Polisi Diminta Ungkap Jaringan Mak Comblang Kawin Pesanan ke China

Sekretaris Jenderal SBMI Boby memaparkan kasus dugaan perdagangan orang di Jakarta, Minggu 23 Juni 2019.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Rifki Arsilan

VIVA – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) meminta aparat kepolisian mengungkap jaringan Mak Comblang yang merekrut sejumlah orang, dengan modus pernikahan dengan warga negara Tiongkok yang menjanjikan kesejahteraan untuk keluarga wanita di pedesaan. 

Sekretaris Jenderal SBMI, Boby, mengatakan sejauh ini pihaknya sudah menangani 29 kasus pernikahan atau perkawinan pesanan, yaitu 13 perempuan di Kalimantan Barat dan 16 perempuan Jawa Barat.

Kasus perkawinan pesanan atau pernikahan dengan janji kesejahteraan untuk keluarga wanita di Indonesia ini, umumnya menyasar warga di desa-desa. 

"Kita meyakini bahwa para Mak Comblang ini adalah sindikat atau jaringan besar. Dan mereka memiliki unsur untuk dikenakan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)," kata Boby di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Minggu, 23 Juni 2019.

Ketua DPC SBMI Mempawah, Kalimantan Barat, Mahadir menjelaskan, unsur TPPO bagi para jaringan Mak Comblang itu sangat terpenuhi. Menurut Mahadir, para Mak Comblang itu bekerja dengan jaringan yang cukup besar. 

Hal itu diketahui karena mayoritas korban direkrut atau dikirim oleh agen-agen atau Mak Comblang yang sama. "Unsur pertama adalah rekrutmen dan pemindahan. Dari 13 kasus yang kita tangani, mayoritas menyebutkan nama-nama pelaku Mak Comblang yang sama, artinya mereka bekerja dengan sangat rapi," ujarnya. 

Dia menambahkan, "Mereka direkrut untuk menjadi pengantin pesanan dan akan dibawa ke Tiongkok."

Selain itu, lanjut Mahadir, para rekrutmen atau Mak Comblang bekerja dengan unsur penipuan, dengan memperkenalkan calon suami kepada para korban sebagai orang kaya. 

Korban juga diiming-imingi akan dijamin kebutuhan hidupnya dan keluarganya di kampung halaman. Keluarga para korban pun juga diberi sejumlah uang.

"Temuan yang kami dapatkan, biaya untuk memesan pengantin perempuan, seorang laki-laki Tiongkok diharuskan menyiapkan uang sebesar Rp400 juta. Dari uang tersebut Rp20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan. Sisanya untuk para Mak Comblang itu," ujarnya.

Lebih jauh, ia katakan, para perekrut atau Mak Comblang telah memanfaatkan posisi rentan korban yang seluruhnya berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, dan berpendidikan rendah. 

"Selain itu ditemukan juga, terdapat pemalsuan dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak pada kasus perkawinan pesanan atau kontrak ini," kata Mahadir.

Unsur TPPO lainnya, lanjut Mahadir, dalam kasus perkawinan pesanan ini para korban umumnya mendapatkan perilaku kasar dan dieksploitasi. 

Menurutnya, setelah sampai di Tiongkok, para korban umumnya disuruh bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang. Sepulang bekerja, para korban juga diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. 

"Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai suami dan keluarga suami. Para korban pun dilarang berhubungan dengan keluarga dan bila ingin kembali ke Indonesia, para korban diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh pihak suami," katanya.

Dia melanjutkan, "Tidak hanya itu, para korban juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami dan dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami, bahkan ketika sedang sakit." (ren)