BPPT Modifikasi Cuaca, Antisipasi Hujan Ekstrem Tengah Januari 2020

Sejumlah kapal berlabuh di kawasan pelabuhan rakyat Sungai Siak ketika awan hitam menyelimuti langit di Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (02/01). - Antara Foto/Rony Muharrman
Sumber :
  • bbc

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan hujan ekstrem berpotensi akan kembali melanda Indonesia dari Minggu, 5 Januari 2020, hingga Rabu, 15 Januari 2020. Pemerintah pun mulai memodifikasi cuaca dengan cara menyebar garam untuk memecah awan dan mengimbau masyarakat waspada.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan prakiraan cuaca ekstrem dipicu oleh fenomena madden julian eselasion , yaitu pergerakan aliran udara basah dari timur Afrika ke Samudera Hindia lalu melewati Indonesia dan berakhir di Samudera Pasifik.

"Tanggal 5 hingga 10 (Januari 2020) masuk lewat Sumatera Barat, pantai barat, lalu ke Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Jawa, termasuk Jabodetabek, Jawa Barat hingga Jawa Timur. Dampaknya terjadi hujan dengan intensitas tinggi atau lebat bahkan bisa ekstrim," kata Dwikorita di Gedung II BPPT, Jakarta, Jumat (03/01).

Kemudian, kata Dwikorita, pada 11 Januari 2020 pergerakan udara akan berarak-arakan menuju wilayah timur seperti Kalimantan hingga tiba di Sulawesi pada 15 Januari dan berakhir di Samudera Pasifik.

"Ini prakiraan BMKG, mohon diperhatikan oleh masyarakat. Hujan akan meningkat menjelang malam hari sampai dini hari," tegas Dwikorita.

Menurut Dwikorita, prakiraan cuaca ini berbeda dengan hujan lebat yang mengguyur Jakarta pada 1 Januari 2020 lalu.

Dwikorita mengatakan hujan lebat pada saat perayaan tahun baru lalu disebabkan oleh gejala cold surge atau seruak atau terobosan udara dingin yang masuk lewat Laut China Selatan akibat pengaruh dari perbedaan tekanan udara di China, Tibet, dan Hong Kong.

Sebar berton-ton garam pecah awan

Guna mengantisipasi prakiraan BMKG tersebut, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerja sama dengan Tentara Nasional Angkatan Udara (TNI AU) akan melakukan operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) dengan menyemai garam ke awan-awan yang menuju wilayah Jabodetabek dan sekitarnya.

"Misalkan ada kedatangan awan banyak dari sebelah barat Sumatera, kita mencegat awan itu di Selat Sunda dan laut Jawa, kita semai dengan garam, NHCL. Kita harap ada hujan di Selat Sunda sehingga jatuh di laut, dengan demikian hujan di Jabodetabek akan berkurang curahnya," kata Kepala BPPT, Hammam Riza.

Dari pagi hingga siang pada Jumat, 3 Januari 2020, telah dilakukan tiga kali penyemaian dengan menggunakan dua pesawat TNI AU, yaitu pesawat angkut CN 295 yang mampu mengangkut 2,4 ton garam sekali terbang dan pesawat Cassa 212 dengan kapasitas 800 kilogram garam.

Menurut Hammam, jika garam itu semai bisa menghasilkan sekian juta kubik air hujan yang turun sebelum tiba di Jabotabek dan sekitarnya.

Wakil Asisten Operasi Panglima TNI Marsekal Pertama TNI Jorry Soleman Koloay mengatakan TNI AU siap mengerahkan pesawat-pesawat yang dibutuhkan untuk menyukseskan operasi ini.

"Seberapa mau dibutuhkan pesawat, kita siap. Kita juga siap mendukung groun crews, air crews, rute-rute penerbangan, koordinasi dengan air traffic control, kohanudnas," kata Jorry.

Teknologi modifikasi cuaca juga telah digunakan oleh Indonesia untuk mengurangi kebakaran hutan dan lahan yang melanda Indonesia pada musim kemarau lalu.

Menurut Kepala BNPB Doni Monardo, modifikasi cuaca pada periode Agustus hingga November lalu, dikerahkan tiga pesawat TNI AU untuk menciptakan hujan di titik-titik panas.

