Pemerintah Aceh Godok Aturan tentang Poligami

Ilustrasi Poligami.
Sumber :
  • U-Report

VIVA - Pemerintah dan DPR Aceh sedang menggodok qanun Hukum Keluarga. Di mana dalam qanun tersebut juga mengatur soal poligami dan dilegalkan di Aceh. Dalam qanun tersebut, ada persyaratan yang harus dipenuhi jika suami ingin menikahi lebih dari satu istri.

Dari draft rancangan qanun Hukum Keluarga yang diterima VIVA, Minggu, 7 Juli 2019, dalam BAB VIII tentang beristri lebih dari satu orang. Kemudian ada lima pasal yang membahas soal itu hingga persyaratannya.

Dalam pasal tersebut juga membahas kriteria seorang suami yang dibolehkan berpoligami. Di antaranya mempunyai kemampuan secara lahir dan batin. Kemudian mengatur hak yang sama antar setiap istri dan anak-anak.

Dalam pasal 47 dijelaskan suami yang hendak menikah untuk kedua hingga keempat kalinya harus mendapat izin dari Mahkamah Syar’iyah. Pernikahan tanpa izin Mahkamah Syar’iyah dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum.

Untuk persoalan izin Mahkamah Syar’iyah diatur dalam pasal 48. Ada tiga syarat yang disebutkan dalam pasal, namun salah satunya harus dipenuhi suami.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Aceh, Musannif, mengatakan qanun tersebut mulai dibahas sejak akhir 2018 lalu. Dan, akan segera dibawa ke sidang rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada tanggal 1 Agustus 2019 mendatang.

Menurut Musannif, dilegalkannya poligami bukan tanpa alasan. Pihaknya melihat saat ini marak terjadi kawin siri. Apalagi, dalam hukum Islam juga diperbolehkan tentang poligami.

“Karena dibolehkan (poligami dalam Islam), saat ini marak terjadi kawin siri. Karena maraknya, pertanggungjawaban kepada Tuhan dan anak yang dihasilkan dari kawin siri ini lemah,” kata Musannif saat dikonfirmasi VIVA, Sabtu, 6 Juli 2019.

Berikut pasal dalam Draft Rancangan Qanun Hukum Keluarga yang membahas soal Poligami di Aceh:

Pasal 46:

(1) Seorang suami dalam waktu yang bersamaan boleh beristri lebih dari 1 (satu) orang dan dilarang lebih dari 4 (empat) orang.

(2) Syarat utama beristri lebih dari 1 (satu) orang harus mempunyai kemampuan, baik lahir maupun batin dan mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

(3) Kemampuan lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal untuk kehidupan istri-istri dan anak-anaknya.

(4) Kemampuan tersebut harus dibuktikan dengan sejumlah penghasilan yang diperoleh setiap bulan dari hasil pekerjaan baik sebagai Aparatur Sipil Negara, pengusaha/wiraswasta, pedagang, petani maupun nelayan atau pekerjaan lainnya yang sah.

(5) Kemampuan batin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, biologis, kasih sayang dan spiritual terhadap lebih dari seorang istri.

(6) Dalam hal syarat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, seorang suami dilarang beristri lebih dari 1 (satu) orang.

Pasal 48:

(1) Mahkamah Syar'iyah hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari 1(satu) jika:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam Qanun ini; atau
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, yang dibuktikan dengan keterangan dari dokter ahli.; atau
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan, yang dibuktikan dengan keterangan dari dokter ahli.

(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu syarat terpenuhi seorang suami sudah dapat mengajukan permohonan beristri lebih dari 1 (satu) orang meskipun istri atau istri-istri sebelumnya tidak menyetujui, Mahkamah Syar'iyah dapat memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu orang.

Pasal 49:

(1) Selain syarat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2), untuk memperoleh izin Mahkamah Syar'iyah harus pula dipenuhi syarat-syarat:

a. adanya persetujuan istri atau istri-istri; dan
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan istri atau istri-istri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan.

(3) Persetujuan lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan oleh istri di hadapan sidang Mahkamah Syar'iyah.

(4) Persetujuan sebagaimana pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami, jika istri atau istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada khabar dari istri atau istri-istrinya paling kurang 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat pertimbangan hakim.