Wacana Legalisasi Ganja Dikaitkan dengan Pengentasan Kemiskinan

Darwin sudah berhenti menjadi petani ganja sejak kawan-kawannya berurusan dengan penegak hukum. - Hidayatullah
Sumber :
  • bbc

Legalisasi tanaman ganja untuk kepentingan medis seperti diusulkan oleh anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS dari Aceh, Rafli layak dipertimbangkan karena dapat berkontribusi mengangkat ekonomi masyarakat. Setidaknya itulah pendapat mantan petani ganja, kelompok proganja dan peneliti di Aceh.

Pendapat itu mereka sampaikan setelah muncul kontroversi wacana melegalkan ekspor ganja, sebagaimana diusulkan oleh Rafli dalam rapat bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di DPR pada Kamis (30/01), meskipun ia akhirnya ditegur oleh partainya.

Belakangan Rafli memberikan klarifikasi melalui pernyataan tertulis bahwa yang ia maksud legalisasi ganja Aceh untuk komoditi ekspor sebagai bahan kebutuhan medis dan turunannya, bukan untuk penyalahgunaan dan bebas dipergunakan.

Terlepas dari sekedar wacana yang kemudian ditentang tersebut, seorang mantan petani ganja dan peneliti di Aceh meyakini legalisasi ganja dapat mengangkat ekonomi masyarakat.

"Jika memang pemerintah melegalkan ganja, saya akan tanam kembali, tapi cukup sekali untuk modal usaha," kata Darwin yang dahulu pernah menanam ganja selama lima tahun.

Namun suara penolakan di Aceh juga bermunculan.

"Kalau kami dari Badan Nasional Narkotika Provinsi (BNNP) Aceh tetap menolak pelegalan ganja, karena undang-undang melarang hal tersebut. Masih banyak potensi Aceh yang lain dapat mendongkrak ekonomi masyarakat," kata Plt Kepala BNNP Aceh, Amanto.

Menurutnya, permintaan orang-orang untuk melegalkan ganja mungkin karena belum ada keluarganya yang terkena dari dampak bahaya penggunaan narkoba.

Sementara itu, ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Faisal Ali, mengatakan dalam agama ganja itu tidak haram, tapi tergantung pada penggunaannya.

"Ide soal pelegalan ganja itu kembali kepada pemerintah, tapi dalam agama kalau untuk obat-obatan dan kesehatan, ganja itu mubah (boleh), tapi ganja itu haram dalam fatwa MPU Aceh karena digunakan untuk mabuk-mabukan," jelasnya.

Lebih lanjut Faisal menambahkan bahwa sekarang ini banyak penggunaan ganja di masyarakat tidak teratur dan digunakan secara sembarangan dan berlebihan, seperti dalam makanan.

Tanaman ganja sebagai pagar tembakau

Dahulu ketika masih bersekolah di tingkat menengah pertama, Darwin yang kini berusia 62 tahun, sejatinya merupakan seorang petani tembakau. Namun ia juga menanam ganja yang fungsi utamanya sebagai pagar dan pencegah hama pada tanamannya.

"Saat itu ganja tidak bernilai, selesai panen tembakau, ya ganja kita potong begitu saja, tidak digunakan untuk mabuk-mabukan," jelas Darwin, kepada Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Sabtu (01/02).

Darwin mengisahkan, baru pada tahun 1974 tanaman ganja mulai bernilai, harganya sekitar Rp150.000 per kilogram, yang dibeli oleh seseorang yang datang dari Jakarta.

"Pembeli datang membawa surat izin membeli ganja, yang digunakan untuk kebutuhan medis.

"Pertama kali ia membeli sebanyak 100 sampai 300 kg, sayangnya ia hanya datang dua kali dalam setahun," kisah Darwin, mantan petani ganja.

Berangkat dari latar belakang petani tembakau, di usia 17 tahun pada tahun 1975 itu, ia bersama dengan tiga sahabatnya mulai menanam ganja secara luas di lereng Gunung Seulawah, Aceh Besar.

"Saya masuk SMA dan pulang kampung, saya lihat banyak pencurian di kampung, saya pikir ini banyak pengangguran, makanya saya ajak mereka untuk menanam ganja," Darwin.

Saat itu, Darwin bersama dengan temannya menanam ganja seluas satu hektare dengan kurun waktu panen tujuh bulan sekali. Alhasil pencurian di kampungnya mulai berkurang, dari situ ia meyakini bahwa tanaman ganja dapat mengurangi pengangguran dan kejahatan kriminal.

"Tapi memasang dasar kita Aceh, gampang masuk uang, gampang keluarnya, keadaan kampung aman pencurian hanya bertahan sementara, kemudian terulang kembali," jelas Darwin sembari membungkus tembakau rokok dengan daun nipah.

Dari kejadian tersebut, Darwin mulai berhenti menanam ganja, sebab sejak tahun 1980 banyak temannya yang mulai berurusan dengan pihak kepolisian, baik mereka yang menggunakan ganja untuk mabuk-mabukan maupun menanamnya.

