Pendeta Putri Eksekutor Orang PKI Rangkul Jemaah yang jadi Korban

- BBC Indonesia/Dwiki Marta
Sumber :
  • bbc

Seorang pendeta yang saat ini menjadi ketua sinode gereja dengan jemaat terbanyak di Nusa Tenggara Timur, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), bercerita tentang keterkejutannya saat mendengar pengakuan sang ayah sebagai "eksekutor" mereka yang dituding atau simpatisan Partai Komunis Indonesia.

Kisah ayahnya ini yang membawa pendeta Mery Kolimon melakukan penelitian lebih lanjut tentang siapa saja yang terlibat dan menjadi korban pada rentetan peristiwa di NTT pada 1965 dan tahun-tahun sesudahnya.

Mery Kolimon - selain meneliti bagaimana peran gereja saat itu - juga merangkul para penyintas dan keluarganya yang sempat dilarang untuk mengikuti ibadah.

Upaya ini disebut penyintas sebagai langkah yang menghargai mereka sehingga mereka merasa "punya harga diri lagi."

Melalui Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), yang dibentuk Mery bersama sejumlah pendeta lain, upaya rekonsiliasi pelaku dan juga penyintas juga mereka upayakan.

Dalam lingkup nasional, Letjen TNI Purnawirawan Agus Widjojo, yang menjadi panitia pengarah Simposium Membedah Tragedi 1965 pada April 2016, mengatakan masyarakat masih belum siap dengan rekonsiliasi.

Baik pihak yang dulu terlibat PKI, maupun pihak militer, kata Agus, belum bisa merefleksikan apa yang terjadi secara utuh.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 23 Juli 2012 lalu menyatakan peristiwa 1965 dan tahun-tahun setelah itu – dengan korban lebih dari 500.000 di Indonesia – merupakan pelanggaran HAM berat.

Di Nusa Tenggara Timur sendiri, setidaknya 800 orang meninggal dalam pembunuhan dalam kejadian lebih dari 50 tahun lalu itu, seperti dilaporkan peneliti James Fox yang dikutip dari buku `Keluar dari Ekstremisme`.

Inilah kisah pendeta Mery Kolimon membantu para korban peristiwa 1965.

___________________

Mery Kolimon terkejut saat mengetahui ayahnya, Bernadus Kolimon, adalah eksekutor orang-orang yang dituding anggota ataupun simpatisan Partai Komunis Indonesia, PKI sejak tahun 1966 hingga 1967.

Fakta itu ia ketahui sekitar 2006 saat tengah melakukan penelitian untuk disertasinya mengenai teologi pemberdayaan, yang juga menyinggung soal tragedi 1965 di NTT.

"Ayah saya menceritakan bahwa dia sendiri terlibat (dalam peristiwa 65)," ujar Merry yang kini menjabat sebagai Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Nusa Tenggara Timur.

Mery mengenang wajah ayahnya, seorang purnawirawan polisi yang bertugas di Soe Pulau Timor, saat itu.

Bernadus tidak menampakan wajah menyesal, tapi menunjukkan bahwa ia adalah pahlawan bangsa yang membela Pancasila.

Mery kemudian mengambil waktu lagi untuk secara khusus berbincang dari hati ke hati dengan ayahnya, yang meninggal pada tahun 2014.

Saat itu ayahnya bercerita lebih detil soal perannya.

"Ayah bilang dia waktu itu dapat tugas belasan orang harus ditembak. Walaupun tidak tahu persis berapa peluru yang dipakai tapi dia ingat belasan, 13-17 orang, jadi bagian dia untuk (ditembak)," ungkap Mery.

Kepada Mery, yang saat itu sudah pendeta, Bernadus akhirnya mengakui betapa peristiwa itu membekas dalam dirinya.

"Kejadian itu membuat dia seperti gila. Dia menjadi jahat sekali karena bergumul dengan dirinya," ujar Mery.

Doa tengah malam di gereja hingga ritual-ritual pun dilakukannya untuk apa yang mereka percaya "mendinginkan darahnya yang panas" akibat membunuh belasan orang.

