Kasus Maria Pauline Lumowa: Pemerintah Tekankan Penegakan Hukum

Buronan pelaku pembobolan Bank BNI Maria Pauline Lumowa (tengah) berjalan dengan kawalan polisi usai tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020).-ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Sumber :
  • bbc

Ekstradisi Maria Pauline Lumowa, buronan tersangka kasus pembobolan bank BNI senilai Rp 1,7 triliun disebut pemerintah sebagai bukti komiten penegakan hukum.

Baca juga: Dengan Topi Koboi, Yasonna Laoly Menyapa Buronan Maria Pauline Lumowa

Namun, pegiat antikorupsi menyebut hal itu sebagai langkah seremoni untuk menenangkan publik yang geram karena pemerintah tidak mampu menahan Djoko Tjandra.

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mengatakan hasil koordinasi transnasional untuk ekstradisi Maria ke Indonesia menjadi contoh keseriusan pemerintah.

Ketibaan Maria dari Serbia pada Kamis (09/07) ditandai dengan konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta dan dipimpin oleh Yasonna dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Sementara, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mempertanyakan komitmen pemerintah yang bisa menangkap koruptor yang telah menjadi buron selama 17 tahun itu, tetapi gagal mendeteksi keberadaan terpidana kasus Bank Bali, Djoko Tjandra, baru-baru ini.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan ekstradisi Maria merupakan cara untuk menutupi rasa malu Menteri Yasonna setelah buron Djoko Tjandra mampu masuk dan keluar Indonesia tanpa terdeteksi, seperti yang diberitakan awal pekan ini.

Pada 2009, Djoko dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun atas kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali dan uangnya sebesar Rp546 miliar di bank itu pun menjadi rampasan negara.

Djoko, sebagaimana dikatakan oleh tim kuasa hukumnya, sempat berada di Indonesia, termasuk pada 8 Juni lalu saat mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatann. Kini dia disebut tengah berobat di Malaysia.

Keberadaannya di tanah air menuai kritik terhadap Kejaksaan Agung yang didesak untuk menyuplai informasi soal buron ke berbagai instansi pemerintah.

`Menutupi rasa marah rakyat` terkait Djoko Tjandra

Ekstradisi Maria yang dibawa langsung ke Indonesia oleh Menkumham Yasonna setelah Djoko Tjandra bisa masuk dan keluar Indonesia disebut Boyamin tidak cukup untuk menjamin keseriusan menjamin penangkapan buron. Malah, ia mengatakan hal itu sebagai langkah untuk menenangkan rakyat.

"Harus golnya itu menjadi tertangkapnya Djoko Tjandra. Kalau di jejak ini hanya seremoni, mengejar layang-layang putus seperti anak kecil. Itu aja, saya harus komentar itu.

"Kalau rakyat marah, terus tiba-tiba membuat kegiatan yang seakan-akan itu menutupi rasa marah rakyat. Dan selalu begitu. Tidak ada konsistensi untuk penegakan hukum yang betul-betul untuk keadilan bagi negara," tutur Boyamin kepada BBC News Indonesia melalui telepon, Kamis (09/07).

Ia menambahkan bahwa dengan ekstradisi Maria, yang sudah 17 tahun lebih menjadi buron, justru menunjukkan pemerintah semestinya bisa lebih serius dalam upaya penegakan hukum.

"Kasus ekstradisi Maria Pauline Lumowa ini membuktikan jika pemerintah mau serius maka akan bisa menangkap buron sehingga semestinya pemerintah akan bisa menangkap Djoko Tjandra, Eddy Tansil, Honggo Wendratno dan buron-buron kakap lainnya," kata Boyamin.

Maria, yang ternyata telah menjadi warga negara Belanda sejak 1979, merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1.7 Triliun lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.

Menurut data yang dilaporkan Kompas.com, Maria termasuk diantara pelaku korupsi dengan nilai jarahan tersebar di Indonesia yang melarikan diri.

Selain perempuan berusia 62 tahun itu, ada pula nama Eddy Tansil, terkait kasus kredit macet Bapindo, dengan nilai jarahan Rp9 triliun; Eko Adi Putranto, terkait kasus korupsi BLBI dengan nilai jarahan Rp2,659 triliun, Adrian Kiki Ariawan dengan nilai jarahan Rp1,5 triliun; dan David Nusawijawa dengan nilai jarahan Rp1,2 triliun, juga dari kasus BLBI.

Secara akumulatif, nilai total dari kasus-kasus itu mencapai lebih dari Rp 14.3 Triliun.

`Proses panjang`

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dalam temu pers di Bandara Soetta Kamis (09/07) mengatakan ekstradisi Maria adalah hasil proses yang panjang dari koordinasi antara lembaga dan negosiasi hampir satu tahun. Salah satu alasannya adalah karena status Maria yang bukan warga negara Indonesia.

Maria ditangkap oleh otoritas hukum Serbia pada 16 Juli 2019 di bandara di Beograd, Serbia, berdasarkan red notice Interpol bertanggal 23 Desember 2003.

Pengacara yang mendampingi Maria di Serbia, kata Yasonna, berkali-kali melakukan upaya hukum untuk mencegah ekstradisi. Masa penahanan Maria bahkan hampir berakhir, sehingga pemerintah meningkatkan intensitas negosiasi, tambahnya.

"Jadi proses panjang ini tentunya harus kita penuhi - proses hukumnya harus kita penuhi. Dan setelah kita lihat bahwa masa penahanannya sudah mulai berakhir, 1 Juli, maka dari awal bulan yang lalu kita meningkatkan intensitas. Makanya ada surat kita meminta percepatan proses ekstradisi pada bulan September," kata Yasonna.

Ia mengatakan bahwa pemerintah melaksanakan high-level diplomacy untuk menunjukkan komitment pada kasus itu.

Kordinasi itu, jelasnya Yasonna, melibatkan Kementerian Luar Negeri, Polri, Jaksa Agung dan BIN. Lebih lagi, ia mengatakan bahwa pencapaian ekstradisi Maria akan menjadi contoh untuk penanganan kasus koruptor buron lainnya.

"Pak Menkopolhukam udah menyampaikan kepada kami sebelum berangkat: Jalankan. Penegakan hukum harus ditegakkan. Dan, sampaikan, kalau ini berhasil ini menjadi contoh bagi kita untuk melakukan langkah-langkah selanjutnya untuk yang lain," ujarnya.

Bagaimana upaya pemerintah ke depan?

Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ( Menko Polhukam) Mahfud MD sebelumnya mengatakan akan mengaktifkan kembali tim pemburu koruptor (TPK) untuk menangkap terpidana kasus Bank Bali, Djoko Tjandra.

Melalui pernyataan video, Mahfud mengungkap hal itu seusai bertemu dengan perwakilan Kantor Staf Presiden (KSP), Polri, Kemendagri, Kemenkumham, dan Kejagung di kantor Kemenko Polhukam pada Rabu (08/07)

"Kita itu punya tim pemburu koruptor, ini mau kita aktifkan lagi," ujar Mahfud dalam keterangan persnya, Rabu (08/07).

Ia menjelaskan TPK itu akan beranggotakan pimpinan Polri, Kejagung dan Kemenkumham dan di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.

Mahfud menambahkan pemerintah berencana memperpanjang payung hukum untuk mendirikan kembali tim itu.

TPK dilaporkan terbentuk di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 dengan tujuan menangkap koruptor, terutama yang kabur ke luar negeri serta menyelamatkan aset negara.

"Kita optimis kalau Djoko Tjandra ini cepat atau lambat kita tangkap," kata Mahfud.