Deradikalisasi untuk Cegah terorisme, Efektif atau Tidak

Napi kasus terorisme keluar dari Rutan cabang Salemba, Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis (10/5) setelah 36 jam melakukan perlawanan. - ANTARA/Mabes Polri
Sumber :
  • bbc

Rentetan aksi teror sejak pekan lalu kembali menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas program deradikalisasi.

Pasalnya, para terduga pelaku penyerangan gereja dan markas kepolisian tidak pernah disentuh program deradikalisasi mengingat program itu dikhususkan bagi narapidana dan mantan narapidana teroris, itu pun yang bersedia menjalani arahan pemerintah.

Lalu apakah program deradikalisasi bisa dikatakan gagal?

Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin, menuturkan bahwa sulit menentukan apakah program deradikalisasi berhasil atau gagal.

Program yang dirintis sejak 2002 itu, kata Solahudin, tidak punya basis data untuk berpijak.

"Pertama, orang yang radikal kan harus diketahui tingkat radikalismenya. Setelah masuk program deradikalisasi, diintervensi, kita lihat ada hasilnya atau tidak. Nah, selama ini pernah diukur orang yang dikasih deradikalisasi tingkat radikalismenya seperti apa. bisa dibandingin, sebelum diintervensi dan sesudah diintervensi. bisa diukur," paparnya.

Kelemahan program deradikalisasi yang kedua, lanjut Solahudin, adalah sasaran program tersebut.

"Yang dideradikalisasi adalah orang yang sudah , sudah tidak berkomitmen melakukan kekerasan lagi. Orang kayak Aman Abdurrahman mana mungkin disentuh sama mereka?"

Kekuatan terbatas

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, tidak terima jika program deradikalisasi disebut gagal.

"Kalau ada orang yang tidak paham, langsung katakan deradikalisasi gagal. Pemikirannya terlalu cepat menyimpulkan," kata Irfan.

Dia mengungkap bahwa pihaknya "tidak mempunyai kekuatan yang cukup" dan "semuanya serba terbatas".

"Kalau saja kita punya kekuatan yang cukup, saya kira 113 Lapas dengan ratusan napi atau mantan napi yang sudah bebas, serempak kita lakukan. Untuk melakukan semuanya itu, kita akan gandeng 36 kementerian dan lembaga," paparnya.

Irfan menegaskan proses deradikalisasi tidak mudah, apalagi mengingat BNPT baru berdiri pada 2010 lalu.

"Jangan dibayangkan seperti kementerian yang seusia Indonesia, jadi kita bertahap. Kita butuh waktu, butuh proses, butuh pakar, butuh strategi. Ini orang-orang ideologinya sangat keras. Ada pendekatan kekeluargaan, pendekatan religi, pendekatan psikologi, pendekatan masyarakat, pendekatan sosial."

Radikalisme dan ekonomi

Menurut Irfan, proses deradikalisasi melibatkan tiga pendekatan, yakni pembinaan, pendampingan, dan pemberdayaan.

Pembinaan berupaya menuntun pola pikir dan pemahaman keagamaan narapidana terorisme yang dilakukan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan.

Selanjutnya, pendampingan berupaya menggandeng napi terorisme ke tengah masyarakat agar bisa berbaur.

Terakhir, pemberdayaan adalah pemberian bekal kemampuan dan keterampilan kepada napi terorisme sehingga bisa mandiri secara ekonomi.

"Kalaupun misalnya membutuhkan modal kan ada Kementerian Koperasi, Kementerian Desa. Istilahnya kami memberikan kail bukan ikan," kata Irfan.

Bagaimanapun, pendekatan semacam itu dinilai tidak mempan oleh peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin.

"Saya ada kajian mengenai pendekatan ekonomi sebagai instrumen deradikalisasi. Tidak ada korelasi antara menurunnya tingkat radikalisme dengan program ekonomi," ujarnya.

Asumsi bahwa akar masalah radikalisme dan terorisme adalah kemiskinan juga dipatahkan oleh fakta mengenai Dita Oepriarto dan Puji Kuswati, pasangan suami-istri pelaku pengeboman tiga gereja di Surabaya.

Keluarga pasutri itu dikenal cukup berada, berpendidikan sarjana, dan tinggal di rumah dengan harga kisaran Rp1 miliar lebih.

Dita selama ini bekerja sebagai pengusaha minyak jintan hitam, minyak wijen, dan minyak kemiri. Adapun Puji merupakan putri ketiga dari pasangan suami istri pengusaha jamu terbesar di Banyuwangi.

Baik Dita maupun Puji tidak punya catatan kriminal dan terlibat dalam aksi terorisme sehingga luput dari program deradikalisasi.

Lebih baik ada daripada tidak sama sekali

Kendati tidak ada ukuran yang jelas untuk menentukan keberhasilan program deradikalisasi dan terbatasnya kemampuan BNPT, seorang mantan napi teroris menyebut keberadaan program itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

"Tidak ada yang efektif kecuali semua dilakukan secara kontinyu. Lebih baik kita lakukan sesuatu daripada tidak," ujar Nasir Abbas, mantan pimpinan Jamaah Islamiyah -kelompok afiliasi Al-Qaeda.

Pria yang bebas dari penjara 14 tahun lalu itu kini aktif mengunjungi narapidana kasus terorisme di berbagai lapas guna "memberi pencerahan".

"Kami secara sukarela datang ke penjara, bertemu napi, menasihati mereka. Karena akar masalahnya adalah ideologi, maka harus dilawan dengan ideologi. Karena paham mereka keliru, harus dilawan dengan paham. Narasi harus dilawan dengan narasi. Itu yang paling efektif," ujarnya.

Pendekatan Nasir Abbas dan mantan napi terorisme lainnya mendapat sambutan baik Noor Huda Ismail, pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian.

"Inilah pentingnya menggunakan orang-orang yang pernah ada di dalam dan kemudian mereka mengatakan, `Di dalam nggak benar, begini, begini... Ini yang lebih manjur," tandas Noor Huda.