Monopoli Kekuasaan Jadi Pemicu Kepala Daerah Marak Terjerat Korupsi

Tersangka yang terjerat OTT KPK selaku Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra (tengah) dengan rompi tahanan meninggalkan kantor KPK di Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Maraknya penangkapan kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai sorotan. Bahkan, kepala daerah tetap tersandung korupsi meski daerah yang dipimpinnya mendapat status wajar tanpa pengecualian (WTP).

Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Dave Laksono menilai status WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan terhadap keuangan pemerintah daerah tak menjamin nihilnya tindak korupsi.

"Ada WTP, itu hanya prosedural saja, tidak memberi jaminan kepala daerah itu bebas korupsi. Kemajuan daerah juga tidak dilihat dari WTP BPK saja. Tapi juga SDM nya dan sebagainya, untuk mengukur kesuksesan kepala daerah," kata Dave di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 27 Oktober 2018.

Dave juga menyebut faktor pemicu kepala daerah terjerat kasus korupsi. Salah satunya karena monopoli kekuasaan yang besar dari si kepala daerah selama ini.

"Kenapa kepala daerah rajin korupsi, pertama monopoli kekuasaan. Yang punya kuasa kepala daerah, yang pegang APBD. Diskresi kekuasaan bisa semena-mena, ganti kepala dinas, ganti pejabat," ujar Dave.

Selain arogansi kepala daerah, dia juga menyebut mahalnya biaya politik tak terpisahkan dari maraknya korupsi kepala daerah. Dia menyebut ada istilah yang dikenal yakni '212'.

"Ini kan sama saja kayak bisnis. Yang terkenal kan 212. Dua tahun pertama balikin modal, satu tahun untuk pembangunan, dua tahun berikutnya persiapan (periode kedua)," kata Dave.

Seperti diketahui, KPK kembali menggelar operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah. Terakhir, kepala daerah yang dicokok adalah Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra yang sudah ditahan penyidik KPK.

Sunjaya ditahan bersamaan dengan Sekretaris Dinas PUPR, Gatot Rachmanto. Keduanya terjaring operasi tangkap tangan KPK pada Rabu lalu, 24 Oktober 2018.