai destinasi wisata yang populer. Upaya terbaru, yaitu dengan mengemas ulang Festival Jalan Jaksa menjadi 'Festival Kebon Bang Jaim'.

Tidak hanya Jalan Jaksa, kawasan-kawasan sekitarnya, mencakup Kebon Sirih, Sabang, dan Wahid Hasyim, kini diintegrasikan sebagai area wisata terpadu dengan salah satu daya tarik utamanya, yaitu kuliner yang terjangkau.

Menilik dari lokasinya, Jalan Jaksa dekat dengan sejumlah destinasi wisata lainnya. Di antaranya, Monumen Nasional (Monas), Sarinah, Museum Nasional, Galeri Nasional. Dari Jalan Jaksa, sejumlah titik transportasi umum juga mudah dijangkau, seperti Stasiun Kereta Rel Listrik Gondangdia, halte TransJakarta Sarinah dan Bank Indonesia, stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Bundaran Hotel Indonesia. (asp)