Pasca Teror di Surabaya, Antara Kewaspadaan dan Kecurigaan

Setelah insiden teror di Surabaya, polisi memperketat pengamanan di sejumlah wilayah vital. - ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Sumber :
  • bbc

Sesudah serangan teror di Surabaya, pengamat terorisme mewanti-wanti masyarakat agar tak saling curiga.

Al Chaidar dari Universitas Malikussaleh, Aceh, menekankan bahwa mengidentifikasi kelompok radikal bukanlah tugas masyarakat melainkan aparat keamanan.

Polisi telah menggeledah rumah keluarga pelaku rangkaian serangan bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo pada hari Minggu dan Senin kemarin. Pelaku adalah anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah, yang mendukung ISIS.

Beberapa laporan media menyebutkan bahwa pelaku tidak dikenali sebagai radikal oleh para tetangganya. Mereka umumnya dipandang sebagai pribadi yang "biasa saja".

Kepala keluarga pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Dita Oepriarto (46), .

Seorang tetangganya berkata ia jadi jarang bergaul dengan warga di kampungnya, dan mulai mengenakan celana cingkrang (terlalu pendek).

Gaya celana tersebut - bersama janggut panjang, peci, dan cadar bagi perempuan - adalah bagian dari penampilan khas aliran Salafi dan Wahabi, .

Namun demikian, dalam bayang-bayang serangan teror di Surabaya, Agil (43) mengatakan tidak takut dicurigai karena sering memakai celana cingkrang, peci, dan memanjangkan janggut.

"Kita sudah tahu risikonya... Masuk mal kita kayak gini, kita dilihatin orang, kita udah tahu. Jadi kita enggak takut," kata Agil kepada BBC ketika ditemui di sebuah masjid di kawasan Tanah Abang.

Hal senada diungkapkan Ahmad (45), yang menganggap dirinya hanya menjalankan sunnah (ajaran) Nabi Muhammad. Ia mengaku sering mendapat cibiran karena penampilannya.

"Ya kemungkinan yang tidak senang itu mereka belum paham, belum belajar, belum duduk dalam majelis taklim, baca-baca kitab," ujarnya.

Pengamat terorisme Al Chaidar memperingatkan supaya masyarakat tidak terburu-buru memberikan label radikal berdasarkan penampilan.

"Tidak semua yang pakai cadar atau celana cingkrang itu adalah teroris," kata Al Chaidar kepada BBC News Indonesia.

Ia menambahkan, pelaku serangan bom di Surabaya menganut paham Wahabi Takfiri. Kelompok ini merasa berlebih-lebihan. "Misalnya untuk masuk surga, mereka tidak cukup untuk kepala keluarganya ... tapi mereka merasa harus bareng-bareng, harus masuk surga sekaligus," jelasnya.

Menurut Al Chaidar, membedakan penganut paham Wahabi Takfiri ini dengan umat Islam yang lain, bahkan dengan sesama aliran Wahabi, tidak bisa dilakukan oleh masyarakat awam.

"Serahkan saja ke aparat. Aparat tahu kok, harus nyari ke mana," ujarnya.

Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones, juga menyoroti peran pemerintah dalam mengidentifikasi keluarga yang diduga terhubung dengan ISIS.

"Pemerintah perlu mengetahui tentang keluarga-keluarga ini dan latar belakang mereka sebelum memulai program yang lebih strategis," tulis Sidney.

Rangkaian serangan bom di Surabaya adalah aksi teror pertama di Indonesia yang dilakukan satu keluarga, melibatkan perempuan dan anak-anak.

Sejak rangkaian ledakan bom di Surabaya dan Sidoarjo pada Minggu (13/05), muncul berbagai laporan tentang dugaan serangan di wilayah Jakarta, yang belakangan ternyata tidak terbukti.

Bagaimanapun, beberapa pengurus RW mengaku meningkatkan penjagaan keamanan mereka.

"Kita mau kumpulin keamanan lingkungan, untuk antisipasi dengan adanya bom di sana (Surabaya) takut-takut masuk lingkungan," kata Ito, ketua RW 04 Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat.

Ito mengaku dampak teror di Surabaya tidak terlalu terasa di daerahnya. "Cuma kewaspadaan kita aja yang lebih ditekankan," imbuhnya.

Juru bicara Polda Metro Jaya, Argo Yuwono, mengatakan ketegangan masyarakat sudah mereda.

"Masyarakat sudah melakukan kegiatan seperti biasa kok. Dan kepolisian siaga," pungkas Argo.