Kisah Para Perempuan 'Penakluk Api' Kebakaran Hutan Kalimantan
- bbc
Sumarni dan Sola adalah dua di antara sekian banyak relawan perempuan yang turun ke tengah bara api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan.
Dorongan untuk terjun langsung membantu proses pemadaman itu bersifat naluriah bagi Sumarni Laman.
"Selama ratusan tahun kami menjaga hutan kami, hutan Kalimantan," ujar perempuan berusia 23 tahun itu saat rehat di atas lahan gambut yang hangus di perbatasan Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau, Rabu, 18 September 2019.
"We are the guardians of the forests (Kami adalah para penjaga hutan)," tambahnya.
Sumarni yang asli suku Dayak memang lahir dan tumbuh di Kalimantan Tengah. Ia tak pernah membayangkan harus menyemprotkan ribuan liter air ke hektare demi hektare lahan yang membara di `rumah`nya sendiri, demi bisa bernapas lega.
"Banyak banget terjadi kebakaran, jadi untuk membantu memadamkan api, kami juga turun langsung," imbuhnya.
Seperti Sumarni, Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.
Tak lekang dari ingatannya aroma asap dan kabut `abu` pekat yang menyelimuti kampung halamannya di Ketapang, Kalimantan Barat, sejak bertahun-tahun lalu.
"Setiap tahun tuh pasti ada (kabut asap)," ujar Sola.
Tanda tanya itu tumbuh semakin besar setelah ia menyaksikan sendiri dua rekan kerjanya menjadi korban asap kebakaran hutan dan lahan.
"Teman dan atasan (saya) pernah sakit, sampai ada yang meninggal," imbuhnya.
`Jangan sampai ini kena keluargaku`
Sola melintasi lahan gambut gosong dan berlumpur bersama beberapa orang relawan Greenpeace lainnya. Kamis, 19 September 2019 pagi itu, timnya mendatangi titik api di kawasan Jembatan Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau.
Dengan mengenakan pakaian pemadam kebakaran lengkap, ia melingkarkan gulungan selang air di pundak sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi setiap kali melangkah - menerka mana gambut yang kopong, mana yang cukup padat untuk diinjak.
Ia masuk semakin dalam ke tengah semak belukar di atas gambut yang kering dan menghitam, ke kawasan dengan asap yang masih membumbung tinggi.
"Kita diajarin gimana sih tipe-tipe tipikal gambut, terus gimana cara kita menanggulanginya," tutur Sola. "Kita kan enggak bisa sembarang siram."
Di sana-sini, para petugas dari satuan maupun kelompok lain tengah memadamkan api. Kobarannya memang kerap tak tampak, karena api biasanya membara di bawah permukaan gambut yang kedalamannya sulit ditebak.
Sebelumnya, Sola dan relawan lain dari lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Belanda itu sudah diberi pelatihan khusus untuk bisa bergabung dengan Tim Cegah Api Karhutla.
"Kita dilatih sama teman-teman dari Rusia, pelatih dari Rusia. Kita diajarin bagaimana teknik (pemadaman)nya," ungkapnya.
Setelah tiba persis beberapa meter dari asap yang mengepul tebal, Sola dan teman-temannya - dibantu sejumlah tentara - mulai memasang dan menyalakan mesin pompa air untuk menyedot air tanah dari sumur galian terdekat.
"Tarik selangnya, tarik," teriak salah satu tentara yang suaranya berkejaran dengan bising mesin pompa.
Sola mengambil posisi terdepan. Ia memegang nozzle alias mulut pipa dan mengarahkannya ke area yang ditarget.
"Kita pakai nozzle yang satu arah, alasannya karena efektif di lahan gambut," tuturnya sambil sesekali membenamkan ujung nozzle ke dalam gambut, membiarkan air menerobos sela-sela akar yang saling melilit.
"Kita melakukan pembuburan, di mana pembuburan itu dilakukan untuk mengambil bara yang di bawah. Jadi kita mematikan bara yang di bawah."
Ini adalah tahun ketiga Sola menjadi relawan Tim Cegah Api. Sebelumnya, pada tahun 2017, ia terjun di kampung halamannya, Ketapang, Kalimantan Barat. Tahun 2018, ia terbang ke Pontianak untuk membantu pemadaman.
