Partisipasi Publik Perlu Diperluas dalam Strategi Pencegahan Korupsi

Transparency International Indonesia (TII) dorong pencegahan korupsi.
Sumber :
  • ti.or.id

VIVA – Transparency International Indonesia (TII) merekomendasikan diperluasnya partisipasi publik dalam penyusunan, pelaksanaan dan pemantauan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).

Rekomendasi ini disampaikan TII setelah memantau pelasanaan Stranas PK selama satu tahun terakhir. Apalagi, kewajiban keterlibatan masyarakat dalam penyusunan, pelaksanaan hingga pemantauan Stranas PK tertuang dalam Perpres No 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.

"Memastikan inklusivitas dan memperluas keterlibatan publik," kata Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko dalam keterangan pers, Rabu, 27 Mei 2020.

TII merekomendasikan juga pembenahan kapasitas unit-unit pelaksana Stranas PK. Agenda penguatan kapasitas di unit-unit pelaksana tersebut dinilai harus menjadi prioritas pembenahan di masa depat.

"TII juga merekomendasikan untuk memperkuat komitmen politik lokal. Selain penguatan kapasitas institusi, keberhasilan dari strategi antikorupsi nasional, seperti Stranas PK di Indonesia, sangat bergantung pada komitmen bersama dari berbagai pemangku kepentingan,” ujarnya.

Rekomendasi berikutnya, percepat pelaksanaan Stranas PK di empat sub-aksi yakni Pembentukan Unit Pengadaan Pengadaan barang dan Jasa, Percepatan Pelaksanaan OSS atau Online Single Submission, Implementasi One Map Policy, dan Percepatan pelaksanaan Sistem Merit.

Rekomendasi tersebut diklaim berdasarkan pemantauan yang dilakukan TII bersama sejumlah kelompok masyarakat sipil di daerah. Selain mendapatkan informasi pelaksanaan Stranas PK di daerah, pemantauan ini juga dilakukan dengan tujuan memberikan catatan kepada Timnas PK yang terdiri dari KPK, Kantor Staf Presiden (KSP), Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian PAN RB selaku pelaksana dan Koordinator Stranas PK.

Pemantaun pelaksanaan Stranas PK ini dilakukan di sembilan wilayah yang meliputi Kota Banda Aceh, Kota Gorontalo, Kota Pontianak, dan Kota Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Riau, Povinsi Jawa Timur dan provinsi Sulawesi Utara.

Pemantauan dilakukan hanya berfokus pada empat sub aksi dari 27 Sub aksi pencegahan korupsi, yakni Pembentukan Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ), Percepatan Pelaksanaan OSS, Implementasi Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) dan Percepatan Sistem Merit.

“Keempat sub-aksi tersebut dipantau karena menjadi perhatian publik, dijalankan oleh Kementerian atau dan Lembaga maupun Pemerintah Daerah, serta berkontribusi langsung pada korupsi,” kata Danang.

Dalam pemantauan ini, TII menggunakan instrumen pemantauan yang disusun dari komponen UNCAC pasal 5 dan The Kuala Lumpur Statement. Terdapat lima dimensi di antarannya Kelembagaan, Sumber Daya Manusia dan Anggaran, Akuntabilitas, Mitigasi Risiko Korupsi, dan Pelibatan Masyarakat, serta 25 indikator di dalamnya untuk meninjau kinerja dan kapasitas masing-masing unit kerja.

Hasil pemantauan pelaksananan Stranas PK di sembilan Wilayah menemukan bahwa capaian pelaksanaan bervariasi. Terkait, pembentukan Unit Kerja Pengadaan Barang dan/Jasa misalnya, Danang mengatakan, hasil pemantauan menunjukkan berada dalam kategori kurang memadai.

Dari sembilan wilayah, Kota Banda Aceh, Kota Pontianak, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Sulawesi Utara dikategorikan dalam kelompok kurang memadai, sementara untuk Kota Gorontalo, Kota Yogyakarta, Provinsi Riau dan Provinsi Jawa Timur dikategorikan dalam kelompok memadai.

Sementara terkait pelaksanaan Online Single-Submission, hasil pemantauan di sembilan wilayah menunjukkan berada dalam kategori memadai.

"Kota Banda Aceh, Kota Yogyakarta, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Riau dan Provinsi jawa Timur dalam kategori memadai. Sementara kota Pontianak, Kota Gorontalo, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Sulawesi Utara dalam kategori kurang memadai," ujarnya.

Untuk implementasi Kebijakan Satu Peta di dua provinsi yang dipantau, yakni Provinsi Riau dan Kalimantan Timur dinilai dalam kondisi kurang memadai. Dari pemantauan ini ditemukan wilayah belum memiliki cukup dukungan politik dan dikategorikan masih rawan intervensi politik, baik terjadi proses pemetaan, penerbitan izin lahan, hingga peninjauan efektivitas fungsi lahan.

"Situasi ini didukung oleh kapasitas sumber daya manusia dan anggaran yang belum mencukupi, dimana masing-masing wilayah memiliki regulasi yang dinamis perubahannya," ucap Danang.

Sementara untuk percepatan Sistem Merit, Danang mengatakan hasil pemantauan di sembilan wilayah menunjukkan berada dalam kategori memadai. Dari sembilan wilayah yang dipantau, Kota Banda Aceh, Kota Pontianak, Kota Gorontalo, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Jawa Timur berada dalam kategori memadai. Sementara di Kota Yogyakarta, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Riau, dan Provinsi Sulawesi Utara dalam kategori kurang memadai.

Selain laporan hasil pemantauan Stranas PK, TII juga paparkan kebijakan Rekomendasi Masyarakat Sipil terhadap Penyusunan Aksi Pencegahan Korupsi 2021-2022. Aksi Pencegahan Korupsi sebelumnya yakni 2019-2020 akan habis pada akhir tahun 2020. Untuk itu, Timnas PK sudah seharusnya merumuskan Aksi PK untuk periode selanjutnya dari sekarang.

Diharapkan aksi PK periode 2021-2022 mampu menjawab kekurangan-kekurangan pada aksi sebelumnya. Dengan begitu pelaksanaan Stranas PK tidak hanya berbasis dokumen saja, tapi juga sudah memasuki pada dampak dari Stranas PK.

“Kertas kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada Timnas PK dalam rangka penyusunan Aksi PK periode 2021-2022," kata Peneliti TII Alvin Nicola menambahkan.

Baca juga: Emak-emak Dilawan, Buka Paksa Penutup Jalan Tempat Wisata