Kasus Larangan Ibadah Natal di Dharmasraya, Menteri Agama Diminta Adil

Umat Kristiani di Kabupaten Dharmasraya merayakan Natal 2019.
Sumber :
  • VIVAnews/ Andri Mardiansyah (Padang)

VIVA - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Willem Wandik, menyikapi persoalan pelarangan ibadah Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Willem jugas merespons pernyataan Kementerian Agama yang mengatakan adanya kesepakatan bersama untuk tidak melaksanakan ibadah Natal di luar rumah ibadah resmi.

Menurut Wandik, Kementerian Agama itu sebutan nomenklatur lembaga/kementerian, yang mengurus urusan semua agama. Nomenklatur Kementerian Agama tidak menyebut secara "eksklusif" urusan Kemenag bagi "mono" agama, tetapi urusan Kemenag terhadap "poli" agama.

"Menteri Agama seharusnya bersikap adil, dengan memberikan ruang kebebasan melaksanakan ibadah kepada setiap umat beragama, di manapun mereka berada di Indonesia, tanpa perlakuan diskriminasi," kata Wandik melalui siaran persnya, Rabu, 25 Desember 2019.

Wandik menegaskan bahwa urusan ibadah merupakan wilayah keyakinan, termasuk Perayaan Ibadah Natal, yang dapat digolongkan sebagai urusan 'believe system', dalam keyakinan ajaran Injil/Alkitab. Dia pun mempertanyakan sikap menteri agama yang seakan-akan membenarkan terjadinya pelarangan ibadah Natal karena adanya konsensus/kesepakatan bersama di tengah masyarakat dan pemerintah setempat.

"Apakah keyakinan agama Kristen dalam menjalankan ibadah Natal, dalam pelaksanaannya dapat dikonsensuskan dengan pemeluk agama lain? Tentunya jawabannya tidak mungkin," katanya.

Alasannya, lanjut dia, keyakinan tentang ibadah Natal merupakan "doktrin agama" yang menjadi wilayah keyakinan umat Kristen/Katolik di manapun mereka berada. Sama halnya dengan agama lainnya seperti Islam, Hindu, dan Budha.

"Apakah dalam pelaksanaan ibadah hari besar agama masing-masing agama tersebut, harus meminta izin atau harus ada kesepakatan dari umat Kristen?" tegas Wandik.

Wandik yang juga anggota DPR dari Dapil Papua ini khawatir, bahwa istilah "kesepakatan/konsensus" ini dibuat, dan dilegitimasi oleh Kemenag, hanya untuk sekedar memberikan justifikasi terhadap "masalah besar yang dialami oleh umat Kristen Sumatera Barat", yang mengalami diskriminasi terkait pelaksanaan Ibadah Natal di daerahnya masing masing.

Sebagai kementerian yang mengurus urusan semua agama, dia menilai seharusnya, Menteri Agama, tidak boleh sekedar menjadi juru bicara bagi satu golongan mayoritas di Sumatera Barat, dengan menyebutkan "ini hasil kesepakatan". Tetapi, lupa dengan kewajiban Kemenag yang harus melindungi setiap praktek ibadah dan keyakinan setiap umat beragama di Indonesia.

"Bagi kami, "kesepakatan" itu hanya berarti alasan pembenaran yang seharusnya tidak boleh terjadi di negara Pancasila," kata Wandik.

Sementara itu, Sekretaris Umum DPP GAMKI, Sahat Martin Philip Sinurat, juga menyayangkan pernyataan Kementerian Agama yang terkesan membenarkan tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat setempat di Sumatera Barat.

Selain itu, dia juga menyayangkan pernyataan Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Asep Adi Saputra, yang mengatakan sudah ada perjanjian dengan masyarakat setempat dan Pemkab tentang pelaksanakan ibadah Natal. Yaitu masyarakat dipersilakan melaksanakan ibadah Natal seperti biasa di tempat ibadah resmi dan juga di rumah secara pribadi.

Menurut Sahat, salah satu yang menjadi biang persoalan beribadah adalah tata cara pendirian rumah ibadat yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Dia menilai Peraturan Bersama Menteri (PBM) tidak dijalankan dengan benar.

Seharusnya, kata dia, sesuai dengan isi PBM ini, bagi rumah ibadah yang tidak memenuhi persyaratan, pemerintah daerah wajib fasilitasi rumah ibadah. Bukannya justru meminta umat agama bersangkutan beribadah di Kabupaten lain. Namun, Sahat juga mengajak segenap masyarakat Indonesia, khususnya umat Kristen untuk tidak terprovokasi dengan persoalan di Sumatera Barat dan tetap melaksanakan ibadah Natal dengan khusyuk.