Kisah Pengungsi Rohingya yang Terdampar di Aceh

Muhammad Yusuf sedang membaca Quran di musala tempat penampungan di Lhokseumawe, Aceh.-HIDAYATULLAH
Sumber :
  • bbc

Perjalanan puluhan pengungsi Rohingya dari Bangladesh menuju Malaysia harus kandas setelah mereka terdampar di Aceh Utara, pada 23 Juni lalu. Di balik perjalanan itu tersimpan kisah kelam yang mengindikasikan perbudakan modern.

Beberapa pengungsi mengaku pergi melalui kaki tangan agen dan harus bekerja seumur hidup untuk melunasi utang perjalanan.

Salah satunya, Muhammad Yusuf.

Muhammad Yusuf berasal dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Di sana, anak kedua dari 14 bersaudara ini bekerja sebagai tukang becak untuk membantu ekonomi keluarga.

Namun, pada 2008 dia kabur setelah dua adiknya meninggal saat terjadi konflik dengan tentara pemerintah Myanmar. Rangkaian kekerasan di sana disebut oleh penyelidik PBB sebagai "contoh sempurna pembersihan etnis".

Sebagaimana para pengungsi Muslim Rohingya lainnya, Yusuf menuju Bangladesh. Negara itu memberi tempat penampungan bagi komunitas Rohingya, yang kini menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia.

Sekitar satu juta etnis Rohingya berada di Cox`s Bazar.

"Saya lari ke Bangladesh untuk bekerja serabutan seperti menjadi tukang cuci pada warung-warung," kata Muhammad Yusuf melalui penerjemah.

Di kamp pengungsian dia tidak dapat melakukan apapun, cuma bisa makan seadanya, sementara kebutuhan lain seperti pendidikan dan kesehatan masih jauh dari kata yang layak. Apalagi mereka sekeluarga berjumlah cukup banyak.

Kondisi ini yang melatari ia dan orang Rohingnya lain ingin keluar dari kamp dan mencari pekerjaan ke seberang lautan. Keinginan inilah yang belakangan justru membuatnya harus menggadaikan nyawa.

`Bayar utang perjalanan sampai mati`

Melalui kenalan, dia berkontak dengan seorang agen yang menjanjikan pekerjaan di Malaysia. Agen itu bersedia membayar uang perjalanan yang setara dengan Rp50 juta. Uang itu harus dicicilnya seumur hidup.

"Saya pergi setelah ditawari pergi oleh seorang agen yang katanya akan memberikan pekerjaan. Tapi saya harus membayar utang perjalanan seumur hidup. Utang ini baru akan lunas jika saya mati," tambah Yusuf.

Jika ia telah berhasil tiba di Malaysia dan mendapatkan pekerjaan, keluarga lainnya juga akan disuruhnya untuk datang, agar mereka dapat hidup yang lebih baik jika sudah mendapatkan pekerjaan.

"Nanti mereka disana juga saya suruh datang ke Malaysia, di pengungsian juga banyak orang yang ingin kabur dari kamp dan bekerja di Malaysia," jelas Yusuf.

Hal serupa juga dikatakan oleh Muhammad Bilal, seorang pengungsi Rohingya lainnya. Dia mengaku tidak membayar untuk perjalanan ini. Namun setibanya di Malaysia, dia mengaku harus bekerja untuk melunasi utang serta membiayai tiga orang anak dan satu istri yang kini masih berada di kamp pengungsian Bangladesh.

"Tidak bayar naik kapal, nanti bayar kalau sudah cari kerja di Malaysia. Sekarang tak bayar karena tak punya uang, tapi nanti baru bayar kalau sudah bekerja," kata Bilal melalui penerjemah.

`Beberapa orang mati dan dibuang ke laut`

Di kapal, kisah pilu Muhammad Yusuf dan para pengungsi Rohingya lainnya berlanjut.

