Antara #PrayForSurabaya dan yang Tak Percaya Bom Bunuh Diri

Pengeboman di Gereja Pantekosta, Surabaya, Minggu (13/05). - AFP
Sumber :
  • bbc

Setelah serangan bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur yang menewaskan sedikitnya 13 orang termasuk enam tersangka, muncul serangkaian unggahan di media sosial yang `meragukan` kejadian tersebut meski faktanya sudah dikonfirmasi oleh polisi sebagai pihak berwenang.

Beberapa unggahan yang seragam tersebut menyatakan bahwa serangan bom tersebut "bertujuan" untuk mencoreng nama Islam, menambah dana penanganan terorisme, serta meredam tagar #2019GantiPresiden.

Komentar serupa juga disampaikan oleh FS, seorang pengguna Facebook di Kalimantan Barat, yang kemudian diperiksa oleh polisi terkait unggahannya yang kemudian viral dan diduga "mengandung ujaran kebencian".

Di Facebook, status-status dengan pernyataan mirip tersebut kemudian dikumpulkan oleh pengguna Rony Lantip, yang sudah dibagikan lebih dari 178 kali.

Bagi sosiolog dari Universitas Gajah Mada, Ari Sujito, sentimen-sentimen yang tidak sepenuhnya mempercayai serangkaian aksi bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya dinilainya sebagai "dampak dari politisasi agama yang terjadi selama ini".

"Ketika kasus pilkada DKI, kasus jelang pilpres itu selalu mempolitisasi agama, maka urusan seperti ini kemudian dipolitisasi menjadi sekadar isu politik," kata Ari.

Menurutnya, ketika sudah tersebar konstruksi narasi yang menganggap bahwa kejadian bom tersebut tidak nyata, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah "terus-menerus mengingatkan publik bahwa terorisme adalah sesuatu yang serius".

"Kasus pengeboman di gereja, di Polrestabes, di Mako (Brimob) ini adalah peristiwa sadis. Dan jatuhnya korban, jangan disimplifikasi, ini tragedi kemanusiaan. Kalau kita mensimplifikasi atau mendistorsi pemahaman publik, bahwa ini ada motif politik, terlalu sesat," kata Ari.

Maka Ari memahami langkah Polres Kayong Utara, Kalimantan Barat, yang memeriksa FS, seorang pengguna Facebook yang menyatakan bahwa serangan bom tersebut merupakan rekayasa, dan dia melihat ini sebagai upaya penekanan atas skala keseriusan peristiwa yang terjadi.

Tagar #PrayForSurabaya dan hoax


Seorang warga melayat Sri Puji yang meninggal dalam pemboman Gereja Pantekosta, Surabaya. - EPA

Di media sosial, penggunaan tagar #PrayForSurabaya tercatat paling banyak digunakan dalam merespons serangkaian aksi bom bunuh diri kota tersebut. Sedikitnya ada lebih dari 60.000 cuitan yang menggunakan tagar itu sejak Minggu (13/05).

Kata Polrestabes Surabaya juga popular di Twitter dunia Senin (14/05).

Beberapa unggahan yang populer digunakan oleh pemain sepak bola blasteran Belgia-Indonesia, Radja Nainggolan, serta tim sepak bola seperti Persib, Persija, dan akun resmi FC Barcelona versi bahasa Indonesia.

Polisi juga sudah meluruskan beberapa hoax yang beredar, termasuk soal isu bom di Gereja Paroki Yayasan Santa Anna, Duren Sawit, bom di Bandara A. Yani Semarang, isu bom di dekat Satpas Colombo, Tanjung Perak, Surabaya, serta peredaran pesan berantai yang mengatasnamakan BIN dan Densus 88 untuk menghindari sejumlah pusat perbelanjaan.

Pihak gereja Santa Anna awalnya dilaporkan menerima pesan teror via telepon dari orang tak dikenal dan beredar sebuah video yang disebut berasal dari gereja tersebut, namun video tersebut merupakan rekaman dari insiden di gereja GKI Surabaya kemarin pada Minggu (13/05).

Di Jakarta, Gubernur Anies Baswedan mengatakan bahwa ibu kota dalam situasi aman dan terkendali, dan warga bisa beraktivitas biasa.

"Jika ada yang mencurigakan," kata Anies dalam jumpa pers khusus di Balai Kota, Senin (14/5), "Jangan menyebarkan kekhawatiran, apalagi hoaks. Laporkan saja kepada pihak berwenang. Paling sedikit kepada Ketua RT atau Ketua RW setempat," kata Anies.