"Dia disuruh minum darah binatang, kemudian sebagian darah tersebut dijadikan salib di kepalanya, kemudian didoakan dengan Alkitab. Itu berat sekali bagi beliau."

Perasaan Mery campur aduk setelah mendengar pengakuan itu. Ia sedih dan marah, tapi tahu posisi ayahnya yang tidak boleh menolak perintah atau akan dicap komunis.

Meski begitu, Bernadus, kata Mery, telah berupaya berdamai dengan Tuhan. Ibu dan ayah Mery sempat kesulitan memiliki anak, yang mereka yakini adalah akibat perbuatan Bernadus mengeksekusi belasan orang.

"Ketika saya lahir, mereka lihat Tuhan sudah mengampuni mereka. Mereka kemudian berjanji bahwa saya harus menjadi pendeta untuk menunjukkan perdamaian dengan Tuhan," ujarnya.

Peran gereja pada peristiwa 1965

Selain latar belakangnya sebagai anak eksekutor, bidang ilmu Mery dalam teologi kontekstual membuatnya semakin yakin untuk berperan mengorek lebih dalam serta mewujudukan rekonsiliasi terkait kasus 65.

Ia mengatakan gereja terlibat dalam kasus `65 karena pemimpin gereja dan jemaat, baik sebagai korban, pelaku, atau saksi, menjadi pihak dalam kasus tersebut.

Editor buku Memori-Memori Terlarang, Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi 65 di Nusa Tenggara Timur ini, mengatakan saat itu gereja tidak menyerukan apa yang disebutnya sebagai pembantaian massal sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan.

Hanya di Alor, kata Mery, ada sejumlah pendeta yang dengan berani menyerukan `Stop Pembunuhan`.

Melalui penelitiannya, Mery menemukan saat itu ada pemimpin gereja dan tokoh muda gereja yang bekerja sama dengan tentara untuk menangkap orang-orang yang dituduh PKI.

"Dari wawancara-wawancara yang kami himpun, (sikap) pemimpin Gereja jelas. Gereja mengatakan tidak pada komunis. Gereja berdiri bersama-sama dengan negara, dalam hal ini tentara, untuk melindungi Indonesia dari komunisme," ujarnya.

Mery dan timnya juga menemukan bahwa ada gedung gereja yang menjadi penampungan tahanan yang dituduh komunis.

Sikap gereja, kata Mery dilatarbelakangi sejumlah hal, di antaranya pemahaman bahwa komunisme adalah musuh bersama. Namun, ada pula konflik lokal yang melatarbelakangi hal itu.

"Ada orang-orang dari partai komunis, karena mereka kritis di desanya, berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lokal lain yang berafiliasi dengan Gereja."

"Jadi ketika terjadi penumpasan, Gereja berdiri dengan kelompok-kelompok aliansinya untuk mengejar dan menghantam orang-orang komunis ini."

Saat itu pula, terjadi arus besar orang-orang yang menganut agama adat menjadi Kristen.

"Gereja membuka pintu untuk menerima orang-orang yang takut dicap atheis atau komunis."

Keluarga yang terdampak: `Ditolak terima perjamuan kudus`

Di antara mereka yang keluarganya dituding komunis adalah Frangkina Boboy, 67.

Frangkina masih ingat jelas saat-saat keluarganya dilarang masuk gereja dan menerima perjamuan kudus.

Saat itu usianya 13 tahun dan ayahnya dituding sebagai anggota PKI, padahal saat itu ayahnya merupakan anggota Partai Kristen Indonesia (Parkindo) di Pariti. Frankina tidak bisa menerima larangan itu.

"(Saat itu) saya tanya pendeta kenapa kita dilarang gereja? Pendeta bilang `nona diam sa.` Kita dilarang," ujar Frangkina meniru apa yang diucapkan pendetanya.

Meski begitu, Frangkina ngotot untuk tetap masuk ke dalam gereja.

"Saya ke gereja terus, saya tidak mau tahu. Saya bilang mama `katong pergi ke gereja sa`. Itu gereja sonde (tidak) ada yang miliki. Itu gereja," ujar Frangkina.

Hal yang sama diceritakan Heni Leba - Dethan, warga Oesao, Kupang Timur, yang menerima stigma `Anak PKI` hingga dewasa. Meski ibunya adalah orang Kristen, ibunya tidak bisa menjalankan ritual agama.

