Dana Otonomi Khusus akan Berakhir, Bagaimana Masa Depan Papua?

Gubernur Papua Lukas Enembe (berkacamata) menemui anak-anak di Kabupaten Lanny Jaya.
Sumber :
  • abc

Bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan segera mengevaluasi penyaluran dana Otonomi Khusus (otsus) Papua karena ekonomi yang tidak bertumbuh. Apakah dana Otsus salah sasaran? Perlukah status Otonomi Khsusus ditinjau ulang? Adakah cara lain yang lebih tepat untuk menyelesaikan masalah di Papua?

Dana Otsus: 

  • Dana otsus Papua berakhir Desember 2021 dan Pemerintah RI akan mengevaluasi kelanjutannya
  • Sejumlah pengamat mengkritik pembangunan di Papua tidak libatkan warga lokal
  • Pelanggaran HAM di Papua bukan hanya soal kekerasan, tapi akses pendidikan dan kesehatan

Dana otsus untuk Papua sudah digelontorkan oleh pemerintah pusat di Jakarta sejak tahun 2002, dengan tujuan untuk membangun ekonomi Papua.

Secara keseluruhan, pemerintah tercatat telah menyalurkan tak kurang dari 7,4 milyar dolar atau sekitar Rp 105 triliun rupiah ke Papua sampai tahun 2020 ini.

Namun kucuran dana dari pemerintah tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Papua.

Data terakhir dari Badan Pusat Statistik Nasional menunjukkan pertumbuhan ekonomi Papua di kwartal terakhir tahun 2019 terkontraksi -15.72%, atau dengan kata lain: ekonomi Papua tidak bertumbuh.

Pertumbuhan produk domestik regional bruto Papua juga terjun bebas dari 7.37% di akhir tahun 2018 ke -13.63% pada kwartal pertama 2019.

Padahal, dalam lima tahun terakhir, pemerintah pusat telah mendorong pembangunan wilayah timur Indonesia, salah satunya melalui pembangunan infrastruktur di Papua, dengan maksud mendorong pemerataan ekonomi di luar Jawa.

Berdasarkan angka-angka ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemudian memutuskan untuk mengevaluasi lagi dana otonomi khusus.

"Kita terus evaluasi, bersama Kemendagri evaluasi terutama paling dekat adalah Otsus Papua. Kita lihat jumlah efektivitas mekanisme semua evaluasi," kata Sri Mulyani di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2020).

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah selesaikan jembatan Holtekamp di Teluk Youtefa, Jayapura, akhir Oktober 2019.

Foto: Kementerian PUPR

Dana otsus Papua akan berakhir pada Desember 2021. Evaluasi dana Otsus yang akan dilakukan Menkeu dan Mendagri akan menentukan besaran dan kelangsungan dana otsus untuk Papua setelah 2021.

"Saat ini keputusan tidak atau belum ada, karena belum dibahas di kabinet. Tapi evaluasi dilakukan di Kementerian Keuangan gunakan seluruh jalur kita sampai ke Dirjen Perbendaharaan di daerah kita koleksi data, evaluasi efektivtias," ujar Sri Mulyani.

Akhir tahun lalu, Gubernur Papua Lukas Enembe juga telah meminta agar implementasi Otsus di Papua, termasuk dana Otsus, dievaluasi karena belum sepenuhnya berpihak pada orang Papua.

"Kami sudah sampaikan semua kepada DPD soal apa yang dirasakan semua masyarakat Papua terhadap implementasi Otsus, setidaknya pusat bisa pahami itu," kata Gubernur Enembe seperti yang dilansir papuatoday.com akhir 2019.

Dana otsus dinilai "salah sasaran"

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan minusnya pertumbuhan yang terjadi di 2019 adalah karena pembangunan infrastruktur yang digenjot di Papua tidak bisa langsung dirasakan.

Ia mengatakan, perlu akselerasi yang memakan waktu agar dampaknya terasa bagi perekonomian di daerah.

"Infrastruktur kan ada waktunya juga, lagipula infrastruktur proyeknya belum selesai semua," ujar Airlangga Februari lalu.

Letjen (Purn) Bambang Darmono mengatakan pembangunan di Papua harus sesuai dengan kebutuhan orang Papua.

Supplied: Detik

Namun, Letjen Purnawirawan Bambang Darmono, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai, strategi yang diterapkan Presiden Joko Widodo terhadap Papua dalam hal penyaluran dana otsus telah "salah sasaran".

"Jangan kita membuat sesuatu yang di luar kebutuhan orang Papua. Contohnya ada Mall Jayapura. Bagi saya itu proyek yang bodoh," kata Bambang kepada Hellena Souisa dari ABC News.

"Pertanyaannya, apakah orang Papua sudah membutuhkan mall itu? Siapa yang datang ke mall itu? Ini membuat gap, seolah-olah ada kemajuan."

