Kompleksitas Persoalan Lapas, Jual Beli Fasilitas Sampai Napi Kabur

Mantan Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

VIVA – Kompleksitas persoalan lembaga pemasyarakatan atau lapas menjadi catatan kelam selama 2018. Tata kelola buruk dengan diwarnai berbagai persoalan mulai over kapasitas, narapidana kabur, perdagangan narkoba, hingga jual beli fasilitas mewah seperti bilik asmara.

Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro menyampaikan catatannya. Bagi dia, sebagai benteng sanksi terakhir dari sistem peradilan pidana, lapas mestinya bisa berperan maksimal. Namun, saat ini justru memunculkan berbagai persoalan krusial.

"Kompleksitas persoalan tersebut, merupakan manifestasi sistem penegakan hukum dan buruknya tata kelola yang sudah berlangsung lama," kata Gigih dalam keterangan resminya, Kamis 20 Desember 2018.

Gigih menekankan, belum ada solusi nyata dari kompleksitas persoalan lapas. Ia pun menyindir ketidakberdayaan dalam pengelolaan pascaterbongkarnya kasus jual beli fasilitas di Lapas Sukamiskin.

Ia juga menyinggung persoalan, seperti sekitar 50 persen lapas yang sudah terpapar sindikat jaringan narkoba internasional. Persoalan ini belum ada solusi dan malah menambah buruk citra lapas.

"Fakta tersebut, mengonfirmasi lapas saat ini telah berubah fungsi menjadi persemaian kejahatan," jelasnya.

Lalu, ia menyoroti kenakalan oknum lapas yang terlibat dalam praktik kejahatan. Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyeret eks Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen menjadi bukti keterlibatan oknum.

Merujuk hasil riset Indonesian Club dalam setahun terakhir, diketahui oknum petugas lapas punya peran kontribusi besar terjadinya praktik kejahatan. Dari riset itu diketahui, 84,5 persen kejahatan diproduksi, karena kerja sama antara napi dan oknum petugas lapas.

"Sementara, 15,5 persen kejahatan dilakukan mandiri oleh para napi. Ada keterlibatan oknum petugas dari level rendahan hingga level tertinggi di lapas," tutur Gigih.

Kritik Kemenkumham

Jargon Revolusi Mental yang sering digaungkan pemerintah, termasuk Kementerian Hukum dan HAM menjadi sorotan Gigih. Slogan 'Kami PASTI' yang disuarakan Kemenkumham seolah percuma dan belum bisa menyelesaikan kompleksitas persoalan lapas.

Gigih mengkritik program serta slogan itu gagal direalisasikan. Hal ini dikhawatirkan akan merusak kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi.

"Capaian program Revolusi Mental dan 'Kami Pasti' akan mengalami kegagalan karena telah diaborsi sendiri oleh birokrat yang bermental korup," jelas Gigih.

Meski demikian, upaya Kemenkumham lewat Ditjen PAS untuk mengurai dan membersihkan lapas dari praktik kejahatan dengan program revitalisasi patut diapresiasi. Kendati belum terlalu signifikan menjawab problem tersebut.

Ia mencontohkan, kerja cepat jajaran Ditjen PAS yang merespons temuan dugaan praktik jual beli fasilitas dan remisi beberapa waktu lalu. Diharapkan, temuan kasus ini disertai dengan sanksi dan proses penegakan hukum yang tuntas.

"Meskipun berhasil memotong mata rantai kejahatan dengan sanksi pembinaan terhadap aktor lapangan, tapi tak berhasil menghentikan praktik kejahatan itu sendiri karena aktor intelektualnya belum tersentuh hukum," tuturnya.

Dia pun menekankan dalam persoalan ini diperlukan langkah dengan kepemimpinan yang kuat dan tegas. Hal ini penting, untuk menghentikan segala macam praktik kejahatan di lapas.

"Membersihkan praktik kejahatan harus dimulai dari birokrasi yang bersih pula, agar revitalisasi lapas bisa berjalan secara optimal," sebut Gigih. (asp)