"Kita merasakan sekali manfaat dari modifikasi cuaca dimana kebakaran bisa kita kurangi, walaupun tidak bisa tuntas 100 persen tapi beberapa daerah di wilayah Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng dan Kalsel bisa berkurang, bisa dibayangkan jika tidak dapat bantuan TMC," katanya.

Bagaimana cara menyemai awan?

Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT, Tri Handoko Seto, mengatakan teknologi modifikasi cuaca bertujuan untuk menambah ataupun mengurangi curah hujan dengan cara menyemai garam ke awan.

"Menurut prediksi hujan berapa, dan realitanya hujan berapa. Itulah jumlah pengurangan curah hujan yang bisa kita lakukan. Tapi pengalaman selama ini 30-40 persen, selalu angkanya diangka itu," katanya.

Seto melanjutkan, metode ini tidak memiliki dampak negatif kepada lingkungan dan kualitas air.

"Sudah kita uji bahwa semua hasil air hujan (disemai) tidak ada perubahan signifikan. Kalau awalnya golongan A setelah kita semai tetap golongan A. Tidak ada perubahan kualitas," katanya.

Cara menyemai awan, kata Seno, dilakukan menggunakan pesawat angkut yang membawa berton-ton garam. Kemudian, pesawat tersebut memasukan garam tersebut kedalam inti awan.

"Bagaimana caranya garam ini masuk dalam awan, bisa menyerempet pinggirnya, bisa masuk ke tengah jika tidak berbahaya. Kalau sangat berbahaya bisa dari samping dan dibantu angin dia bisa masuk," katanya.

Cara menyemai awan dengan tujuan mengurangi curah hujan yang dipraktekan BPPT, kata Seto, baru pertama kali dilakukan di dunia.

"Iya (pertama kali di dunia). Teknologi modifikasi cuaca dimana-mana sudah ada tapi pengurangan curah hujan, yang melaksanakan kita saja," katanya.

Langkah modifikasi yang `telat sekali`

Akan tetapi, ahli cuaca dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Armi Susandi, menilai upaya modifikasi cuaca yang dilakukan pemerintah saat ini telat dan tidak efektif.

"Iya, telat sekali, dan saya kira ini tidak pada waktunya. Apakah (TMC) baik? Iya baik sekali. Tapi apakah sesuai dengan yang diharapkan mengatasi banjir? Saya kira tidak, karena kalau dibiarkan saja tanpa TMC perkiraan kami tidak akan banjir," kata Armi.

Berdasarkan perhitungan dan perkiraannya, lanjut Armi, kini tidak ada lagi awan hujan yang bisa membuat Jakarta dan sekitarnya banjir, setidaknya dalam waktu satu minggu ke depan.

Armi melanjutkan, kini sudah tidak ada lagi u tumpukan massa udara dalam jumlah banyak yang dapat menyebabkan hujan di wilayah Jabodetabek.

"Saat ini justru massa udara sudah bergeser jauh ke wilayah timur Indonesia, seperti Papua. Jadi potensi-potensi banjir berikutnya yang akan terjadi itu di Papua, Papua Barat, Sulawesi, Maluku," katanya.

Armi mendukung upaya TMC jika di masa depan terdapat tumpukan massa udara yang berpotensi menyebabkan banjir besar. Menurutnya, TMC tidak menimbulkan efek samping atau negatif.

"Saya kira tidak ada minusnya, perbandingan (garam) sangat kecil sekali dan hanya seperti debu di lautan di padang pasir, tidak ada arti apa-apa," katanya.

Armi memberikan beberapa masukan guna meningkatkan efektivitas pelaksanaan TMC, yaitu memaksimalkan waktu pengisian garam ke pesawat agar kurang dari dua jam karena dinamika atmosfir sangat cepat mengalami perubahan.

"Dan mengerahkan dua pesawat minimal saat menyemai awan karena terbang satu-satu saya kira tidak efektif karena luas Jakarta, apalagi jabodetabek kan, saya kira setidaknya minimum dua atau tiga sekaligus terbang."

Hingga siang tadi, telah dilakukan tiga kali penyemaian. BNPB telah mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan proses TMC selama satu bulan. Operasi TMC ini diharapkan akan mengurangi intensitas hujan di wilayah Jabodetabek hingga 40%.