Musim Kemarau hingga November 2019, Apa Langkah Pemerintah?

Perkiraan akhir musim kemarau.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

VIVA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau dengan kekeringan ekstrem masih akan terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia hingga November 2019. Puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada September.

Selain itu, dalam peringatan yang dikeluarkan, BMKG memiliki dua kondisi yang menyebabkan sebagian wilayah itu mendapatkan peringatan dini, yakni deret hari kering lebih dari 20 hari sampai 60 hari dan curah hujan sangat rendah dengan peluang lebih dari 90 persen.

BMKG juga melakukan serangkaian monitoring di enam ribu pos hujan yang tersebar di hampir seluruh kecamatan yang ada di Indonesia.

Hasil pengamatan lainnya adalah sejumlah wilayah juga masih akan mengalami kekeringan ekstrem di sepanjang bulan ini.

Wilayah kekeringan ekstrem tersebut meliputi Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut, jika dilihat berdasarkan jangka waktu, maka musim kemarau tahun ini menduduki posisi kedua setelah kekeringan yang terjadi pada 2015.

"Diperlukan kewaspadaan terhadap ancaman bencana kekeringan. Melihat kedua kondisi di atas, memenuhi syarat untuk dikeluarkan peringatan dini," kata Dwikorita, Kamis, 19 September 2019.

Musim kemarau panjang membuat krisis air bersih terjadi di beberapa daerah. Karena itu, pemerintah mempercepat akses pemanfaatan air bersih lewat pengembangan sejumlah infrastruktur untuk penyediaan sumber air baku.

Menurut Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Danis H Sumadilaga, peningkatan pasokan air baku diharapkan mampu memenuhi kebutuhan perusahaan daerah air minum (PDAM) guna mengurangi biaya produksi air, sehingga bisa menambah jumlah masyarakat yang mendapat layanan air bersih.

“Banyak yang sudah kita capai, dan ada juga yang belum. Kita terus berupaya menambah pasokan air baku dan pembangunan sistem pipa transmisi,” ujar Danis.

Ia mengatakan pembangunan sumber air baku dan pipa transmisi memanfaatkan empat skema pembiayaan, yaitu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), APBD, swasta dan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).

Danis mengungkapkan, anggaran Ditjen Cipta Karya dari APBN 2020 sebesar Rp8 triliun. Ia mengakui jumlah itu masih belum mencukupi karena hanya mampu membiayai sekitar 40 persen kebutuhan. Selebihnya dipenuhi pemerintah daerah, swasta maupun KPBU.

"Ini alokasi terbesar dari keseluruhan anggaran Ditjen Cipta Karya. Kita menargetkan 10 juta sambungan baru ke depan atau sekitar 50-60 juta masyarakat yang memperoleh akses air minum,” tuturnya.

Ketua Umum Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi), Haris Yasin Limpo, berharap dukungan pemerintah lebih optimal untuk membantu perusahaan air minum di berbagai daerah mengatasi kendala operasional selama ini, terutama regulasi dan struktur harga di mana biaya produksi lebih mahal dibanding harga jual.

“Dari 400 PDAM anggota Perpamsi, sekitar 40-50 di antaranya sakit karena merugi,” aku Haris.

Karena itu, regulasi air bersih yang baik, terutama dalam mendorong pemerintah daerah, swasta dan KPBU berinvestasi pada ketersediaan air baku, diharapkan bisa menurunkan biaya produksi sehingga operasional perusahaan lebih sehat.

Perpamsi menggelar Indonesia Water and Wastewater Expo & Forum (IWWEF) pada 18-20 September 2019 di Jakarta. Ini merupakan ajang yang mempertemukan para praktisi, profesional, dunia usaha, pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berkecimpung di bidang air minum, air limbah dan sanitasi.