Cerita Nelayan Melaut di Natuna Setelah Kapal Perang Wira-wiri di Sana

Prajurit TNI AL di atas KRI Tjiptadi-381 saat mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, 3 Januari lalu. - Antara/M RISYAL HIDAYAT
Sumber :
  • bbc

Sebagian nelayan Indonesia mengaku salah satu kendala yang mereka alami saat melaut di perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, adalah keberadaan nelayan asing yang mengganggu aktivitas penangkapan ikan, menurut Herman, ketua nelayan di Lubuk Lumbang, Kabupaten Natuna.

Wilayah perairan itu adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang artinya negara berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada, termasuk ikan.

Namun, Herman mengatakan bahwa nelayan Indonesia sering merasa tidak aman saat bekerja di zona yang berada di laut lepas itu.

"Itu yang menjadi kendala kita, sehingga disitu kan terjadi semacam pengusiran antara nelayan asing dan nelayan Natuna [Indonesia], padahal itu kan masih wilayah tangkapnya, masih wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia."

"Dan dia kendala utama kan, terjadinya semacam terancam mereka. Kadang mereka diusir, diuber oleh nelayan asing," ujar Herman kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon pada hari Rabu (08/01).

Namun, ia menjelaskan bahwa pemerintah saat ini tengah memberi perhatian lebih intensif pada nelayan di perairan Natuna, mengikuti kejadian pada bulan Desember dimana sejumlah kapal nelayan China melintasi ZEE Indonesia didampingi oleh kapal Penjaga Pantai negara itu.

Herman mengatakan perhatian ini memang terbukti dengan bertambahnya KRI yang menjaga di wilayah ZEE itu yang membuat nelayan Indonesia dapat bergerak lebih bebas di perairan yang merupakan laut lepas itu.

"Dengan ada pengawasan di laut dari KRI, misalnya dari Bakamla, itu mereka lebih leluasa. Semacam ada percaya diri [dengan] didampingi. Karena mereka meyakini jika ada kapal KRI di perbatasan tersebut, kapal asing nggak ada yang berani memasuki wilayah kita. Itu yang mereka menjadi aman untuk bekerja," kata Herman.

Pada Selasa (07/01) TNI AU Landasan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru menerbangkan empat pesawat tempur F-16 ke Natuna.

Menurut Komandan Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Marsma TNI Ronny Irianto Moningka, pesawat tempur itu menjalankan misi operasi rutin untuk menjaga kedaulatan.

Perairan Natuna adalah wilayah ZEE, yaitu kawasan yang telah ditentukan berdasarkan UNCLOS, atau konvensi PBB tentang hukum laut, yang menetapkan zona sejauh 200 mil dari pulau terluar.

Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang berada dalam kolom air itu.

`Tidak ada kapal asing masuk di laut teritorial Indonesia`

Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, pada hari Rabu (08/01) mengunjungi Kepulauan Natuna untuk memastikan adanya penegakan hukum hak berdaulat Indonesia atas sumber daya alam di ZEE.

Dalam kunjungan itu, presiden juga menegaskan perbedaan antara ZEE dan laut teritorial Indonesia untuk meluruskan perbincangan yang hangat dibahas publik mengenai apa yang ia sebut terkait "kapal asing" yang memasuki wilayah Indonesia.

Jokowi mengatakan bahwa tidak ada kapal asing yang masuk laut teritorial Indonesia, melainkan berada di ZEE Indonesia, dan secara jelas membedakan antara kedua pembagian tersebut.

Ia menjelaskan bahwa kapal internasional dapat melintas dengan bebas di ZEE. Namun, pada waktu yang bersamaam, Jokowi juga menegaskan bahwa di zona tersebut, Indonesia memiliki hak atas kekayaan alam di dalamnya dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya.

"Itu lewat semua kapal bisa. Tapi hati-hati kalau dia nyuri ikan, nah itu baru boleh di usir atau di tangkap," kata Jokowi.

Dalam kesempatan ini, presiden juga menegaskan soal perbatasan wilayah negara yang tidak dapat dinegosiasikan.

"Sekali lagi, bahwa kedaulatan itu tidak bisa dan tidak ada yang namanya tawar menawar," ujarnya.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi pada acara Pernyataan Pers Tahunan Menteri (PPTM) pada hari Rabu dalam pidatonya juga menggunakan kesempatan itu untuk menekankan posisi Indonesia.

"Saya ingin menekankan satu prinsip, terkait kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di perairan Indonesia, bahwa klaim apapun oleh pihak manapun harus dilakukan sesuai dengan hukum internasional termasuk UNCLOS 1982. Indonesia akan terus menolak klaim yang tidak sesuai dan tidak diakui oleh hukum internasional," kata Retno.

`Paradigma wilayah yang berbeda`

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menjelaskan bahwa kejadian di perairan Natuna yang melibatkan kapal asal China bulan lalu memang tidak terkait perdebatan masalah wilayah, atau yang juga diketahui sebagai hak daulat. Melainkan, kata Hikmahanto, yang disebut dengan hak berdaulat, yaitu hak memanfaatkan segala potensi sumber daya alam.

Ia jelaskan bahwa terkait wilayah, Indonesia dan China, memang ada perbedaan pada dasar klaim wilayah.

Hikmahanto mengatakan bahwa dalam posisi ini, klaim ZEE Indonesia adalah berdasarkan hukum internasional dan UNCLOS, dimana China sesungguhnya adalah bagian dari konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk pada tahun 1982 tentang hukum laut itu.

Walaupun demikian, China mengganggap sebagian dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia beririsan dengan wilayah historis mereka dengan merujuk pada klaim berdasakan sembilan garis putus-putus. Klaim ini tidak diakui Indonesia dengan alasan bersifat unilateral dan tidak memiliki dasar hukum.

Dengan demikian, kata Hikmahanto, perdebatan ini berpotensi terus berlangsung selama tiap pihak memegang pada klaim masing-masing.

Namun, dalam kasus terbaru ini, ia menjelaskan bahwa salah satu langkah aktif yang Indonesia ambil adalah untuk menambahkan kehadiran negara di perairan itu, termasuk melalui penambahan jumlah nelayan. Hal itu adalah sebagai bentuk menunjukkan kehadiran Indonesia di wilayahnya untuk menjalankan hak berdaulatnya.

"Saya katakan mengirim lebih banyak nelayan kita, karena kan sebenernya yang diperebutkan disini bukan wilayahnya. Ini bukan biacara soal kedaulatan yang 12 mil tapi ini bicara soal hak berdaulat kita di laut lepas yang dikenal sebagai Zona Ekonomi Eksklusif.

"Jadi ada sumber daya alam yang ada di kolom air. Itu yang menjadi untuk dimanfaatkan bagi negara pantai, yaitu Indonesia," kata Hikmahanto.

Ia menjelaskan bahwa, beda dengan ZEE, laut teritorial merupakan kawasan laut dengan lebar hingga 12 mil laut dari garis pangkal pantai.