Menyorot Perilaku Turis Serampangan di Indonesia

Seorang pria mencari uang untuk membiayai perjalanan dengan cara mengemis di jalanan St Petersburg, Rusia. - BBC Indonesia/Famega Syavira
Sumber :
  • bbc

Di balik industri pariwisata yang mendatangkan devisa, tersimpan banyak masalah sosial. Benarkah turis miskin hanya membawa masalah?

Seorang turis memanjat ke atas dan duduk di Palinggih Padmasana, simbol suci yang melambangkan Sang Hyang Widhi, di Pura Gelap Besakih, Bali.

Tidak diketahui kapan turis yang diduga berasal dari Spanyol itu melakukannya, namun videonya tersebar pertengahan April lalu dan memicu kecaman dari banyak orang, terutama umat Hindu.

Tindakan itu dianggap mengotori kesucian pura, sehingga upacara bendu piduka harus digelar untuk menyucikannya kembali.

Saat meletusnya Gunung Agung bulan Januari lalu, dua turis dari Australia dan satu turis Rusia ditangkap karena diam-diam mendaki gunung meski telah diperingatkan bahwa kawasan tersebut ditutup untuk pendakian karena berbahaya.

Bali adalah pintu masuk utama para turis mancanegara, maka tak heran jika kasus-kasus ini banyak terjadi di Bali. Dari 14 juta turis luar negeri yang datang ke Indonesia pada 2017, 40% masuk melalui Bandara Ngurah Rai.

Di Bali, kita bisa melihat banyak turis kerap mengenakan bikini maupun bertelanjang dada saat mengendarai sepeda motor. Tribun Bali menulis, pada 2017 polisi sempat mengadakan operasi lalu lintas yang salah satu tujuannya adalah untuk menegur mereka yang bermotor dengan telanjang dada atau berbikini.

Menurut data Kementrian Pariwisata, penyumbang turis terbesar ke Indonesia pada 2017 adalah Cina, Singapura (58% ke Batam), Malaysia, Australia (90%masuk via Bali), dan Jepang.

Pariwisata adalah salah satu penyumbang devisa terbesar untuk anggaran negara. Selama tiga tahun dari 2013-2015, data menunjukkan bahwa industri pariwisata ada di urutan keempat penyumbang devisa negara terbesar di antara barang ekspor setelah minyak dan gas bumi, batu bara, dan minyak kelapa sawit.

Promosi masif tanpa persiapan

Peneliti Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan ITB, Yani Adriani menilai bahwa masalah-masalah ini adalah dampak dari upaya promosi pariwisata yang masif tapi tanpa persiapan. "Hal yang lebih diutamakan adalah menarik pengunjung sebanyak-banyaknya, tapi setelah sudah banyak mau diapakan?" kata Yani saat dihubungi BBC Indonesia.

Menurutnya, promosi pariwisata harus didukung dengan pembuatan sistem yang baik. Selain itu, dampaknya ke sektor lain juga harus diperhatikan dan disiapkan.

"Jangan hanya menjejalkan pengunjung sebanyak-banyaknya, bisa rusak daya tarik ekosistem dan cagar budaya," kata dia. Yani menilai bahwa pengelola tempat wisata bisa melakukan pembatasan jumlah pengunjung di tempat-tempat yang rentan, seperti di Borobudur.

Yani memberi satu contoh baik yang sudah dilakukan, yaitu pembatasan pengunjung di Pantai Clungup Malang yang merupakan daerah konservasi. Hanya ada 100 pengunjung yang diperbolehkan masuk setiap harinya.

Adapun ulah pengunjung nakal di dalam tempat wisata, menurut Yani, adalah buah dari kurangnya pengelolaan pengunjung. "Di tempat-tempat wisata, jarang ada informasi lengkap mengenai tempat tersebut. Biasanya hanya info, tapi tidak ada konteksnya," kata dia.

Selain itu, jarang ada interpretasi terhadap daya tarik sebuah obyek wisata.

Misalnya, di Borobudur, ada informasi mengenai kapan candi dibangun dan dipugar, tapi tidak ada pengetahuan mengenai seberapa tinggi nilainya untuk budaya Indonesia.

"Dengan ada interpretasi, wisatawan dalam dan luar negeri bisa lebih menghormati dan menjaga sikap karena sudah mengetahui arti pentingnya tempat wisata tersebut untuk Indonesia dan bahkan untuk dunia," kata Yani.

Apalagi, tak semua turis manca negara punya kepedulian untuk mempelajari kebudayaan di daerah yang mereka datangi. "Banyak warga asing yang datang hanya sekadar keluar dari negaranya," kata dia.

Apalagi, saat ini ada tren turis manca negara yang menjadi backpacker, alias melakukan perjalanan dengan biaya semurah mungkin. Beberapa di antaranya bekerja untuk memenuhi biaya perjalanan.

"Wisatawan tidak boleh mencari uang di negara tujuannya. Banyak backpacker yang harus diatur dan diedukasi," kata Yani.

Mencari uang dengan atraksi lempar bola

Tak semua turis berangkat dari latar belakang keuangan yang berlebih. Ilia Zinovev, pria 32 tahun dari kota Kazan, Rusia, melakukan perjalanan dengan modal pas-pasan.

Dia bukan orang kaya, tapi alasan keuangan tak menjadi halangan untuk tetap melakukan perjalanan. Sepanjang perjalanannya di berbagai negara, termasuk Asia Tenggara, dia melakukan atraksi lempar bola (juggling), berbekal bola, speaker portabel dan muka yang dihias seperti badut.

Ilia adalah salah satu orang yang merasa panggilan hidupnya adalah berkelana. "Dulu saya tinggal di Moskow, punya kehidupan stabil seperti orang-orang lainnya, punya pekerjaan tetap, punya mobil. Tapi kemudian saya merasa ada yang kurang. Saya tidak bahagia," kata Ilia saat dihubungi BBC Indonesia melalui telepon.

Ongkos transportasi dihemat dengan cara menumpang kendaraan yang lewat. Untuk penginapan, dia menggunakan Couchsurfing, sebuah website pertukaran keramahan di mana warga lokal memberikan tempat tinggal untuk turis, baik asing atau lokal, yang sedang berkunjung ke daerahnya.

Di Indonesia, Ilia sempat mencoba , tapi akhirnya tidak tega. "Di Indonesia sudah ada terlalu banyak orang yang minta uang di jalanan, di mana-mana. Ada pengamen, pengemis, sampai tukang parkir. Jadi saya pikir Indonesia bukan tempat yang tepat untuk mencari uang di jalan," kata Ilia.

Meskipun demikian, dia tetap tak ingin menjadi turis yang hanya mengunjungi tempat wisata. "Alasan lain saya suka melakukan atraksi di jalan adalah karena saya bisa mengamati lebih dekat orang-orang di daerah tersebut. Jadi ketika saya tidak melakukan atraksi di jalan, saya akan melakukan hal lain," kata Ilia.

Di Indonesia, Ilia jadi sukarelawan di sebuah rumah belajar untuk mengajar Bahasa Inggris pada anak-anak, tanpa dibayar. "Juggling hanyalah salah satu cara. Saya juga bisa refleksi, mengajar yoga, mengajar teater dan mengajar menari," kata dia.

Pengalaman berinteraksi dengan anak-anak yang tak punya akses ke pendidikan formal itu dinilainya sangat berharga. "Anak-anak di sangat bersemangat, saya selalu kangen mereka. Semoga bisa kembali lagi ke Indonesia suatu saat nanti," kata Ilia yang saat ini telah melanjutkan perjalanannya hingga ke Turki.