"Mama tidak boleh ikut perjamuan, dikucilkan. Sonde (tidak) boleh ada pelayanan gereja," ujar Heni.

Baru di tahun 80`an, ibu Heni diperbolehkan menerima perjamuan kudus setelah Heni memperjuangkan hak ibunya.

Ketua Sinode GMIT, Mery Kolimon, mengatakan saat itu, jemaat yang dituding PKI dianggap orang berdosa.

Di Sumba, menurut penelitian Mery, mereka yang mau ikut perjamuan kudus harus mengakui dosanya di depan umat, meski yang dituduh bukanlah anggota PKI.

"Diambil tentara itu dianggap membuat kegaduhan jadi mesti mengaku dosa. Itu sedih sekali."

Rekonsiliasi melalui gereja: Penyintas berbagi dan menguatkan

Untuk mewujudkan rekonsiliasi, melalui Sidang Majelis Sinode pada Februari 2019, GMIT bersepakat untuk bekerja sama dengan sejumlah elemen untuk membuat jemaat paham akan kasus 1965.

"Bagi saya, kalau kita sudah bicara soal rekonsiliasi, ini berarti pemimpin gereja sudah lebih terbuka untuk bicara tentang isu 65 dan ada komitmen gereja untuk mencari cara agar rekonsiliasi bisa dilakukan," ujar Mery Kolimon.

GMIT bekerja sama dengan Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), organisasi yang didirikan Mery tahun 2009, untuk melaksanakan hal itu.

Sejumlah kegiatan, seperti bedah buku Memori-Memori Terlarang dilakukan bersama sejumlah jemaat di berbagai tempat.

Ada pula kegiatan doa bagi para penyintas 65, di mana mereka bisa saling berbagi dan menguatkan.

Meski apa yang dia lakukan tidak biasa bagi seorang pendeta, Mery Kolimon yakin gereja harus memegang peran terkait hal ini.

"Tidak bisa gereja nyaman dengan dirinya sendiri...Kita tidak boleh hanya berkhotbah tentang surga yang indah, yang penuh makanan, yang punya rumah yang baik, tapi itu juga harus terjadi juga hari ini. Tanda-tanda kerajaan Allah mesti dirasakan, perdamaian, keadilan, keutuhan ciptaan," ujarnya.

Bagi mereka yang terdampak seperti Heni Leba - Dethan, ia mengatakan bersyukur bahwa gereja dan JPIT, yang berisi kumpulan pendeta dan calon pendeta, merangkul para penyintas, terutama dalam kegiatan doa bersama.

Kini, Heni, anak dari mantan sekretaris Gerwani, merupakan majelis di gerejanya.

"Beta merasa dinomorsatukan, merasa penting. Merasa ada harga diri," ujarnya.

Hal senada diungkapkan Frangkina Boboy, anak dari seorang petani yang dituding PKI.

Perkumpulan yang beranggotakan sesama penyintas membuatnya merasa lega.

"Sekarang punya teman banyak, tetangga banyak walau bukan hubungan darah. Kita cerita... bahagia sekali," ujarnya.

Meski rekonsiliasi melalui jalur agama telah berjalan, Ketua Sinode GMIT Mery Kolimon berharap negara turut aktif melakukan rekonsiliasi.

"Tantangan kita hari ini adalah ketakutan melihat ketidakjelasan negara," ujarnya.

Ia menambahkan selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, belum banyak tindakan yang diambil pemerintah untuk rekonsiliasi antara pihak penyintas dan pelaku peristiwa 1965.

"Kami berharap di periode kedua ini, Pak Jokowi lebih siap dan lebih berani, walau ada isu-isu yang mengatakan beliau adalah komunis atau semacamnya... ada janji (Jokowi) pada komunitas korban," ujarnya.

Upaya rekonsiliasi gereja dan para penyintas 1965 di Nusa Tenggara Timur dibahas di salah satu artikel dalam buku Keluar Dari Ekstremisme: Delapan Kisah "Hijrah" Dari Kekerasan Menuju Binadamai oleh PUSAD Paramadina.