Yusuf mengaku para pengungsi Rohingya disiksa oleh sembilan orang Burma dari Myanmar, negara yang mengusir orang-orang Rohingya. Mereka, menurut Yusuf, memiliki senjata api dan senjata tajam lainnya

"Stok makan kita diatur oleh orang Burma, dari makan satu hari sekali, sampai makan empat hari sekali.

"Saya sempat dipukul dengan besi tajam, dihantam dengan kayu di punggung, sampai ditendang di bagian muka," tutur Yusuf.

Muhammad Nabi, pengungsi Rohingya lainnya, mengaku juga menerima perlakuan tersebut.

Dia mengklaim sempat dipukul dan disiram dengan air panas dari mesin oleh sekumpulan orang Burma yang mengoperasikan kapal, saat meminta makanan dan minuman karena dahaga.

"Saya minta makan, saya minta minuman, tapi dibilang bodoh oleh orang Burma, kemudian disiram air panas," kata Muhammad Nabi sambil menunjukkan bekas luka pada bagian kaki kanan.

Siksaan itu berakibat fatal pada sejumlah pengungsi Rohingya.

"Beberapa lainnya mati di laut. Karena itu, kami tersisa 99 orang," kisah Yusuf.

Ditolong para nelayan Aceh

Muhammad Yusuf mengatakan awalnya ada tiga kapal yang berangkat.

Satu kapal yang berisi orang Burma telah kembali ke Bangladesh, satu kapal masih berada di laut, sementara kapal yang dinaikinya mengalami kerusakan mesin.

Menurut Muhammad Nabi, orang-orang Burma meninggalkan mereka begitu kapal mereka rusak di tengah laut.

"Mereka orang Burma lari dengan satu kapal lagi ke Bangladesh, setelah mesin kapal kami rusak," ujarnya.

Selama terkatung-katung di laut, mereka meminum air laut.

"Satu hari makan, tiga hari tidak makan. Kalau haus kita harus mengambil baju untuk mengambil air laut, baru kemudian diperas dan diminum," kata Muhammad Nabi.

Setelah terombang ambing di laut selama 4,5 bulan, mereka ditolong sejumlah nelayan Aceh yang melihat kapal yang mereka tumpangi naik turun dibawa ombak tanpa mesin yang berfungsi.

Berdasarkan kesaksian beberapa nelayan Aceh, kapal yang ditumpangi para pengungsi Rohingya rusak sekitar 80 mil dari pesisir Pantai Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, sehingga air menutupi hampir setengah lambung kapal.

Muklisin, kapten kapal yang melakukan penjemputan mengatakan "waktu saya merapat ada yang menangis, ada saya lempar [minuman dan makanan] dan mereka berebutan karena kelaparan dan kehausan," katanya.

Menanti kejelasan nasib

Muhammad Yusuf kini hidup bersama 98 pengungsi Rohingya lainnya di Balai Latihan Kerja (BLK) Desa Mee Kandang, Lhokseumawe, Aceh.

Ke-43 orang dewasa dan 56 anak-anak itu masih menunggu kepastian terkait nasib mereka.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan perlu dilakukan langkah-langkah preventif guna mencegah warga Rohingya tidak menjadi korban perdagangan manusia.

Menlu Retno Marsudi menyebut upaya repatriasi ribuan warga Rohingya dari kamp-kamp pengungsian di Bangladesh ke Rakhine State, Myanmar, harus terus diprioritaskan oleh ASEAN, walau rencana repatriasi hingga kini belum dapat terlaksana mengingat situasi keamanan dan pandemi Covid-19.

Otoritas Indonesia juga tengah menyelidiki kemungkinan adanya unsur penyelundupan manusia sehingga migran ireguler tersebut menjadi korban.

"Penyelundupan manusia adalah kejahatan yang harus dihentikan dan memerlukan kerja sama kawasan dan internasional. Perjalanan laut yang tidak aman ini dipastikan akan terus terjadi sepanjang akar masalah tidak diselesaikan," kata keterangan resmi Kemlu.

Wartawan di Aceh, Hidayatullah, melaporkan untuk BBC News Indonesia.

.