Bagi Sola, karhutla tahun 2015 merupakan titik baliknya. Pada saat itu, ia menyaksikan teman dan atasannya menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang begitu parah akibat menghirup kabut asap.
"Temanku ini, pada saat kita mau masuk kerja, dia batuk. Tiba-tiba muntah darah," kata Sola mengingat-ingat peristiwa itu.
"Kita bawa ke rumah sakit, kata dokter itu ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akut. Sejak itu, ia diliburkan sama perusahaannya."
Kejadian lebih nahas lantas menimpa atasannya.
"Dia batuk-batuk sudah mulai parah, akhirnya kata dokter `ya udah, coba balik (pulang) lewat kapal`. Jadi beliau balik lewat kapal, pergi ke Pontianak. Baru dari Pontianak beliau ke Balikpapan," kisahnya.
Sebenarnya, sang bos ingin mengungsi dari Ketapang, namun berbagai jadwal penerbangan justru dibatalkan. Alhasil, ia terperangkap semakin lama di lingkungan berkabut asap tebal.
Seiring waktu, ISPA yang diderita semakin parah, hingga akhirnya ia mengembuskan napas terakhir.
"Akhirnya masih berlanjut ISPA-nya itu. Itulah yang merenggut nyawanya," tutur Sola.
Menjadi saksi dua peristiwa itu membuat Sola semakin geram dengan nasib nahas yang harus dihadapi ia dan jutaan warga lain yang terdampak.
"Kok bisa ini kejadian? Kenapa? Siapa dalang dari semua ini?" tanyanya kesal.
Ia bertekad menghentikan kebakaran hutan dan lahan dengan tangannya sendiri. Menjadi relawan Tim Cegah Api adalah hal yang bisa ia lakukan saat ini.
"Bos sama temanku udah (cukup menjadi korban), jangan sampai itu terjadi sama keluargaku," ujarnya.
"Mungkin bukan saat ini kita lihat (dampaknya). Mungkin bukan saat ini kita hirup langsung kita mati, tapi nanti 15 tahun, 20 tahun (lagi)."
`Kami yang menjaga hutan`
Sumarni Laman menceritakan kisah masa kecilnya yang kerap terjaga memantau jilatan api di sekitar rumahnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
"Rumah saya itu dulu di sampingnya kayak hutan. Dan itu dari saya kecil, dari SD, sering kebakar, hampir kena rumah," tuturnya.
"Kami harus jaga siang-malam untuk menjaga apinya biar tidak kena ke rumah."
Sumarni kecil sudah ikut andil dalam upaya mempertahankan tempat tinggal mereka dulu. Ember demi ember diisi air dan disusun di sekitar rumah, "biar ketika apinya dekat itu langsung siram".
Kegiatan itu bisa dilakukan selama satu minggu penuh, setiap hari.
Oleh karenanya, Sumarni sudah `akrab` dengan kabut asap. Dalam ingatannya, sejak tahun 2002, dampak asap kebakaran hutan dan lahan - dalam siklus 4-5 tahunan yang dipengaruhi iklim El Nino - terus menerus ia rasakan.
Sementara itu, Sumarni tidak menyangkal bahwa di sisi lain, kegiatan slash and burn alias memangkas dan membakar lahan sudah menjadi bagian dari budaya turun temurun warga Dayak yang bermata pencaharian sebagai petani ladang. Orang tua Sumarni pun dulunya bekerja di ladang.
"Orang Dayak itu mengenal namanya dua hutan, hutan primer dan sekunder," ujarnya.
Menurutnya, hutan primer adalah hutan yang tidak boleh disentuh. Kalaupun ada sesuatu yang perlu dilakukan atau diambil di dalamnya, ada syarat yang harus dipenuhi.
"Ketika kamu masuk hutan, kamu harus melakukan upacara adat."
Sementara hutan sekunder adalah hutan yang dekat permukiman dan boleh ditanami warga. Di hutan sekunder ini lah, menurut Sumarni, warga biasanya melakukan tradisi pembakaran lahan gambut untuk menurunkan kadar asam yang dikandung.
Sumarni menuturkan, sebelum dibakar, biasanya warga akan membuat kanal air di sekeliling lahan dan memangkas tanaman yang tumbuh di atasnya.
