Bom Surabaya: Bisakah UU dan Deradikalisasi Mencegah Teror

Polisi mengaku kesulitan mengawasi orang-orang yang kembali ke Indonesia setelah bergabung dengan ISIS. Sebagian di antara mereka disebutkan menjadi pelaku serangan bom bunuh diri di Surabaya. - AFP/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Sejumlah pejabat negara, termasuk Presiden Joko Widodo, telah mendesak DPR untuk segera menuntaskan pembahasan rancangan undang-undang terorisme (RUU Terorisme) menyusul serangkaian aksi dan serangan teror di Mako Brimob Jakarta, Cianjur, dan Surabaya selama satu minggu terakhir.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian berpendapat RUU yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 itu sudah genting karena dengan payung hukum baru maka Polri dapat melakukan penindakan yang lebih luas.

Penindakan itu di antaranya adalah pihak berwenang dapat menetapkan organisasi seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sebagai organisasi teroris tanpa harus menunggu aksi-aksi dari mereka sebelum bisa ditindak.

"Dan setelah itu ada pasal yang menyebutkan bahwa siapa pun yang bergabung dalam organisasi teroris ini dapat dilakukan proses pidana. Itu akan lebih mudah bagi kita," tegas Tito Karnavian.

Penindakan seperti itu belum tercakup dalam UU lama. Namun DPR menepis anggapan bahwa pengesahan RUU semata akan mampu menjawab persoalan dan lagi pula sudah ada program deradikalisasi.

DPR juga tidak mau disalahkan dalam masalah RUU yang sudah ada di tangan DPR Februari 2016 karena `bola panas` sebenarnya ada di tangan pemerintah, kata Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi`i, mengingat 99% pembahasannya sudah rampung.

"Yang belum selesai definisi terorisme karena Pansus berpendapat harus jelas siapa yang dimaksud dengan teroris karena tanpa itu aparat akan menetapkan sendiri siapa teroris," paparnya.

Motif dan tujuan politik terorisme

Ditambahkan Muhammad Syafi`i, Pansus sudah menyepakati lima unsur harus tercakup dalam definisi terorisme.

"Adanya tindak kejahatan yang menimbulkan teror secara masif kepada masyarakat, menimbulkan korban untuk mencapai tujuan tertentu utamanya di bidang politik," paparnya.

Akan tetapi hingga kini pemerintah belum menyerahkan revisi rancangan karena sebelumnya menghilangkan unsur `motif dan tujuan politik`.

"Jika unsur tersebut dihilangkan maka tindak kejahatan terorisme tidak ubahnya tidak tindak kriminal biasa," jelas Muhammad Syafi`i, anggota DPR dari Fraksi Gerindra.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pada Senin (14/05) mengatakan pemerintah sepakat untuk merampungkan RUU tersebut dalam waktu singkat meski ia tidak sampai merinci apa yang diminta oleh DPR tentang definisi yang menjadi ganjalan.

Menegasikan anggapan bahwa tak tuntasnya RUU Terorisme dikaitkan dengan serangkaian serangan teror belakangan ini, Muhammad Syafi`i beralasan undang-undang yang berlaku sejatinya masih mampu untuk digunakan sebagai payung hukum dalam melakukan tindakan-tindakan terhadap terorisme.

Jadi, menurut Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi`i, aparat keamanan mungkin lengah dan kurang profesional sehingga bisa terjadi serangkaian serangan dalam waktu satu minggu.

"Sandainya UU ini pun tidak direvisi, sudah ada program dari Badan Nasional Penanggunalan Terorisme untuk kemudian berdasarkan info yang akurat dari intelijen kita, memproses mereka yang pulang dari luar negeri untuk kemudian dimasukkan ke dalam program deradikalisasi. Dan itu sudah berlangsung," jelasnya.

Ia merujuk kepada program yang khusus dirancang untuk para warga yang terindikasi terpapar paham terorisme atau mereka yang terindikasi terlibat dalam jaringan teroris. Termasuk di dalamnya adalah warga negara Indonesia yang sebelumnya bergabung atau berusaha bergabung dengan kelompok yang menyebut diri Negara Islam (ISIS) di Suriah.

Sebagian pelaku serangan diketahui mempunyai afiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok yang sudah menyatakan kesetiaan kepada ISIS.

Jumlah WNI yang pernah ke Suriah dan sudah kembali, menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, mencapai 500 orang, dan suatu kesulitan besar bagi polisi untuk mengawaasi mereka.

"Persoalannya memang, mereka juga orang-orang yang terlatih. Mereka mengerti cara menghindari deteksi intelijen. Kita mendapatkan buku manual mereka bagaimana menghindari komunikasi, bagaimana menghindari (pengawasan), bagaimana meng- (menghadapi) interogasi," jelasnya.

Kesulitan tersebut antara lain dapat diatasi dengan lebih banyak melibatkan mantan-mantan kombatan ISIS yang sudah benar-benar meninggalkan paham radikalisme dan ekstremisme, kata pengamat Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Profesor Dr Qasim Mathar.

"Orang-orang seperti itu punya pengetahuan tentang apa yang disebut sebagai sel-sel yang tidur. Mestinya polisi, aparat negara, mestinya bermitra dengan baik dengan orang-orang seperti itu setiap saat untuk bisa memetakan tempat-tempat yang dianggap rawan dengan adanya sel-sel terorisme yang tidur," paparnya.

Bagaimanapun Qasim Mathar juga mengakui tidak mudah bagi siapa pun untuk mengubah sikap radikal keagamaan seseorang. Ia meyakini jalur pendidikanlah yang pada akhirnya dapat mengikis paham radikal meskipun prosesnya sendiri panjang.

Adapun Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi`i, meyakini program deradikalasasi yang dijalan Badan Nasional Penanggulan Terorisme sudah baik, meskipun pengawasannya mungkin tidak maksimal.

"Ini diproses di BNPT mulai dari (penilaian awal), memberikan penjelasan hingga reintegrasi sosial sampai mereka benar-benar merasakan bahwa apa yang selama ini mempengaruhi mereka pada gerakan terosme itu adalah sesuatu yang salah dan merugikan, salah menurut undang-undang dan salah menurut ajaran agama dan merugikan bagi diri dan keluarganya serta bangsa dan negara," jelasnya.