Pelaku Konservasi Tolak Investor 'Asing' di Taman Nasional Komodo

Ribuan pelaku pariwisata demo terkait konflik bisnis di Taman Nasional Komodo
Sumber :
  • Jo Kenaru/Manggarai Barat, NTT

VIVA – Seribuan orang yang terdiri dari pelaku konservasi dan pariwisata Labuan Bajo menggelar demonstrasi terkait konflik bisnis di zona konservasi Taman Nasional Komodo. Mereka terdiri dari berbagai asosiasi seperti ASITA, ASKAWI, HPI, FORMAPP, P3KOM, DOCK, GAHAWISRI, Garda Pemuda Komodo dan Sunspirit For Justice and Peace.

Dalam orasi, pengunjuk rasa mempersoalkan keberadaan perusahaan yang telah mengantongi izin usaha di lokasi taman nasional komodo untuk berinvestasi. Aksi ini merupakan efek dari penerapan Peraturan Menteri KLHK tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat, dan Taman Wisata Alam.

"Dampaknya mengganggu keseimbangan ekologis di kawasan BTNK (Balai Taman Nasional Komodo) yang akan mengancam keberadaan, keberlansungan hidup satwa Komodo. Hadirnya unsur-unsur asing dalam kawasan BTNK akan merusak tatanan ekosistem di kawasan itu," kata Ketua DPRD Manggarai Barat, Edi Endi kepada VIVAnews, Rabu Malam, 12 Februari 2020.

Menurutnya, kehadiran investor di kawasan BTNK bertentangan dengan konsep wisata yang berbasis kearifan lokal. "Masyarakat lokal terutama yang berada di Zona Inti Kawasan Nasional Komodo akan menjadi sangat eksklusif dan terpinggirkan karena monopoli investasi dari investor besar yang menyebabkan usaha masyarakat menjadi tidak bersaing," paparnya.

Lebih lanjut, Edi mengatakan, investasi di dalam zona konservasi mengganggu Usaha Masyarakat Kecil Menengah (UMKM). UMKM disebut menjadi tidak bergerak karena persaingan tidak sehat dari pelaku bisnis pariwisata.

Untuk diketahui, perusahaan yang membangun fasilitas usaha pariwisata di zona inti BTNK yaitu PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE). Perusahaan ini berinvestasi melalui Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IUPSWA) di atas lahan seluas 151,94 hektare di Pulau Komodo dan 274,14 hektare di Pulau Padar. 

Perusahaan itu telah mengantongi izin dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada September 2014. Pada tahun 2018, perusahaan tersebut pernah membangun resort di Pulau Rinca yang merupakan Zona Inti Kawasan TNK, yang kemudian dipersoalkan oleh Masyarakat Manggarai Barat. 

Kemudian yang on procces, Pemerintah berencana mengelola Pulau Muang dan mungkin juga Pulau Bero yang terletak antara Pulau Rinca dan Golo Mori. Lokasi itu akan dijadikan sebagai area investasi untuk mendukung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tana Mori seluas 300 hektare. Dua pulau itu masing-masing adalah zona rimba dan zona inti TNK. 
 
Terkait tuntutan pendemo, DPRD Mabar pun mengeluarkan sikap lembaga dalam bentuk rekomendasi meminta kepada Pemerintah untuk menjelaskan dan meninjau kembali Penerapan Peraturan Menteri KLHK Nomor P.8/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/3/2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat, dan Taman Wisata Alam itu. 

"Pemerintahan Kabupaten Manggarai Barat, Para Pelaku Pariwisata, Tokoh Masyarakat untuk secara bersama-sama melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat dan DPR RI untuk memperjuangkan merevisi/mencabut Peraturan Menteri KLHK Nomor P.8/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/3/2019," terang Edi.

DPRD, lanjut dia, mendorong Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk menolak seluruh pembangunan perhotelan dan usaha komersial lainnya pada Zona Inti Kawasan Taman Nasional Komodo.


Laporan Jo Kenaru/ Manggarai Barat- NTT