Polemik HGU: Data Kepemilikan Lahan 'Masih Ditutup' dari Publik

Proses pemberian hak guna usaha lahan selama ini kerap memicu penolakan penduduk lokal. - ANTARA FOTO/Rony Muharrman
Sumber :
  • bbc

Perdebatan mengenai hak guna usaha (HGU) lahan yang dinilai dikuasai segelintir pengusaha mengemuka sejak debat pilpres kedua pada Minggu (17/02).

Capres Joko Widodo menuding kompetitornya, Prabowo Subianto, menguasai HGU untuk lahan seluas ratusan ribu hektar.

Sebaliknya, kubu Prabowo menyebut sejumlah taipan penyokong Jokowi juga memegang HGU atas lahan besar.

Namun publik tidak dapat mengetahui persis data rinci kepemilikan lahan itu karena pemerintah menutup akses informasi dengan dalih hak privasi.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan (ATR/BPN) mengklaim data HGU, terutama yang menyangkut nama pemegang hak dan luas lahan, sebagai informasi privat.

`Potensi KKN`

Keengganan membuka data HGU itu bertolak belakang dengan putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara keterbukaan informasi yang diajukan lembaga pemantau hutan, Forest Watch Indonesia (FWI).

MA memerintahkan Kementerian ATR membuka nama pemegang HGU, lokasi, luas lahan, peta area, dan jenis kompditas yang diproduksi di atas lahan tersebut.

Direktur FWI, Soelthon Gussetya Nanggara, menyebut selama ini masyarakat tidak pernah tahu kepada siapa saja pemerintah meminjamkan lahan.

Akibatnya, menurut Soelhton, proses pemberian HGU berlangsung berlangsung tanpa pengawasan. Korupsi dan kolusi pun berpotensi muncul karena terjadi di ruang gelap.

"Tidak ada argumentasi logis lagi dari pemerintah untuk menutup data ini. Publik tidak pernah tahu," ujarnya, Selasa (19/02).

"Kalaupun ada situs berisi wilayah persebaran HGU, di situ tidak ada data pemilik, luas, atau komoditas. Nama pemilik sebenarnya paling penting agar kita tahu kepada siapa saja lahan negara ini diserahkan."

Namun Kementerian ATR membantah menutup data pemegang HGU demi kepentingan pelaku bisnis. Mereka mengklaim tengah berkonsultasi dengan Kemenko Perekonomian terkait jenis data yang akan mereka publikasikan.

Kementerian ATR bertindak salah satunya dengan merujuk pasal 17 UU 14/2008. Pasal itu menyebut 10 pengecualian terhadap informasi yang wajib dibuka kepada masyarakat.

"Ada aturan untuk melindungi hak privat. Bayangkan kalau ada orang datang ke kantor saya, minta seluruh data tentang Anda," ujar Juru Bicara Kementerian ART, Horison Macodompis.

"Intinya kami bukan tidak ingin membuka data itu ke publik, tapi kami harus berhati-hati karena ini menyangkut hak keperdataan seseorang," tuturnya.

Merujuk Laporan Tahunan 2017 , dari total 8.264 aduan, dugaan maladministrasi pemerintah paling banyak berkaitan dengan isu pertanahan (13,43%).

Konflik warga dan korporasi

Dalam tahun yang sama, Kementerian Agraria berada di peringkat keempat dalam daftar lembaga yang paling kerap diadukan ke Ombudsman.

Adapun merujuk kajian Komisi Informasi Publik, dalam kurun 2010 hingga 2015, sengketa yang mereka tangani mayoritas berkaitan dengan sektor sumber daya alam.

Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law, Astrid Debora Meliala, menilai data HGU yang tertutup selama ini memicu konflik antara masyarakat adat atau penduduk lokal dan korporasi pemegang izin.

Astrid berkata, warga kerap tak tahu bahwa lahan yang mereka garap telah dikuasakan kepada perusahaan melalui skema HGU.

"Mereka tidak pernah tahu siapa yang bertanggung jawab atas suatu lahan atau harus menggugat siapa," ujarnya.

Lebih dari itu, Astrid menilai polemik HGU dalam debat pilpres terjadi karena pemerintah selama ini berkeras mengklasifikasi data HGU sebagai informasi rahasia.

Akibatnya, kata dia, pemaparan data lahan HGU milik Prabowo dianggap sebagai `serangan personal`.

"Ini konsekuensi, pihak Prabowo menggunakan dasar berpikir Kementerian Agraria dan BPN untuk melaporkan Jokowi ke Bawaslu," ujarnya.