KTP bagi Penghayat Kepercayaan 'Masih Tersandung Masalah Administrasi'

Salah satu penghayat kepercayaan, masyarakat Bonokeling di Banyumas, Jawa Tengah. - NurPhoto via Getty Images
Sumber :
  • bbc

Penerbitan kartu tanda penduduk (KTP) bagi para penghayat kepercayaan masih terkendala persoalan administrasi dan sosialisasi, menurut Masyarakat Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI).

Ketua Presidium MLKI Kota Bandung, Bonie Nugraha Permana, mengatakan tak semua petugas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) di kecamatan mengetahui aturan penerbitan KTP untuk warga penghayat kepercayaan.

Bahkan, ia menyebut, ada juga yang tidak tahu ada penganut kepercayaan.

"Biasanya kekurangtahuan aparat di kecamatan, apa itu penghayat kepercayaan? Jadi biasanya tidak langsung ditindaklanjuti," ujar Bonie saat dihubungi BBC News Indonesia.

Di Bandung Raya, menurut Bonie, ada sekitar 100.000 lebih warga penganut kepercayaan.

Ia sekeluarga merupakan penghayat Akur Cigugur pertama yang memiliki e-KTP dengan kolom agama bertuliskan: Penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

"Saya yang pertama di Jawa Barat," katanya.

Pengajuan perubahan e-KTP oleh Bonie, dilakukan pada Agustus 2018 dengan sejumlah syarat di antaranya pengantar dari RT/RW dan kelurahan, serta surat resmi dari organisasi yang menyatakan dirinya penganut kepercayaan.

"Karena mungkin ini pertama kali, jadi petugas dukcapil belum mengerti tata cara operasional di lapangan. Jadi belum terlalu lancar."

Perubahan kebijakan kolom agama di kartu penduduk untuk penganut kepercayaan dilakukan setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 yang mengabulkan permohonan uji materi terkait ketentuan pengosongan kolom agama di KTP dan KK.

MK menyatakan kata "agama" dalam pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 (1) UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".

Bonie mengatakan penerbitan e-KTP baru ini menjadi bukti pengakuan negara terhadap para penghayat kepercayaan. Sebab sebelumnya, mereka selalu "bersembunyi" di bawah agama resmi pemerintah.

"Selama ini karena peraturan negara belum ada, banyak yang ikut ke agama lain demi mendapatkan hak-hak sipil, seperti pernikahan, pendidikan," jelas Bonie.

"Sekarang ketika pemerintah sudah memenuhi semua kebutuhan hak-hak sipil warga penghayat, pembuktiannya dengan identitas KTP. Kita tidak perlu lagi pinjam-pinjam agama lain."

Dia memperkirakan, setelah dirinya mendapat e-KTP baru, sejumlah warga penghayat kepercayaan lainnya akan mengikuti jejaknya.

"Sekarang ini bakal ada gerakan ubah KTP. Kasus saya bisa jadi trigger , yang lain akan menyusul."

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan penerbitan kartu penduduk untuk kelompok penghayat kepercayaan sudah mencapai ribuan terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sosialisasi kebijakan ini, katanya, sudah dilakukan sejak tahun lalu lewat media massa dan media sosial.

Sehingga siapa pun yang hendak mengajukan pembuatan KTP baru, akan dilayani dengan memenuhi syarat yang sederhana.

"Siapa pun yang datang segera kita layani dan kita tidak menargetkan sekian banyak, karena kita ingin layanan yang cepat," jelas Zudan Arid Fakrulloh kepada BBC News Indonesia.

"Jadi tak perlu surat dari organisasi penghayat. Karena kita tidak berafiliasi dengan organisasi," sambungnya.

Sosialisasi, klaimnya, tak hanya kepada kelompok penghayat tapi juga petugas di lapangan dengan melatih bagaimana cara menerbitkan kartu identitas dan mengeluarkan surat edaran ke seluruh wilayah.

"Saat Rakornas, tidak ada laporan masalah," tukasnya.

Namun menurut Sekretaris Dinas Dukcapil Kota Bandung, Jawa Barat, Uum Sumati, ada beberapa syarat wajib yang harus dipenuhi warga penghayat kepercayaan yang ingin mengurus KTP baru.

Salah satunya Kartu Keluarga (KK) yang sudah diperbarui.

"Surat dari organisasi itu sebagai penguat dan harus ada dengan tulisan bahwa si A benar penganut kepercayaan," kata Uum Sumati kepada BBC News Indonesia.

"Jadi surat keterangan itu salah satu data yang harus dilampirkan," katanya.

Ia mengatakan hingga saat ini baru enam warga penghayat kepercayaan di Bandung Raya yang mendapat KTP baru, dari sekitar 108 lebih penganut kepercayaan di Bandung Raya.