"Ngapain Pak Jokowi bicara mau buat tol delapan ribu kilometer? Untuk apa?" tambahnya.

Salah satu penyebab dana yang tidak tepat sasaran, menurut Bambang, adalah karena tidak ada badan yang didedikasikan untuk menangani Papua.

"Teman-teman di Papua perlu pendampingan. Dulu UP4B melakukannya, termasuk menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian pembangunan."

Namun Adriana Elisabeth, koordinator Papua Peace Network (PPN) sekaligus Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengingatkan bahwa dengan ekonomi Papua sebaiknya tidak diukur dengan ukuran yang sama dengan provinsi lain.

Karena karakternya yang berbeda, Adriana Elisabeth meminta pemerintah pusat tidak menggunakan ukuran yang sama seperti yang digunakan pada daerah lain untuk Papua.

Supplied: Adriana Elisabeth

"Kalau melihat Papua, kita harus sepakat dulu bahwa Papua ini bukan daerah "normal". Tidak bisa kemudian template di daerah yang normal dipakai juga di Papua," kata Adriana.

"Papua itu selalu dibayangkannya sama dengan daerah lain [di Indonesia]. Memang ada Undang-undang Otonomi Khusus, tapi realitanya implementasi otsus itu nggak berbeda sama sekali [dengan wilayah lain yang tidak berstatus otsus di Indonesia]."

Adriana mencontohkan, salah satu perlakuan sama yang dimaksud misalnya proposal dan mekanisme pencairan anggaran yang dipakai untuk Papua yang adalah template nasional untuk daerah lain.

Soal infrastruktur yang bertujuan membuka isolasi dan mendorong kegiatan ekonomi, Adriana mengkritik rencana pembangunannya yang tidak melibatkan orang Papua.

"Ketika saya tanya ke PUPR, apakah ketika membuat perencanaan untuk membangun infrastruktur [PUPR] bertanya pada masyarakat Papua mereka perlu apa sebenarnya, ternyata semua perencanaan datang dari pusat."

"Jadi template-nya masih pakai template nasional, tidak betul-betul berfokus pada bagaimana kondisi Papua yang memang daerah konflik, yang masih ada kontak senjata, yang relatif masih miskin, yang tidak punya akses kesehatan dan tidak punya akses pendidikan," ujarnya.

Elit lokal di Papua, menurut Adriana, juga mengeluhkan peran yang sebagian besar diambil pemerintah pusat.

"Kami tidak diberi otoritas secara penuh," tutur Adriana menirukan apa yang disampaikan kepadanya.

Belum dikelola dengan baik

Terlepas dari bagaimana pengelolaan dana papua, Adrina mengatakan tetap ada sejumlah kemajuan di Papua yang perlu diakui.

Ia mengambil contoh keadaan ekonomi warga Papua yang "sedikit terangkat" sejak presiden mengeluarkan kartu pintar dan sehat, meski tidak menunjukkan adanya kesinambungan.

Hal ini diakui oleh Victor Mambor, warga asal papua yang berprofesi sebagai wartawan selama 24 tahun terakhir di Papua.

Menurut Victor Mambor, salah satu yang diperlukan orang Papua dari Pemerintah Indonesia adalah kejujuran.

Supplied: Victor Mambor

"Sekarang memang sudah ada kartu Papua Sehat dan beberapa layanan lain yang dananya bersumber dari dana otsus, tapi belum dikelola dengan baik," kata Victor.

Victor menambahkan, pembangunan yang diinginkan orang Papua melampaui soal infrastruktur.

"Gedung sekolah memang banyak, tapi tidak ada gurunya. Akhirnya hanya jadi gedung-gedung yang kosong," kata Victor.

Peran Pemerintah Provinsi yang belum sepenuhnya otonom juga disampaikan Victor.

"Pemerintah sebaiknya juga diberi hak untuk mengelola sendiri pajak pendapatan daerah Papua," ujarnya.

Sementara itu penyebab lain pertumbuhan ekonomi yang minus menurut Victor sama dengan yang dialami wilayah lain di Indonesia, mulai dari kesalahan dalam mengelola dana sampai korupsi.

Januari 2020, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Papua juga telah menyampaikan laporan pemeriksaan efektivitas penggunaan Dana Otsus Papua oleh Pemerintah Provinsi Papua.

Hasilnya, BPK menilai pengelolaan Dana Otsus sejak 2002 dampai 2019 tidak efektif karena tidak memiliki ukuran keberhasilan yang jelas.

Bukan hanya soal dana Sebelumnya Kementerian PUPR pernah menawarkan pada pasar untuk berinvestasi pembangunan jalan Wamena - Paro senilai Rp 1,89 triliun.

