Banyak Pelanggaran HAM, Penanganan Rusuh 22 Mei oleh Polisi
- Reza Fajri
VIVA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama LBH Jakarta, LBH Pers, KontraS, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lokataru Foundation dan Amnesty International menyampaikan hasil laporan pemantauan bersama aksi unjuk rasa berujung rusuh yang terjadi pada 21 dan 22 Mei 2019 di Jakarta.
Ketua Umum YLBHI, Asfinawati mengatakan, ini merupakan temuan awal yang tentunya akan dikembangkan kepada temuan lanjutan. Secara umum, pihaknya menyatakan keprihatinan yang mendalam akan peristiwa tersebut.
"(Karena) semakin banyak fakta digali maka semakin terungkap berbagai indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia," ujarnya di kantor YLBHI, Jakarta, Minggu 26 Mei 2019.
Ia mengatakan, setidaknya ada 14 hal yang ditemukan dalam temuan awal ini. Pertama adalah terkait pecahnya insiden yang mengarah kepada kerusuhan, kedua terkait korban, ketiga penyebab timbulnya korban jiwa dan keempat pencarian dalang.
Kelima, adalah temuan awal soal tim investigasi internal kepolisian, keenam, indikasi kesalahan penanganan demokrasi, ketujuh penanganan korban yang tidak segera, dan penutupan akses tentang korban oleh rumah sakit.
Lalu, kedelapan soal penyiksaan, perlakuan keji, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kesembilan, soal hambatan informasi untuk keluarga yang ditahan, kesepuluh, soal salah tangkap.
Kesebelas, ada kekerasan terhadap tim medis, keduabelas adalah penghalangan liputan kepada jurnalis dengan kekerasan, persekusi, perampasan alat kerja hingga perusakan alat pribadi. Ketigabelas, penghalangan akses kepada orang yang ditangkap untuk umum dan advokat. Serta empat belas, soal pembatasan komunikasi media sosial.
"Keempat belas ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum di Indonesia masih melakukan pendekatan keamanan. Kepolisian adalah aktor keamanan yang seharusnya menjadi bagian dari sipil atau masyarakat, karena itu dia tidak boleh menggunakan kekerasan yang berlebihan," katanya.
Menurut dia, kepolisian harus mengedepankan azas praduga tak bersalah. Artinya, lanjut dia, tidak ada seorang pun yang layak dihukum sebelum melalui proses peradilan.
Jika dilihat skema sistem peradilan di Indonesia, dia mengatakan, posisi polisi adalah penyidik, jaksa adalah penuntut dan hakim ada yang bertugas mengadili dan bahkan tidak bisa menghukum.
"Yang menghukum adalah 'Lembaga Permasyarakatan'," kata dia.
Menurut dia, yang sangat memprihatinkan adalah penggunaan kekerasan ini justru dipertontonkan kepada publik. Sehingga, kata dia, nalar publik pun akhirnya dirusak oleh perseteruan elite politik karena sudah banyak sekali masyarakat yang berkomentar tidak menyatakan keprihatinan. Masyarakat saat ini justru banyak yang menyetujui kekerasan tersebut.
"Tentu saja kita tidak setuju dengan kekerasan apa pun. Kekerasan yang dilakukan masyarakat dan kita lebih tidak setuju lagi kekerasan itu diproduksi oleh negara, aparat yang seharusnya menjaga penegakan hukum," katanya.