"Kemudian, satu desa itu akan menjaga api itu agar tidak merembet ke tempat lain, dan biasanya dulu itu api akan padam dalam satu hari dan asapnya tidak banyak," katanya.
Akan tetapi, pembakaran lahan selama dua dekade terakhir berbeda dengan yang ia ketahui selama ini.
"Sekarang kan orang datang ke Kalimantan, kemudian mereka meniru ini. Ada banyak perusahaan-perusahaan besar yang (ingin) membuka lahan dengan cara mudah, bakar saja," ungkapnya.
Hingga Senin (23/09), polisi sudah menetapkan sembilan perusahaan sebagai tersangka kebakaran hutan dan lahan.
"Untuk jumlah tersangka korporasi ada sembilan tersangka. Bareskrim menetapkan PT AP sebagai tersangka," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo di Jakarta, Senin kemarin, seperti .
Sementara itu, hampir 300 individu juga ditetapkan sebagai tersangka, di mana 79 di antara mereka berasal dari Kalimantan Tengah.
Sumarni menganggap masyarakat adat Dayak `dikorbankan` dalam kasus karhutla.
"Sebagai masyarakat adat, sebagai pemuda adat, kami merasa kenapa kami yang dikambinghitamkan? Padahal kami yang berjuang keras untuk menjaga hutan-hutan kami, melindungi apa yang tersisa," tuturnya.
Amarah itu belakangan ia salurkan dengan terlibat dalam kegiatan sosial kelompok Youth Act Kalimantan, di mana ia kini menjadi koordinatornya. Ia ingin memberikan sumbangsih nyata untuk melindungi hutan dan komunitasnya.
"Kita mau bersuara dan kami juga melakukan sesuatu. Kita bukan hanya komplain, tapi kami melakukan aksi nyata di lapangan, dan kami ingin melindungi rumah kami, Kalimantan," bebernya.
Kekuatan perempuan
Delapan jam sehari Sumarni ikut memadamkan api ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Palangkaraya. Ia akan memulai hari dengan mengikuti pengarahan di kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palangkaraya, sebelum akhirnya meluncur ke lokasi bersama tim relawan dan Taruna Siaga Bencana.
Masker khusus, kacamata, dan sepatu bot setidaknya harus ia kenakan setiap bersentuhan dengan titik api.
"Waktu hari pertama padamin api, itu apinya besar sekali dan enggak pakai safety (perlengkapan keamanan)," tuturnya.
"Hari selanjutnya saya sakit semingguan, karena ternyata tidak semudah yang kita kira. Memadamkan api itu asapnya bikin mata sakit, terus asapnya bikin kita susah bernapas, sakit, segala macam."
Tapi semua itu ia perlu lakukan untuk menghentikan api dan menghapus asap dari udara di sekitarnya.
"Rumahmu itu terbakar, jadi ayo bertindak, lakukan sesuatu. Even if you are small , walaupun kamu seorang perempuan, datang ke lapangan.
"Ya kelihatan susah, ini benar-benar susah, tapi ayo lakukan sesuatu," ajak lulusan Pendidikan Kimia Universitas Palangkaraya itu.
Pesan itu juga disuarakan Sola Gratia Sihaloho.
Mahasiswi jurusan sistem informatika Akademi Manajemen Komputer dan Informatika (AMKI) Ketapang itu mengharapkan semua orang, terutama perempuan, untuk bisa ikut andil menyelamatkan hutan dan melindungi kesehatan warga.
"Ada kepuasan sendiri. Aku sebagai perempuan, aku bisa melakukan yang banyak orang pikir `kamu perempuan, mana bisa perempuan bawa selang, mana bisa perempuan bawa mesin`.
"Aku puas sama diriku sendiri. Kita perempuan, kita bisa melakukan apapun," ungkapnya.
Sola juga meminta semua orang untuk benar-benar memahami arti hutan bagi manusia. Ia menuntut siapapun untuk tidak bersikap egois.
"Bukan cuma saat ini kita butuh hutan. Dua tahun, lima tahun, 10 tahun, bahkan nanti ratusan tahun (lagi) kita butuh hutan. Bukan untuk kita, bukan cuma kita yang menikmati.
"Bukan saat generasi kita selesai, semua orang akan mati. Enggak . Tapi masih ada anak-cucu kita yang akan mewarisi bumi," pungkasnya.