Foto: Kementerian PUPR

Dalam kunjungannya ke Melbourne 8 November 2019, Menkopolhukam Mahfud MD mengemas kucuran dana ini dalam konsep "pendekatan budaya" untuk Papua.

Mahfud saat itu menyampaikan anggaran untuk Papua 15 kali lipat lebih besar dibandingkan untuk Jawa atau daerah lain di luar Papua.

Ia mengilustrasikan, besaran anggaran itu jika dibagikan ke rakyat perorangan di luar Papua hanya sebesar Rp1.2juta per kepala, sementara untuk orang Papua Rp17.5jt per kepala.

"Pemerintah sudah memberi kepada mereka. Coba, Anda mau apa? Ini uang. Sembilan puluh sembilan trilyun kamu pakai. Tetapi kan Pemerintah Daerahnya tidak bisa memanfaatkan itu dengan baik, rakyatnya enggak dapet.

"Kalau seumpama uang itu langsung dibagi ke rakyat, nggak usah pakai Pemda, beres itu Papua," kata Mahfud.

Pernyataan Mahfud ini dibantah keras Victor Mambor, sebagai warga asli Papua.

"Otsus ini bukan semata-mata soal uang, soal dana. Menurut saya berapapun besarnya dana yang diberikan ke Papua tidak sebanding dengan apa yang telah diambil dari Papua kalau dihitung dari tahun 1969."

Pemerintah Provinsi Papua, menurut Victor, juga belum memiliki kewenangan sendiri dalam mengelola pajak pendapatan daerah.

Victor menggarisbawahi tiga hal yang penting dan menjadi mandat otsus, yakni perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan.

"Pemberdayaannya memang sudah mulai kelihatan, misalnya melalui rekrutmen pegawai negeri, meskipun Papua juga bukan hanya perlu pegawai negeri,"

"Sementara itu perlindungan dan keberpihakan kepada orang Papua sampai sekarang belum kelihatan," katanya.

Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, kepada tirto.id tahun lalu juga sudah mengingatkan bahwa persoalan Papua dan Otsus tidak hanya sebatas uang.

Aksi rakyat Papua menuntut referendum berlangsung masif 2019 lalu dipicu oleh penyerangan dan penghinaan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Supplied: Antara

Menurutnya, ada mandat lain dari Undang-undang Otsus yang belum dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, misalnya agenda Hak Asasi Manusia.

"Laksanakan agenda HAM yang dimandatkan Undang-Undang Otsus. Misalnya, pembentukan Komisi HAM di Papua, KKR di Papua, dan pengadilan HAM di Papua," kata Usman.

Adriana mengingatkan, tidak semua tindak kekerasan di Papua itu sama dengan pelanggaran HAM. Ia juga mengatakan, persoalan HAM di Papua harus dilihat secara utuh dan dibicarakan.

"HAM itu bukan hanya soal hak sipil politik atau masalah keamanan. HAM itu menurut saya adalah suatu hal yang sangat dekat dengan kita setiap hari, seperti hak atas akses pendidikan dan kesehatan," kata Adriana.

"Hak itu harus dibicarakan, jangan dihindari. Kalau dihindari, ya begini terus situasinya. Kalau memulainya saja tidak pernah, bagaimana kita mau mencapai suatu titik yang sama?"

Menanggapi peran UP4B di masa lalu dan relevansi unit yang sama dalam konteks Indonesia saat ini, Adriana mengingatkan badan ini juga tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

"Ada amanat yang sangat besar yang diberikan kepada UP4B saat itu untuk membuka hal-hal yang belum pernah dikerjakan selama ini, contohnya soal HAM dan dialog."

"Itu yang sama sekali belum pernah dikerjakan oleh UP4B," tambah Adriana, yang juga diakui oleh Victor.

"Kalau UP4B menjalankan tugasnya dengan baik, tidak akan terjadi seperti sekarang," kata Victor.

Adriana menilai, sampai sekarang dinamika Otsus masih berakar dari masalah Papua sesuai penelitian LIPI tahun 2009 ini.

"Mau ada badan atau tidak ada badan apapun yang mengurus Papua, siapapun kepalanya, selama akar masalah ini tidak diselesaikan, maka situasi di Papua juga tidak akan berubah," katanya.

Akar Masalah di Papua 

Dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009 dalam dokumen yang dinamakan "Papua Road Map", berikut empat akar masalah Papua menurut LIPI:

1. Masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Orang-orang Papua belum merasa integrasi ke Indonesia dilakukan dengan benar, sehingga masih perlu dibicarakan.

2. Kekerasan dan pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua dari 1965 melalui operasi militer nyaris tak ada pertanggungjawaban dari negara.

3. Perasaan terdiskriminasi dan termajinalkan yang diakibatkan oleh penyingkiran orang-orang Papua dalam rumusan pembangunan di tanah mereka.

