Ingat, Tujuh Risiko Pada Anak Selama Pandemi COVID-19

Anak-anak Indonesia dalam seragam sekolah
Sumber :
  • VIVA/Jujuk Erna

VIVA – COVID-19 yang terjadi di berbagai dunia termasuk Indonesia berdampak bukan hanya pada sektor perindustrian dan perekonimian saja. COVID-19 juga ternyata berdampak bagi kondisi anak-anak. 

Dalam temuan Penilaian Kebutuhan Cepat (Rapid Need Assesment) Save the Childern, Ketua Pengurus Save the Childern, Selina Pata Sumbung setidaknya terdapat 7 risiko yang dihadapi anak-anak di masa pandemi COVID-19. 

Dirinya merinci 7 risiko tersebut antara lain, pertama risiko kehilangan orang tua dimungkinkan. 

"Karena terdapat 1,2 juta potensi kasus COVID-19 yang bisa terjadi dengan penanganan moderat. Selain itu, 6 dari 10 kasus COVID-19 terjadi pada orang-orang dengan usia produktif," kata Selina dalam Webinar Save The Childern, Kamis 11 Juni 2020.

Kedua, risiko pada sektor pendidikan, yakni hilangnya akses pendidikan berkualitas. Hal ini mungkin terjadi karena 2 dari 3 orang tua mengatakan jika anaknya tidak belajar melalui situs dari pendidikan yang tersedia. 

"Data juga menunjukkan, 75 persen guru tidak memiliki akses internet dan 70 persen guru membutuhkam materi pembelajaran jarak jauh," ucapnya.

Ketiga, risiko kesejahteraan anak terancam. Hal ini karena 1 dari 3 responden kehilangan pekerjaan akibat pandemi. 75 persen responden kehilangan setengah pendapatan dan 70 persen responden kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Keempat, sektor kesehatan, risiko hilangnya layanan berkualitas. Hal ini berpotensi mengakibatkan 24 juta balita berisiko lebih tinggi mengalami kurang gizi atau gizi buruk, 10 juta balita sulit mengakses imunisasi selana berminggu-minggu dan 40 persen anak tidak memiliki asuransi kesehatan," kata Selina.

Kelima, anak dengan disabilitas memiliki kerentanan lebih tinggi, karena kurangnya akses untuk menjangkau mereka. Data menunjukkan 833.000 anak usia 12-17 tahun di Indonesia adalah anak dengan disabilitas.

Keenam, risiko kekerasan terhadap anak berpotensi meningkat. Hal ini didukung oleh temuan bahwa 80 persen anak usia 12-17 tahun pernah mengalami perundungan di dunia maya. 40 persen orang tua tidak melakukan upaya apapun untuk melindungi anaknya dari sisi negatif internet, dan 40 persen anak mengalami penurunan motivasi belajar selama di sekolah.

Ketujuh, dengan pandemi ini, anak-anak di daerah rawan bencana memiliki risiko ganda. Data menunjukkan bahwa 3.814 bencana alam terjadi di Indonesia sepanjang 2019, terdapat 148 juta penduduk tinggal di kawasan rawan erupsi gunung berapi dan tsunami serta 6,1 juta jiwa mengungsi karena bencana alam pada 2019. 

Dari paparan itu, Seline menjelaskan pihaknya mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersama dan berkolaborasi melalui geralam kampanye Pulih Bersama dengan tagline Protect A Generation dan Minutes to Survive. 

Kampanye ini akan berlangsung selama 6 bulan yang dibagi dalam dua periode . Periode pertama pada Juni-September yang diberi nama periode Pulih. Pulih ini adalah semangat untuk bersama-sama melewati dari kondisi krisis akibat pandemi dan bertahan hidup. Periode kedua pada bulan September hingga Desember yang diberi nama periode tumbuh. Pada periode ini kita diharapkan melakukan sejumlah penyusian untuk menemukan peluang baru agar dapat beradaptasi sehingga terjadi perubahan sistematis yang membangun ketahanan masyarakat. 

"Beberapa rangkaian kegiatan yang dilaksanakan lewat kolaborasi dengan pemerintah, masyarakat, orang tua, anak-anak, infulencer adalah webinar, talkshow, storytelling, mendengarkan suara anak dan orang tua, challange atau quiz, serta berkampanye melalui media sosial dan jaringan yang kami miliki," kata dia.

Baca juga: Fadli Zon Bakal Tunjukkan Bukti Tagihan Listrik ke Jubir Presiden