"Makanya kalau pemerintah mengizinkan menanam ganja, itu cukup sekali saja, untuk modal, karena kalau untuk selamanya saya rasa tidak mungkin mensejahterakan masyarakat," tutup Darwin.

Manfaat ekonomi dan kesehatan ganja

Sebagai wilayah yang subur bak tongkat batu jadi tanaman, Provinsi Aceh memiliki berbagai kekayaan alam, seperti gas alam, minyak bumi, emas, kopi, kayu, kakao dan lainnya.

Namun data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menyebutkan Aceh masih menjadi provinsi termiskin se-Sumatera, dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 15,86 % dari jumlah penduduk 5,3 juta jiwa.

"Ganja bisa mengentaskan kemiskinan kalau masyarakat ikut menanam, bukan menjadi budak-budak pertanian," kata Dhira Narayana, ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), kelompok yang gencar mengkampanyekan legalisasi ganja untuk kesehatan.

Dhira Narayana mengatakan pihaknya akan melakukan peninjauan ke Mahkamah Konstitusi, kenapa ganja menjadi narkotika golongan 1.

"Selama ganja masih menjadi narkotika golongan 1, maka kita tidak bisa melakukan apa pun. Jangankan untuk obat, untuk diteliti saja tidak diperbolehkan," kata Dhira Narayan.

Menurut Dhira, ada sekitar lima juta jiwa penduduk Indonesia yang mengalami diabetes yang mungkin dapat diobati oleh akar ganja.Hal senada juga dikatakan oleh peneliti ganja dari Universitas Syiah Kuala, Prof. Musri Musman.

Dikatakannya, tanaman ganja bermanfaat dari akar sampai pada bunganya yang secara keseluruhan mengandung 1.262 senyawa kimia yang bermanfaat untuk kesehatan manusia.

"Hanya satu senyawa yang bermasalah dan disoroti undang-undang, yaitu tetrahydrocannabinol (THC), padahal selebihnya bisa digunakan dan bernilai ekonomis," kata Prof. Musri Musman.

Prof. Musri menjelaskan pengentasan kemiskinan melalui ganja dapat dilakukan dengan cara masyarakat ikut menanam ganja dengan syarat tak ada monopoli serta ganja yang di ekspor ialah hasil akhir dan bukan barang mentah.

Wacana legalisasi ganja

Anggota DPR RI dari Dapil 1 Aceh, Rafli, mengusulkan budidaya dan pemanfaatan ganja Aceh sebagai bahan baku kebutuhan medis berkualitas ekspor, saat rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan di Jakarta.

Dalam pesan tertulis kepada wartawan di Aceh, Hidayatullah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rafli menegaskan gagasannya untuk melegalkan ganja Aceh itu semata sebagai komoditas ekspor sebagai bahan kebutuhan medis dan turunannya.

"Secara hukum agama, tumbuhan ganja pada dasarnya tidak haram yang haram adalah penyalahgunaannya," tulis Rafli.

Ia menawarkan beberapa konsep legalisasi ganja Aceh, seperti penetapan zonanisasi proyek perintis industri ganja Aceh untuk kebutuhan medis. Ini dapat dilakukan di kawasan khusus yang selama ini ganja bisa tumbuh subur.

Peneliti ganja, Profesor Musri Musman, juga memaparkan pentingnya penurunan status ganja dari narkotika golongan satu menjadi narkotika golongan tiga agar dapat dilakukan penelitian dan pengobatan dari ganja.

"Dengan penurunan status narkotika, kita dapat melakukan penelitian dan pengobatan. Selama ini saya hanya meneliti ganja dari jurnal-jurnal dengan membaca, saya masih belum bisa bersentuhan lansung, karena statusnya itu," jelas Musri.

Menurut Musri, di negara yang melegalkan ganja, minyak dari hasil penyulingan ganja dijual seharga US$60 per atau Rp825.000 10 mili liter minyak ganja.

"Di negara maju, ganja dapat digunakan untuk kesehatan, makanan, pakaian, bahan bangunan, kosmetik, minyak, dan kertas, semuanya bisa dipenuhi oleh ganja. Sebab dari akar sampai bunganya bisa digunakan," tambahnya.

Rafli melanjutkan, di Indonesia ganja terbentur UU no 35 tahun 2009 pasal 8 ayat 1 tentang Narkotika Golongan 1 tidak boleh digunakan untuk kebutuhan medis.

Namun, lanjutnya, jika pemerintah serius mau mengelola ganja dengan bijak, maka langkah berikutnya adalah menggandeng DPR untuk merevisi UU guna menutup celah penyalahgunaan.

Di sejumlah negara maju, pelegalan ganja diperbolehkan untuk kebutuhan medis dan berbagai kebutuhan industri lainnya.

Namun penyalahgunaan untuk peredaran ilegal di pasar gelap terancam akan ditindak tegas, di antaranya dengan hukuman mati.