4. kegagalan pembangunan di Papua itu sendiri yang melingkupi bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.

Opsi referendum dan diplomasi di Pasifik

Salah satu hak dasar manusia yang diperjuangkan sebagian orang Papua melalui "United Liberation Movement for West Papua" (ULMWP) adalah hak untuk merdeka.

Pemimpin ULMWP Benny Wenda, dalam pidatonya di forum Melanesian Spearhead Group (MSG) yang beranggota negara-negara di Pasifik mengatakan, sebaiknya Pemerintah Indonsia belajar dari negara pasifik.

"Indonesia harus belajar dari contoh negara-negara Pasifik terdepan di dunia yang telah memberi orang hak untuk menentukan nasib sendiri," kata Benny.

Benny merujuk pada pemerintah Papua Nugini dan Kaledonia Baru yang telah menawarkan referendum kemerdekaan kepada masyarakat Bougainville dan Kanaki.

"Indonesia harus mengikuti contoh-contoh demokratis ini dengan membiarkan orang Papua menggunakan hak penuh kami untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan yang telah kami tolak pada tahun 1969," tambahnya.

Pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda (tengah) hadir dan menyampaikan pidato di forum pertemuan Menteri Luar Negeri dan Pejabat Senior Melanesian Spearhead Group (MSG), di Fiji, 10-12 Februari 2020.

Supplied: ULMWP

Diplomasi ULMWP di kancah internasional sepuluh tahun belakangan ini terjalin kuat melalui aliansi dengan negara-negara di Pasifik, di bawah ikatan ras melanesia yang sama.

Pada Januari 2019, Benny mengirimkan Petisi Rakyat yang berisi 1,8 Juta tanda tangan yang menuntut hak kemerdekaan, kepada Komisaris Tinggi PBB di Jenewa, disponsori oleh Pemerintah Vanuatu.

Langkah ULMWP ini dipandang Adriana dan Bambang sebagai tantangan bagi Pemerintah Indonesia.

"Satu suara [dukungan bagi kemerdekaan Papua] pun berharga, karena dua, tiga, dan empat suara, dimulai dengan satu suara," kata Bambang.

"Sepuluh tahun terakhir ini solidaritas negara-negara Pasifik memang menguat. Ini momentum untuk Pemerintah Indonesia juga agar tidak selalu defensif dalam diplomasi internasional," kata Adriana.

Adriana dan Bambang sepakat, sangat kecil kemungkinan referendum bagi kemerdekaan Papua terealisasi.

Apa yang diinginkan Papua?

Keterlibatan orang Papua dalam rancangan masa depan Papua, apapun bentuknya, adalah sebuah kemutlakan.

Solusi lain yang ditawarkan oleh Adriana Elisabeth adalah opsi dialog antara Pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua.

"Memang sulit, karena saat bicara dialog, Pemerintah Indonesia selalu berpikir bahwa ini adalah dialog soal referendum, begitu juga sebaliknya. Padahal Pak Jokowi sudah bilang, tidak akan mau dialog jika soal referendum."

Presiden RI Joko Widodo bertemu dengan tokoh masyarakat Papua di Jakarta pada September 2019, di tengah maraknya aksi demonstrasi yang menewaskan puluhan orang di Papua.

Supplied: Istimewa

Tetapi Adriana optimistis opsi dialog masih terbuka, karena tidak semua orang Papua juga menghendaki referendum.

"Mereka hanya ingin tidak ada lagi kekerasan di tanah Papua. Dan dialog itu pendekatan di mana kedua pihak membicarakan hal-hal yang selama ini belum selesai itu tadi," kata Adriana.

Adriana menegaskan, dialog itu harus menjadi pendekatan berdasarkan keputusan politik, bahwa ini adalah cara menyelesaikan segala sesuatunya.

"Kalau ada perbedaan antara kedua pihak, ini jalannya: dialog. Bukan menyelesaikan dengan senjata."

Sementara menurut Victor, sebenarnya ada dua hal yang diinginkan orang Papua.

Pertama, menyangkut pembangunan, menurut Victor yang diinginkan orang Papua adalah akses pendidikan dan kesehatan.

Sementara yang kedua, yang menyangkut relasi orang Papua dengan Pemerintah Indonesia, yang diinginkan orang Papua adalah kejujuran.

"Artinya soal sejarah dan pelanggaran HAM harus diakui oleh negara secara jujur. Kami juga ingin jawaban yang adil juga terhadap apa yang pernah dilakukan negara terhadap orang-orang asli Papua," ujarnya.

Victor menilai, jika negara mau jujur, mengakui dan meminta maaf kepada orang Papua, ini bisa mencairkan relasi antara orang Papua dan Pemerintah Indonesia sehingga pintu dialog juga bisa terbuka.