Perusak Makam Ditangkap, Polisi Pastikan Tak Terkait Sentimen SARA

"Tanggal 25 itu masih bagus dan belum hancur," kata Mulyono, penjaga makam di TPU Giriloyo, Kota Magelang, Jawa Tengah. - YAYA ULYA UNTUK BBC NEWS INDONESIA
Sumber :
  • bbc

Pelaku perusakan makam di beberapa Tempat Pemakaman Umum di Magelang, Jawa Tengah, diduga menderita gangguan jiwa. Namun begitu, Badan Kerjasama Gereja-Gereja Kristen Kota Magelang menemukan beberapa kejanggalan.

Setelah melakukan pemburuan selama beberapa hari, Kepolisian Resort (Polres) Magelang Kota berhasil membekuk seorang tersangka pelaku perusakan di beberapa pemakaman di Magelang Kota, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada Jumat (04/01) malam.

Kapolres Magelang AKBP Kristanto Yoga Darmawan mengatakan masih mendalami motif aksi yang dilakukan tersangka seraya menambahkan masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi dengan isu perusakan makam yang mengarah ke isu agama atau SARA.

"Jadi masyarakat jangan berasumsi-asumsi lagi, tersangkanya sudah kami tangkap dan akan kami dalami motifnya," ujar Krsitanto kepada Yaya Ulya, wartawan di Jawa Tengah, pada akhir pekan.

Meski polisi telah menetapkan tersangka dan menyatakan pelakunya sebagai pelaku tunggal, Penasehat Badan Kerjasama Gereja-Gereja Kristen Kota Magelang Pendeta Parlaend mengaku tetap akan berkordinasi dengan sejumlah pihak untuk mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi.

"Apa mungkin pelaku tunggal?" ujarnya penuh keraguan.

Kendati begitu, dia meminta umat Kristiani untuk tetap tanang dan tidak terprovokasi karena mayoritas makam yang dirusak adalah makam umat Kristiani.

"Kita serahkan kasus hukumnya kepada polisi," katanya.

Kronologi Penangkapan

Kapolres Magelang AKBP Kristanto Yoga Darmawan mengungkapkan pelaku berinisial FK diketahui sebagai warga Kampung Karangkidul, Rejowinangun Selatan Kota Magelang.

"FK mengalami gangguan jiwa dan pernah menjadi pasien rawat jalan di RSJP Dr. Soeroyo Kota Magelang pada April 2017," ujar Kristanto.

Pelaku dibekuk saat tengah melakukan aksinya merusak makam lain di TPU Nambangan, Kelurahan Rejowinangun Utara, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang pada Jumat (04/01) sekitar pukul 22.00 WIB

Menurut Kristanto, penangkapan tersangka berkat informasi masyarakat yang curiga dengan gerak-gerik seorang lelaki yang berada di lokasi pemakaman.

Sekitar pukul 21:00 WIB, warga memergoki tersangka sedang melakukan perusakan salib di pemakaman. Saat itu juga, lanjut Kristanto, warga langsung mengamankannya dan melaporkannya kepada Polisi.

Saat diamankan, FK kedapatan membawa sebuah palu besi yang gagangnya juga terbuat dari besi yang habis digunakannya merusak dua nisan makam berlambang salib di TPU tersebut.

Setelah menangkap pelaku, kepolisian langsung melakukan olah kejadian perkara di TPU Nambangan. Pada saat itu, pelaku mengakui perbuatannya.

"Tersangka mengaku sebagai pelaku perusakan makam," katanya.

FK kemudian ditetapkan sebagai pelaku tunggal dalam aksi perusakan makam di 4 lokasi pemakaman yang berbeda, yakni TPU Giriloyo, TPU Kiringan, TPU Nambangan, dan TPU Malangan.

Di TPU Giriloyo saja, setidaknya ada 12 makam yang dirusak, menurut salah satu penjaga makam, Mulyono.

Pada Kamis (26/12) ketika hendak membersihkan makam, dia mendapati sejumlah makam rusak. Ada yang salibnya dicopot, dicungkil dan dihancurkan.

"Setelah saya cek, ada sekitar 12 makam yang rusak," ujar pria berusia 76 tahun ini.

Kejadian itulah yang membuat Pendeta Parlaend beranggapan kalau pelakunya lebih dari satu.

"Jadi saya ragu-ragu kalau sendirian," imbuhnya.

Bersama sejumlah pihak terkait, Pendeta Parlaend tengah mengkoordinasikan untuk membentuk Tim Pencari Fakta independen yang akan menginvestigasi kasus perusakan makam dan menggali fakta-fakta yang ada di lapangan.

"Sudah ada idenya, tinggal kordinasi lebih lanjut saja," katanya.

Kendati diduga menderita gangguan jiwa, tersangka akan dijerat Pasal 406 KUHP dan atau 179 KUHP dengan ancaman hukuman masing-masing pasal 406 selama 8 tahun 8 bulan, pasal 179 ancamannya 1 tahun 4 bulan.

Sebelumnya, Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute, yang meneliti isu HAM dan intoleransi di Indonesia, menduga aksi perusakan makam ini menunjukkan intoleransi sudah tak lagi menjadi fenomena perkotaan, namun menyebar ke arus bawah.

Terpupuknya intoleransi ini di tempat-tempat yang "tak semestinya" ini menurut Bonar karena pemerintah daerah abai untuk mengatasinya.

"Pemerintah daerah lebih fokus ke hal-hal yang lebih berkaitan dengan pembangunan. Masalah-masalah ini mungkin mereka rasa adalah masalah yang sangat sensitif dan dikhawatirkan kemudian mereka tidak mendapat dukungan dari kelompok "mayoritas"," jelas Bonar.

Sebelumnya, pada pertengahan Desember lalu, sebuah nisan kayu salib dipotong di Kotagede, Yogyakarta dan prosesi doa kematian gagal dilakukan dalam pemakaman jenazah seorang warga Kristen, karena mendapat penolakan dari warga sekitar.