89 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual, Mayoritas Pelakunya Guru

Ilustrasi kekerasan seksual.
Sumber :
  • VIVAnews/Joseph Angkasa

VIVA – Kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan masih terus terjadi dari tahun ke tahun. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sepanjang Januari-Oktober 2019, kekerasan seksual di ranah pendidikan berjumlah 17 kasus dengan jumlah korban mencapai 89 anak, terdiri dari 55 anak perempuan dan 34 anak laki-laki.

"Adapun pelaku mayoritas adalah guru (88 persen) dan kepala sekolah (22 persen), pelaku guru terdiri dari guru olahraga 6 orang (40 persen), Guru Agama 2 orang (13,33 persen), guru kesenian 1 orang (6,66 persen), guru komputer 1 orang (6,66 persen), guru IPS 1 orang (6,66 persen) dan guru kelas 4 orang (26,66 persen)," ungkap Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti dalam siaran pers yang diterima VIVA, Kamis, 31 Oktober 2019. 

Retno menjelaskan, dari 17 kasus kekerasan seksual di sekolah tersebut, 11 kasus (64.70 persen) terjadi pada jenjang SD 4 kasus (23,53 persen) terjadi di jenjang SMP/sederajat dan 2 kasus (11,77 persen) di jenjang SMA. 

"Tingginya kasus kekerasan seksual di jenjang SD karena usia anak-anak SD adalah masa di mana anak mudah dimingi-imingi, takut diancam oleh gurunya, takut nilainya jelek dan tidak naik kelas," ungkap Retno.

Sementara, pada usia tersebut anak belum paham aktivitas seksual sehingga kerap kali anak-anak tersebut tidak menyadari kalau dirinya mengalami pelecehan seksual. Di samping itu, modus pelaku kekerasan seksual di sekolah adalah  korban diajari matematika. 

"Setelah selesai jam belajar sehingga suasana sepi, korban diajak menonton film porno saat jam istirahat di dalam ruang kelas, korban diancam mendapatkan nilai jelek, korban diberi uang oleh pelaku antara Rp2000-5000. Korban dibelikan handphone dan pakaian, korban di pacari gurunya, korban dijanjikan dinikahi gurunya, dan guru melakukan pelecehan seksual saat korban ganti pakaian olahraga di ruang ganti," ungkap dia. 

Adapun lokasi para pelaku dalam menjalankan aksi bejatnya mayoritas dilakukan di ruang kelas. Ada juga yang di ruang kepala sekolah, di kebon belakang sekolah, di ruang laboratorium komputer, ruang ganti pakaian dan ruang perpustakaan. 

Teknologi CCTV belum ada di sekolah-sekolah tersebut sehingga lokasi-lokasi tersebut tidak terpantau oleh kamera pengaman.