Sertifikasi Pranikah untuk Tekan Angka Perceraian, Efektifkah?

- GOH CHAI HIN/AFP via Getty Images
Sumber :
  • bbc

Program sertifikasi pranikah yang rencananya diterapkan pemerintah mulai 2020, salah satunya, disusun untuk menekan angka perceraian di Indonesia. Tetapi, efektifkah sesi konseling pranikah mencegah pasangan berpisah?

Menurut psikolog keluarga, Monica Sulistyawati, tidak ada jaminan bahwa sesi konseling pranikah dapat mengurangi potensi perceraian.

"Jaminan sebenarnya tidak, karena kembali lagi ke individu masing-masing," ungkapnya kepada BBC News Indonesia, Selasa (19/11).

Meski demikian, Monica mengapresiasi langkah pemerintah untuk menerapkan program sertifikasi pranikah. Ia menilai, penting bagi pasangan yang akan berumah tangga untuk mengenal satu sama lain dengan baik, agar terhindar dari `kejutan-kejutan` saat mulai membina keluarga.

"Banyak banget pasangan yang kurang memiliki wawasan di situ, bahwa ternyata mereka harus saling mengenal, harus saling mengetahui karakter masing-masing pasangan, kemudian apa yang harus dipersiapkan untuk bisa berjalan bersama-sama di dalam pernikahan," imbuhnya.

Menurut anggota Tim Pakar Bina Keluarga Sakinah Kementerian Agama, Alissa Wahid, salah satu faktor penyebab utama perceraian adalah terjadinya konflik yang berkepanjangan.

"Karena itu, ini yang harus dibereskan. Dalam pembekalan (diajarkan) bagaimana supaya bisa `berkonflik` dengan baik dan benar. Gampangnya begitu," kata Alissa usai menghadiri audiensi soal sertifikasi pranikah di kantor Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Selasa (19/11).

Hingga kini, Kemenko PMK - selaku penggagas program - bersama sejumlah pihak terkait, termasuk Alissa yang mewakili Kemenag, masih meramu modul dan formula yang tepat untuk menerapkan program konseling pranikah tersebut.

Sebelumnya, rencana penerapan program sertifikasi pranikah dikemukakan Menko PMK, Muhadjir Effendy, dengan mengatakan bahwa program itu bersifat wajib dan menjadi syarat menikah. Gagasan tersebut mengesankan bahwa apabila calon mempelai gagal memenuhi prasyarat itu, maka yang bersangkutan tidak diperbolehkan melangsungkan pernikahan.

Namun belakangan, gagasan itu dibantah sejumlah pihak, termasuk Wakil Presiden Ma`ruf Amin.

Sementara Alissa Wahid, yang saat diwawancara juga didampingi pejabat Kemenko PMK, memastikan bahwa sertifikasi pranikah tidak bersifat wajib, meski didorong agar diikuti oleh semua calon pengantin.

"Ini yang masih harus dibicarakan lebih lanjut, bagaimana caranya agar pembekalan ini memang bisa - dalam tanda kutip - membuat semua calon pengantin ini mau mengikuti. Tapi kalau (sebagai) syarat utama (menikah), tidak."

`Kembali ke individu masing-masing`

Sesi konseling pranikah pernah dijalani Maria Erna, warga Tangerang, sebelum menikah pada tahun 2017.

"Intinya tuh kayak dikasih persiapan sebelum berumah tangga," imbuhnya melalui sambungan telepon.

Bukan hanya satu, Erna mengikuti dua konseling pernikahan, karena dirinya - yang beragama Kristen - menikah dengan sang kekasih yang memeluk Katolik.

"Kurang lebih sama," ujarnya, yang kemudian menyebut tema keuangan, kesehatan reproduksi dan cara membina keluarga dari kacamata agama sebagai topik-topik yang dipelajarinya.

Baginya, kedua sesi konseling tersebut cukup memberi gambaran sekaligus wawasan tentang apa yang ia dan suaminya perlu antisipasi saat mengarungi bahtera rumah tangga.

"Yang saya tangkap itu, sebetulnya tujuannya itu buat mengurangi--bukan perceraian sih , di kita memang nggak boleh bercerai. Justru karena kita nggak boleh bercerai, jadi kita tuh kayak dibekali, ibaratnya, gini loh kalau menikah," tutur Erna.

Saat ditanya, apakah wawasan yang didapatnya melalui sesi konseling itu bermanfaat ketika ia dan suami berselisih di kehidupan mereka sekarang, Erna menjawab: "Ada kali ya sedikit `oh ya, waktu konseling kayak gitu`, cuma lama-lama sih pada akhirnya ya balik ke diri masing-masing".

Menurutnya, apa yang diajarkan untuk menghadapi permasalahan rumah tangga saat konseling tidak selalu relevan dengan kenyataan.

"Ternyata pas kenyataan juga nggak se- smooth (semulus, red.) itu, nggak se- smooth yang di konseling bilang, jadi tetap kesadaran sendiri juga," ungkapnya.

Penuturan Erna senada dengan pendapat psikolog keluarga, Monica Sulistyawati, yang menilai bahwa penyelesaian konflik rumah tangga selalu kembali ke individu pasangan masing-masing.

Meski demikian, Monica tetap menganggap sesi konseling pranikah perlu dilakukan para pasangan calon pengantin sebelum melangsungkan pernikahan.

"Menikah itu bukan sekadar status hukum, bukan sekadar menjalankan kewajiban beragama, tetapi bahwa menikah itu memang mengemban tanggung jawab yang lebih penting untuk kelangsungan kehidupan berikutnya, termasuk kehidupan anak-anaknya kelak," jelas Monica.

Untuk atasi stunting

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA), pada tahun 2017, dari 364.164 kasus perceraian yang terdaftar, 152.575 kasus di antaranya disebabkan "perselisihan dan pertengkaran terus menerus".

Di posisi kedua, faktor ekonomi menyebabkan perpisahan pada angka 105.266 kasus. Sedangkan pada posisi ketiga yaitu faktor "meninggalkan salah satu pihak".

Untuk mengatasi masalah tersebut, Kemenko PMK akan menggaet pihak-pihak terkait, termasuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

"Pak Menko punya gagasan supaya BKKBN jadi leading sector -nya," kata Deputi IV bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kemenko PMK, Agus Sartono, Selasa (19/11).

"Dia (BKKBN) harus merencanakan keluarga, tidak hanya merencanakan berapa anaknya, tetapi merencanakan supaya keluarganya sakinah , mawaddah , warohmah ," tuturnya.

Sementara itu, selain untuk menekan angka perceraian, program sertifikasi pranikah juga digagas untuk mengentaskan masalah stunting yang kini menjadi perhatian pemerintah.

Stunting sendiri adalah kondisi di mana pertumbuhan anak terhambat sehingga perawakannya tidak sesuai dengan kurva pertumbuhan standar berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Pemerintah berharap, dengan menurunnya angka perceraian dan jumlah stunting , maka akan tercipta generasi dengan sumber daya manusia yang unggul.

"Kan sekarang ini semboyannya SDM unggul, Indonesia maju," kata anggota Tim Pakar Bina Keluarga Sakinah Kemenag, Alissa Wahid.

"Bagaimana kita mau unggul kalau banyak pasangan yang sekarang ini menikah, terus nggak tahan banting, nggak kuat, nggak bisa mengelola, terus mereka cerai?" katanya.